Sudah Saatnya Tajuk Enang-enang Dijadikan Tahura

Catatan Perjalanan: Muhammad Syukri

MENIKMATI telor setengah matang tidak mesti harus berada di warung kopi, tetapi kita bisa menikmati telor setengah matang dengan merendamnya di mata air panas. Mencari sumber mata air panas di Dataran Tinggi Gayo juga tidak terlalu sulit, kita bisa menemukan di banyak tempat. Salah satu tempat mata air panas yang paling eksotis berada di Kampung Wih Porak, Lancang Kabupaten Bener Meriah.

Sumber mata air panas di Kampung Wih Porak itu sangat dekat dengan jalan lingkar Simpang Lancang-Arul Cincin, yaitu sekitar 100 meter dari badan jalan itu. Penasaran dengan cerita sumber mata air panas itu, Sabtu (5/5), saya bersama fotografer Firdaus Chalid (61) yang dipandu Khairul Akhyar alias Ucok (30) mulai melakukan ekspedisi ke Kampung Wih Porak di kaki Gunung Geureudong.

Jalan Elak Menghindari Tajuk Enang-enang

Menuju ke lokasi sumber mata air panas itu, kami sengaja melewati Arul Cincin, sebuah persimpangan sebelum Arul Kulus (jika kita berangkat dari Takengon). Menurut informasi dari Ucok, ruas jalan ini sering digunakan angkutan umum jika di Tajuk Enang-enang terjadi kemacetan. Jarak tempuhnya juga cukup singkat, hanya sekitar 6 Km. Beberapa bagian badan jalan ini sudah diaspal, namun masih ada pengerasan dengan kerikil, tetapi dapat dilewati dengan lancar.

Benar sekali, ternyata jalan elak ini cukup landai untuk dilalui sebuah kenderaan roda empat, tidak ada tikungan dan pendakian ekstrem seperti halnya Tajuk Enang-enang. Saya jadi heran, kenapa ruas jalan yang demikian safety tidak dijadikan jalur jalan utama. Kenapa pengembangan jalan Bireuen-Takengon harus difokuskan melalui Tajuk Enang-enang? Bahkan pernah berkembang wacana untuk membangun jembatan panjang supaya tidak perlu lagi melewati tikungan S di Tajuk Enang-enang.

Dalam perjalanan menuju Kampung Wih Porak, kami berdiskusi tentang prospek jalan elak ini untuk memperpendek jarak tempuh Bireuen-Takengon. Sangat memungkinkan, kawasan Tajuk Enang-enang dijadikan taman hutan raya untuk habitat burung sekaligus obyek ekowisata, karena ruas jalan ini sangat sulit untuk dilebarkan.

Dengan demikian, ruas jalan Arul Cincin-Simpang Lancang yang perlu dilebarkan, sekaligus menjadi jalan utama. Kami bertiga nampaknya sepakat dengan ide tersebut, tetapi belum tahu bagaimana respon masyarakat dan para pengelola ruas jalan tersebut, khususnya Kementerian Pekerjaan Umum selaku penanggung jawab jalan negara.

Kurang dari lima belas menit perjalanan dari Arul Cincin, akhirnya kami tiba di Kampung Wih Porak. Setelah makan siang dan shalat dhuhur, kami mengaso sejenak di pondokan milik keluarga Ucok. Saya merasa sangat nyaman berada di tempat itu, apalagi disekitarnya terlihat hutan kopi plus lamtoro dan di puncak beberapa bukit masih terdapat hutan hujan tropis. Ini daerah paling eksotis yang pernah saya temukan di Dataran Tinggi Gayo, komentar saya kepada Ucok.

Di Kaki Gunung Api

Hari ini, kami berada di kaki Gunung Geureudong, sebuah gunung stratovolcano yang tingginya mencapai 2.885 meter. Dibeberapa bahu gunung raksasa yang terletak di tengah-tengah Provinsi Aceh ini, juga masih kelihatan dipenuhi oleh hutan hujan tropis yang sangat lebat. Bagi beberapa masyarakat Desa Wih Porak yang kami tanya, umumnya mereka belum mengetahui jika desanya berada di kaki sebuah gunung api. “Yang saya tahu hanya Burni Telong sebagai gunung berapi,” kata Edi (35), salah seorang warga setempat.

