Oleh : Syarifuddin*
Qurban dalam istilah fikih adalah Udhiyyah (الأضحية) yang artinya hewan yang disembelih waktu dhuha, yaitu waktu saat matahari naik. Secara terminologi fikih, udhiyyah adalah hewan sembelihan yang terdiri onta, sapi, kambing pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasriq untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kata Qurban artinya mendekatkan diri kepada Allah, maka terkadang kata itu juga digunakan untuk menyebut udhiyyah. QURBAN”, yang secara etimologi berarti “pendekatan”, mengandung pesan tentang upaya mendekatkan diri kepada Tuhan dengan jalan mempersembahkan hidup kita untuk perjuangan membela nilai-nilai kemanusiaan. Nilai kebajikan ibadah qurban bukan terletak pada persembahan daging hewan qurban, melainkan ketakwaan dan ketulusan (QS al-Hajj: 37).
Sejatinya Ibadah qurban adalah perintah Tuhan untuk mengorbankan dan menyembelih sifat egois, mementingkan diri sendiri, rakus dan serakah yang dibarengi dengan kecintaan kepada Allah swt yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas dan kerja-kerja sosial. Kecintaan pada Allah swt ditunjukkan Nabi Ibrahim dengan kesediaan menyembelih putra kesayangannya Ismail. Sesungguhnya Tuhan menyuruh Ibrahim menyembelih putranya, yang disampaikan melalui mimpi, di samping ujian keimanan juga sarat pesan-pesan sosial kemanusiaan. Kepekaan sosial, keberpihakan kepada kaum lemah dan dilemahkan (mustadh’afin) adalah nilai sekaligus moral sosial yang terkandung dalam ibadah qurban.
Di tengah-tengah rakyat sedang mengalami kesulitan hidup seperti sekarang ini, mestinya para pemimpin dan pejabat pemerintah, bersedia berkorban. Gerakan berkorban sebenarnya adalah juga sekaligus sebagai cara mudah, murah, dan sederhana menghilangkan kebiasaan korupsi dan hidup serakah. Orang yang terbiasa memberi atau berkorban akan menjauhkan diri dari hidup berlebih-lebihan, tamak, dan serakah. Untuk menghilangkan korupsi di negeri ini harus ada gerakan mengubah budaya. Yaitu budaya menerima harus diubah menjadi budaya memberi. Memberi atau memposisikan tangan di atas akan selalu lebih mulia dari tangan di bawah, apalagi diperoleh dengan cara mencuri atau korupsi. Hari raya kurban yang sebentar lagi tiba, harus dijadikan momentum untuk memulai gerakan mulia itu.
Sekarang ini, orang sering dengan mudah menguras isi koceknya untuk diri, partai, dan kelompok kepetingannya. Tetapi, betapa sulit menemukan orang yang bersedia melakukan hal serupa bagi kepentingan rakyat banyak yang tidak ada kaitan langsung dengan kemenangan pencalonan kepala daerah, kepentingan partainya dan atau kepentingan kelompoknya. Dalam kenyataan sehari-hari, jarang ditemukan penguasa atau pejabat yang berpihak menyusun mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kaum lemah (mustadh’afin). Sulit rasanya sekarang ini, menemukan penguasa yang “berani lagi berqurban” seperti saat memperebutkan jabatan dalam pilkada atau pemilu. Seakan kebaikan yang dilakukan penguasa hanya diberikan demi mempertahankan atau merebut kekuasaan itu sendiri. Sehingga ketika kekuasaan itu sudah di dapat, maka kebaikan itu berbalik menjadi pemanfaatan atas kelemahan rakyat untuk meraih keuntungan pribadi. Sementara kepentingan rakyat, hanya menjadi masa lalu, ketika suaranya masih dibutuhkan. Wallahu a’lam bis sowaf. (03)
—–
* Koordinator Divisi bidang Agama Taman Pelajar Aceh Yogyakarta