Sekilas Tentang Sang Maestro “AR. Moese”

Catatan Novarizqa Saifoeddin*
DIALOGmengenai  buku AR. Moese, Perjalanan Sang Maestro,  Minggu 29 April 2012 pukul 20.00 wib di  RRI Pro 4 Jakarta berlangsung santai dan menarik.Acara bertajuk ‘Bungoeng Jeumpa Denang Tanoh Gayo”  yang ‘dikomandani’ abangda Gurniarni itu  selain menghadirkan  Yusradi Usman al-Gayoni  sipenulis buku , diundang juga kakanda Arjuliska Zuska dan saya.

Menurut Yusradi, ide penulisan buku ini muncul saat beliau dalam perjalanan Kereta Api dari Malang menuju Jakarta, 29 Agustus 2007 silam, sesaat  setelah  menerima SMS dari seseorang yang mengabarkan bapak AR. Moese telah kembali pada Sang Khalik.  Kepergian seniman besar itu memunculkan beragam pertanyaan dan kegalauan dalam diri penulis.

Tak ingin hanyut dalam “siksaan” pertanyaan dan kegalauannya, Yusradi  bertekad mengejawantahkan idenya. Setelah mendapat izin dari keluarga AR. Moese, kerja keraspun dimulai.

Karena didasari rasa cinta, bangga dan apresiasi pada Almarhum AR. Moese, hambatan dan rintangan yang ditemui dalam proses penulisan buku ini tak pernah mampu menyurutkan semangat penulis.

“Sebelum memberikan tanggapan, ijinkan saya berterima kasih kepada Yusradi atas penulisan buku biografi ini. Sebutan Maestro memang pantas disandang bapak AR Moese. Ia  memang belum dikenal secara nasional. Menurut saya  itu karena beliau memilih tinggal di Gayo dan  mendedikasikan dirinya untuk perkembangan seni budaya  Gayo.  Nilailah AR Moese dari kemampuannya, bukan keterkenalannya. Beliau bermusik untuk musik bukan untuk materi”  ucapku ketika bang Gurni mempersilahkanku  memberi komentar.

Kakanda Arjuliska Zuska bercerita bagaimana kenangan dengan almarhum di tahun 1977. Bersama bapak S. Kilang, bapak Ismail. M, bapak Saifoeddin Kadir, bapak AS Kobat,  Ibu Wastiyah, Ika Zuleta dan lain lain mewujudkan mimpi sanggar Sengeda merekam dan memproduksi  lagu-lagu Gayo dengan peralatan  seadanya.

“Di Gedung DPRD waktu itu, tempat kami latihan dan rekaman album merbuk”  sebut Arjuliska.

Kakanda Gurni yang memandu dialog interaktif  itu dengan piawai melayani para penelepon, membacakan sms dari para pendengar serta  menyelinginya dengan lagu  Garipo ,Merbuk  dan lagu lagu Aceh lainnya hingga pukul 22.00 wib. Dua jam tentu durasi yang pendek untuk membicarakan sosok dan kiprah almarhum AR Moese.

Perjalanan Sang Maestro telah berakhir. Tugas dan pengabdian beliau untuk perkembangan seni budaya Gayo pun usai sudah.  Salah satu cara untuk mengetahui hal hebat tentang almarhum  yg belum terkuak selama ini adalah dengan membaca dan memiliki buku biografinya. Insyaallah dengan inspirasi, motivasi yang didapat dari membaca buku tentangnya, kita dapat meneruskan perjalanan mengembangkan karya cipta seni budaya tanoh tembuni.

*****

Baring sekidah limus ni gading, asal turah we taring cerah pora
Baring sekidah rubu ni ceding, sekalipun we kering kurang murasa

*Pelaku dan pemerhati seni budaya Gayo, tinggal di Takengon

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.