Oleh: Rizki Wan Okta Bina*)
Semua pasti sepakat bahwa tanggung jawab dalam menjaga lingkungan adalah tanggung jawab semua penduduk yang ada di permukaan bumi ini. Kalimat “Our Earth in Our Hand” adalah sebuah kalimat yang dapat menggambarkan tentang bagaimana besarnya peran dari manusia dalam mengelola dan menjaga bumi ini. Manusia dan lingkungan adalah unsur yang tidak dapat terpisahkan karena manusia itu sendiri adalah bagian dari lingkungan. Namun, menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kita semua mengapa saat ini masih banyak pihak-pihak yang tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya bahkan malah merusak alam ini. Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan semakin hari terus bertambah dan manusia dapat kita vonis sebagai pelaku dari tindakan tersebuut..
Ketika berbicara tentang lingkungan tidak semata-mata hanya berbicara tentang persoalan teknis saja. Kerusakan lingkungan yang saat ini sudah dianggap sebagai sebuah krisis global pada dasarnya merupakan persoalan moral. Kita tidak dapat menyangkal bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi sekarang ini sebagian besar bersumber dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli terhadap lingkungan dan sikap yang hanya mementingkan diri sendiri.
Permasalahan lingkungan yang kita rasakan saat ini pada dasarnya disebabkan oleh kesalahpahaman cara pandang manusia mengenai dirinya dan lingkungan. Pada akhirnya kekeliruan cara pandang ini melahirkan perilaku yang keliru pula dari manusia terhadap lingkungan.
Menurut Anne Naess, kasus lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang manusia terhadap alam secara fundamental dan dibutuhkan sebuah pola hidup baru yang mencakup budaya dari suatu masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks yang lebih sederhana diperlukan sebuah paradigma baru terhadap cara pandang manusia terhadap lingkungan yang mana cara pandang ini akan mempengaruhi perilaku dan tindakan manusia terhadap lingkungan.
Kesalahan cara pandang yang terjadi saat ini sebenarnya bersumber dari etika antroposentrisme yang dicetuskan oleh Aristoteles yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya hanya sebagai alat pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap terpisah dengan alam bahkan manusia dianggap sebagai penguasa alam yang bebas melakukan apa saja terhadap alam. Cara pandang seperti ini akhirnya melahirkan sikap dan perilaku ekspoitatif tanpa kepedulian terhadap alam dan segala isinya. Tindakan seperti ini tentu saja merugikan alam dan pada akhirnya juga akan merugikan manusia itu sendiri.
Menurut A. Sony Keraf, ada dua kesalahan fundamental dari cara pandang “antroposentrisme”. Pertama, manusia dipahami hanya sebagai makhluk sosial yang eksistensi dan identitas dirinya ditentukan oleh komunitas sosialnya saja. Manusia tidak dilihat secara ekologis yang pada dasarnya identitasnya ikut dibentuk oleh alam. Kedua, etika hanya berlaku bagi komunitas sosial manusia jadi yang disebut sebagai norma dan nilai moral hanya dibatasi keberlakuannya bagi manusia.
Kedua kelemahan diatas, kini dikoreksi oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Menurut etika ini manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Pertama-tama manusia harus dipahami sebagai makhluk biologis dan ekologis. Manusia tidak hanya membutuhkan lingkungan atau komunitas sosialnya saja untuk dapat bertahan hidup dan berkembang sebagaimana manusia seutuhnya tetapi juga membutuhkan komunitas ekologis yang berarti manusia juga makhluk yang kehidupannya tergantung dan terkait erat dengan semua kehidupan lain di alam ini. Dalam proses ini manusia akan menempatkan dirinya dalam ketergantungan dan hubungan timbal balik yang sifatnya saling menguntungkan dengan semua kehidupan lainya yang ada di alam ini.
Tanpa alam, tanpa makhluk hidup lain rasanya mustahil manusia bisa terus bertahan hidup. Karena manusia manusia hanya salah satu bagian dari alam semesta ini. Seperti makhluk hidup lainnya, manusia mempunyai kedudukan yang sama dalam “Jaring Kehidupan” di alam semesta ini. Jadi manusia tidak berada diluar, diatas terpisah dari alam. Manusia berada di alam dan terikat serta tergantung pada alam dan seluruh isinya.
Apa yang disodorkan oleh biosentrisme dan ekosentrisme sebenarnya adalah revitalisasi dari cara pandang dan perilaku masyarakat adat dalam interaksinya dengan alam. Dengan kata lain biosentrisme dan ekosentrisme adalah etika dalam menyelamatkan lingkungan yang sejalan dengan etika masyarakat adat.
Menjadi sebuah pertanyaan bagaimana cara merealisasikan ekosentrisme dan biosentrisme ini? Para pendukung etika ini menyadari bahwa ekosentrisme dan biosentrisme hanya dapat direalisasikan dengan komitmen bersama yang bersinergi dalam sebuah gerakan untuk bersama-sama membangun budaya baru, etika baru, cara pandang baru terhadap alam dan gaya hidup baru yang disebut oleh Arne Naess sebagai ecosopy yang berarti gerakan kearifan merawat bumi sebagai sebuah rumah tangga untuk menjadikannya sebagai tempat yang nyaman bagi semua kehidupan. Gerakan ini alangkah indahnya dimulai dari diri sendiri dari hal-hal yang sifatnya kecil dan sederhana, kemudian dipertahankan, diajarkan dan diwariskan dari satu orang ke orang lain, dari satu kelompok ke kelompok lain, dari satu generasi ke generasi lain.
“Hijaulah Gayo ku……”
Banda Aceh, 29 November 2011
—-
*) Wartawan Lintas Gayo di Banda Aceh