SEBUKU dalam istilah Gayo disebut dengan meratap dalam bahasa Indonesia, kedua kata ini digunakan ketika ada rasa sedih, baik karena ada anggota keluarga yang meninggal dunia atau karena ada perpisahan. Acara “keberni Gayo” di Aceh TV pada hari jum’at (02/03/12) menghadirkan narasumber ibu Hidayah Ara (seniman) dan bapak LK Ara (budayawan) keduanya berbicara tentang “sebuku”.
Ibu Hidayah memberi penuturan kalau ia telah menekuni sebuku sejak lama, namun puncak [pemilihan profesi ini dan juga tidak meninggalkan bakat nyanyi pada tahun 1993, ketika cek To’et membutuhkan seorang pesebuku untuk mengikuti perlombaan budaya di Jakarta, ia berhasil lulus dalam seleksi yang dilakukan oleh To’et dan mengalahkan 80 orang, kendati tidak melalui seleksi sebagaimana layaknya penyaringan untuk ikut perlombaan yang lain.
Dalam perjalanan sejarah dari banyaknya tempat dapat dilakukan sebuku, maka yang populer dan menjadi seni sampai saat ini adalah sebuku yang mengikuti rangkaian perkawinan. Sedangkan sebuku kematian ini menjadi tidak populer, sangat boleh jadi karena adanya larangan meratap ketika ada orang yang meninggal dunia, ditambah lagi dengan adanya kepercayaan apabila seorang meninggal dunia dan diratapi maka ia akan disiksa dalam kubur (pendapat ini masih terkadi perselisihan dikalangan ulama).
Sebuku yang dilakukan dalam rangkaian mengikuti perkawinan, biasanya dilakukan pada saat memberi pelajaran (beguru). Dimana anak perempuan yang akan menikah sangat merasa sedih dan kehilangan ketika akan berpisah dari keluarga (utamanya orang tua) dan ia akan menjadi bagian dari keluarga lain yakni keluarga suami.
Penggalan sebuku yang dicontohkan Ibu Hidayah adalah sebuku seorang anak, yaitu :
Wo ine o, tar bilangan sijeroh, tar ketike sibise, nge susun lagu belo, nge rempak lagi re, ingi si sara ingini, iyon si sara iyoni, bulet lagu umut, tirus lagu gelas, mugenap pakat, I atani ruhul, I toyohni asa, male munosah bebalun petangasanku, kuraka sebetku, kukaum segenapku, me rai rakan sebetku, mu rai kaum segenapku…
Menurut bapak LK Ara ketika menanggapi sebuku yang dicontohkan tersebut, bahwa isi sebuku berbicara tetang kedekatan dengan semua keluarga dan sahabat sepergaulan yang akan di tinggalkan, kemudian juga dalam rangka menceritakan susah payahnya orang tua yang telah melahirkan, membesarkan, menjaga, merawat serta mengasihi si anak. Yang akhirnya harus berpisah dan dalam waktu yang tanpa batas.
Lebih menarik lagi ketika sebuku ini disampaikan oleh orang yang memiliki suaran yang merdu, dengan puitis dan sastra yang tinggi. Sehingga didapati keuniversalan sebuku yang terletak pada kata-kata simbul yang digunakan, “susun lagu belo, rempak lagu re, bullet lagu umut dan tirus lagu gelas”. Artinya simbul-simbul itu akan langgen dan dapat ditafsir dan dipahami sepanjang masa. Karena itu kita tidak bisa katakan bahwa sebuku tidak memiliki nilai seni dan sastra yang tinggi.
Selanjutnya Ibu hidayah melantunkan sebuku seorang ibu kepada anaknya :
Wo anakku, enti jauh pikirenmu, enti ues atemu, nge edete urum hukume, hadise urum firmane munetahe, nge sawah ate, nge terus hinge e.
Anakku, kutatangen kin beret, kuluahi kin sinte, kin kayu kul pelongohenku, keti kin daling kolak seserenenku, keti mutuah anakku, keti mubahgie anakku, ari kin tempuhku,, ari kin tulungku, kin tempatku kejet, kin tonku menye anakku, kati nguk kin tempuh tulungku, keti nguk kin pembantuku…
Menurut bapak LK Ara, bahwa semua kehidupan berjalan sesuai dengan aturan alam yang didasarkan pada ketentuan Tuhan, dimana ketika sampai masanya maka apapun yang dikehendaki sudah merupakan taqdir-Nya, yang harus dijalani. Demikian halnya dengan pernikahan, bukan artinya merupakan upaya pengkerdilan manusia yang akan menikan tetapi lebih kepada kemandiri dan kesanggupan dan menghadapi kehidupan.
Bahasa yang digunakan sangat pilosifis dan halus dengan penuh pemaknaan yang bisa menembus jamannya, dan inilah sebagai bukti keuniversalannya. (Drs. Jamhuri, MA)
.