Hijrah Kebudayaan

Oleh : Marah Halim*

                                                                                           

Pencanangan tahun budaya oleh pemerintah daerah NAD bertepatan dengan peringatan 1 Muharam 1425 H lalu, mengandung makna filosofis yang dalam, sebab antara hijrah dan budaya memiliki keterkaitan historis yang sangat erat. Ada segunung harapan yang terpendam dalam jiwa masyarakat Aceh melihat kondisi kebudayaannya yang memprihatinkan. Kini, 1433 H, artinya delapan tahun sejak pencanangan itu, seperti apa kiranya wajah kebuadayaan Islam di Aceh?

Menjadikan awal tahun hijrah sebagai momentum mengingatkan kembali kebudayaan Aceh adalah pilihan yang tepat. Sebab akar kebudayaan Aceh yang paling besar adalah Islam, meski tidak dapat dipungkiri, bahwa kebudayaan Aceh adalah hasil integrasi dari beberapa kebudayaan besar seperti India, Indocina, dan Timur Tengah (A. Rani Usman, 2003: 97). Namun, tidaklah begitu penting mempermasalahkan darimana turunan kebudayaan itu, yang lebih penting adalah mengkaji sistem nilai yang menjadi tonggak kebudayaannya yang tidak lain adalah Islam.

Islam sebagai induk kebudayaan Aceh merupakan sumber inspirasi kebudayaan yang kaya. Sejarah kejayaan Islam sampai saat ini ternyata masih efektif membangkitkan emosi dan imajinasi generasi muslim untuk kembali merengkuh kejayaan itu. Namun ikhtiar membangkitkan kembali kebudayaan tidak cukup dengan emosi-emosian dan khayal-khayalan, perlu langkah konkrit untuk kembali mendapatkannya.

Pencanangan tahun budaya sebagai starting point inipun perlu kiranya menyatakan dengan tegas bahwa budaya Aceh adalah dalam bingkai (frame) keislaman. Ketegasan ini perlu untuk menghindarkan kegamangan masyarakat Aceh kontemporer yang dilanda berbagai arus budaya yang tidak jelas juntrungannya yang justru difavoritkan. Padahal para pemikir keislaman sejak awal abad ke-20 yang lalu mati-matian memikirkan nasib kebudayaan Islam.

Awal abad ke-20 yang lalu, oleh banyak futurolog saat itu, meramalkan bahwa Islam akan kembali bangkit dari tidurnya. Indikatornya adalah tampilnya pembaharu-pembaharu pemikiran Islam yang berusaha membangunkan Islam dari tidurnya yang panjang. Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha di Mesir. Di India tampil pula Syah Waliullah al-Dahlawi dan Ahmad Khan, semuanya bertekad mengembalikan tradisi kejayaan Islam. Pemikiran mereka mengkristal dan berdampak sangat luas sampai ke Indonesia. Ulama Indonesia yang sempat bersentuhan dengan pemikiran pembaharuan yang sebagia besar berasal dari Sumatra Barat, tampil ke depan mendobrak kebekuan pemikiran Islam di Indonesia.

Abad ke-20 telah berlalu, berganti pula milenium baru, namun titik terang kebangkitan Islam global belum menunjukkan kepastuiannya. Kebudayaan barat masih merupakan batu sandungan utama selain kebudayaan Cina yang mulai menunjukkan taringnya. Banyak faktor yang menyebabkan mandegnya kebudayaan Islam. Menerawang ke masa lalu, saat Dinasti Abbasyiah diluluhlantakkan oleh pimpinan Hulagu Khan dari Mongol, telah meninggalkan traumatis yang sangat dalam. Banyak ulama yang lari ke jalan sufi untuk mengobati luka itu. Pasca serangan  itu, dunia Islam praktis kehilangan predikat superpowernya. Di tengah suasana itu, tradisi pemikiran Islam dihembusi sindrom tertutupnya pintu ijtihad yang sangat populer itu. Tidak jelas apa yang mereka maksudkan dengan slogan yang banyak ditentang oleh ulama itu, termasuk Ibn Taymiyah, yang giat mengkampanyekan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup dan tidak seorang-pun yang berhak menutupnya.

Pemikiran jenius Ibn Taimiyah baru dapat direalisasikan oleh ketiga pembaharu di Mesir di atas. Namun, sampai sekarang, ternyata belum mampu mengangkat umat Islam ke posisi semula. Alih-alih kembali mendominasi dunia, malah negara-negara Islam dan muslim berkutat dengan berbagai problemnya masing-masing.

Pemikiran-pemikiran segar bagi kebangkitan Islam, apakah di dunia atau di Indonesia, terus-menerus dihidupkan. Tidak terbilang lagi pemikiran-pemikiran genial tentang itu, mulai dari ide modernisme Islam-nya Fazlur Rahman sampai ide islamisasi ilmu pengetahuannya Ismail Raji al-Faruqi. Generasi mereka telah juga berlalu, sekarang adalah generasi Muhammad Syahrur, Nurcholish Madjid, Muhammad Abid al-Jabiri, Ziauddin Sardar, dan lain-lain. Semua mereka mengajak segenap umat Islam merapatkan barisan, menyatukan visi dan misi dalam gerakan reaktualisasi (revitalisasi dalam istilah Nurcholish Madjid) ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan, agar keyakinan bahwa Islam adalah rahmat bagi sekalian alam benar-benar dapat tercapai. Namun perlu digarisbawahi, kesemua pemikir pembaharu itu sepakat bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah agenda utama untuk mengembalikan harkat dan martabat kebudayaan Islam.

Karena itu, tepat jika M. Yunan Yusuf, Guru Besar Fakultas Dakwah UIN Jakarta mengatakan bahwa hijrah kali ini hakikatnya adalah hijrah peradaban atau hijrah kebudayaan. Semestinya gerakan ini perlu disosialisasikan secara global agar mendapat respon dari warga muslim dunia. Penulis lebih suka menyebutnya dengan hijrah kaffah, artinya segala aspek kehidupan umat Islam berlu hijrah dari kegelapan kepada cahaya kegemilangan.

Reinforcement kebudayaan Islam

Kebudayaan Aceh juga merupakan bagian integral dari kebudayaan Islam. Kemajuan yang pernah diraih oleh kebudayaan Aceh adalah pararel dengan kemajuan dunia Islam pada akhir abad ke-15 dan 16, dimana Turki Utsmani dan Mughal masih menjadi pemain utama di Asia dan Eropa. Renaissance Eropa kemudian menenggelamkan kejayaan Islam pada abad-abad selanjutnya. Kebudayaan Islam tidak lagi diperhitungkan, Aceh apalagi, malah berkutat dengan penjajahan Eropa, kekacauan, dan penghancuran yang meremukredamkan sendi-sendi kebudayaan.

Gerakan pencanangan kembali budaya Aceh, merupakan gerakan untuk kembali mengakrabi budaya Aceh yang mulai asing di telinga generasi muda. Gerakan ini akan berhadapan dengan tantangan budaya pop sekuler yang lebih digandrungi generasi muda sekarang. Budaya yang sebenarnya hanya mendatangkan kepuasan semu yang tidak mengakar dalam batin mereka. Mereka tidak lain adalah generasi yang lemah, tidak punya punya pendirian yang tegas, malu mengidentifikasi diri sebagai generasi Islam.

Pencanangan tahun budaya ini adalah momen yang tepat untuk mengembalikan kepercayaan diri dan kesadaran mereka. Kesadaran akan budaya Islam yang tinggi, akan penghargaan Islam pada nilai-nilai luhur kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi. Agar menghindarkan mereka sebagai generasi yang hanya pandai membanggakan masa lalu dan leluhur mereka tanpa mereka mau dan mampu berbuat melebihi leluhurnya.

Membekali semangat tahun budaya, kiranya tidak berlebihan jika penulis mengajak kita semua merenugkan kembali dua konsep yang menjadi kunci utama keberhasilan generasi Islam klasik membesarkan Islam. Konsep dimaksud adalah jihad dan ijtihad, dua konsep yang mengandung polesan religius yang sangat kental. Jihad dalam konteks sekarang tidak boleh diartikan dengan perang, teroris, dan istilah miring lainnya. Tapi jihad modern adalah jihad untuk menunjang ijtihad, penggunaan daya pikir semaksimal mungkin dalam segala aspek kehidupan, terutama penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jihad adalah kerja keras, dalam hal ini kita harus meneladani semangat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditunjukkan oleh saudara-saudara kita di Pakistan dan Iran. Kerja keras mereka telah mulai mununjukkan hasilnya.

Warisan budaya Aceh Islami yang telah berusia ratusan tahun ini semestinya telah dapat memancangkan diri sebagai induk kebudayaan dan peradaban dunia yang baru. Untuk sampai ke arah itu diperluan kemauan dan jiwa yang besar. Pencanangan tahun budaya di tengah semaraknya pelaksanaan syari’at Islam di Aceh merupakan usaha untuk menggiring kembali budaya Aceh ke “kandang induknya”, yakni kebudayaan Islam.  Langkah ini sekaligus merupakan usaha menguatkan kembali (reinforcement) hegemoni peradaban Islam, minimal untuk konteks Aceh.

Modal sejarah sudah lebih dari cukup bagi Aceh untuk tampil sebagai pioneer peradaban Islam. Kesempatan memberlakukan syari’at Islam secara kaffah, mungkin merupakan langkah mewujudkan prediksi Fazlur Rahman bahwa peradaban Islam akan mengalami second  renaissance, dan itu bukan dimulai di Timur Tengah, tetapi di kawasan Asia Tenggara. Dan bukan suatu yang mustahil jika Asia Tenggara yang dimaksud Fazlur Rahman itu adalah Aceh. Insyaallah. Di atas semua itu, generasi mudalah yang akan menentukan potret budaya Aceh abad ini, di awal milenium baru ini. Motto Islam adalah ibda’ binafsika (mulai dari dirimu sendiri). Kebudayaan Aceh tidak perlu menunggu belahan dunia yang lain untuk tampil menjadi pioneer kebangkitan Islam.

Kini kita telah berada di tahun 1433 H, artinya telah delapan tahun sejak pencanangan tahun budaya, kita patut bertanya-tanya, apa kiranya yang telah dicapai oleh kebudayaan Aceh setelah pencanangan tersebut? Apakah arahnya maju atau mundur atau jalan di tempat? Delapan tahun adalah saat yang tepat untuk melakukan evaluasi diri, hendak kemana kebudayaan Aceh ini kita bawa.

 ——

*Widyaiswara BKPP Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.