Sebagaimana diketahui, Burni Telong (2.646 meter) memang terletak di Selatan Gunung Geureudong, tepatnya berhadapan langsung dengan Bandara Rembele. Catatan aktivitas Burni Telong seperti ditulis oleh Newman van Padang (1951) dalam Wikipedia menyatakan bahwa pada akhir September 1837 terjadi beberapa letusan dan gempa bumi yang menyebabkan banyak kerusakan.

Van Padang menambahkan bahwa pada 12-13 Januari 1839 terjadi letusan yang abunya sampai ke Pulau Weh, kemudian pada 14 April 1856 terjadi letusan dari kawah pusat yang memuntahkan material berupa abu dan batu. Tahun 1919 juga terjadi letusan normal dari kawah pusat, serta pada 7 Desember 1924 terlihat 5 buah tiang asap tanpa diikuti oleh letusan.

Oleh karena itu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (2010) mengeluarkan rekomendasi terhadap Gunung Burni Telong: tidak diperbolehkan bermalam di sekitar solfatra/fumarola karena konsentrasi gas vulkanik yang dapat membahayakan kehidupan manusia.

Pada hari itu, kami telah berada di Kampung Wih Porak Lancang berjarak sekitar 30 Km dari Burni Telong. Memang, di kaki Burni Telong, tepatnya di Kampung Simpang Balik terdapat sumber air panas yang sudah dijadikan tempat pemandian umum. Namun, informasi yang kami peroleh bahwa di Kampung Wih Porak Lancang, juga terdapat sejumlah sumber air panas. Jika informasi itu benar, maka Gunung Geureudong termasuk kompleks gunung api yang berada di Kabupaten Bener Meriah.

Berdasarkan sumber informasi itu, kami mencoba menyelusuri pinggiran rawa-rawa yang luasnya mencapai 4 hektar. Rawa-rawa berair payau itu dipenuhi tanaman bambu air (disebut pelu dalam bahasa Gayo). Dengan melewati jalan setapak yang berliku-liku diantara “hutan” bambu air, dan ditengah hujan yang cukup lebat, dari kejauhan terlihat asap mengepul. Ucok, penunjuk jalan tim ekspedisi itu mengatakan bahwa di lokasi asap itu sumber air panas yang dimaksud.

Merebus Telor Di Mata Air Panas

Sekitar lima belas menit berjalan kaki, sampailah tim ekspedisi kami ke lokasi sumber air panas itu. Ditengah “hutan” bambu air yang sangat rapat itu terdapat genangan air ukuran 5 x 5 meter. Ditengah kolam berair jernih tersebut terlihat air menggelegak seperti air mendidih yang disertai kepulan asap berbau belerang. Saya mencoba merasakan suhu air di sumber air menggelegak yang jumlahnya puluhan titik, suhunya sekitar 40-50 derajat Celcius. Lalu, saya coba mencicipi rasa air itu, wow… rasanya asin.

Ucok, sang penunjuk jalan memasukkan sepuluh butir telor ayam yang sudah kami persiapkan ke dalam gelegak air panas itu. Kemudian, Firdaus Chalid, salah seorang tim ekspedisi membuka pakaian dan segera berendam di air belerang itu. Saya yang tidak membawa pakaian ganti hanya bisa merendam kaki dalam air panas itu. Sambil merendam kaki, saya mencoba menusuk dasar kolam itu dengan kayu, ternyata semua sisi yang saya tusuk bertumpu pada benda keras. “Kolam air panas ini berada di atas batu,” ungkap Ucok.

Dua puluh menit setelah merendam telor di gelegak air panas itu, kami mencoba melihat hasilnya. Ternyata telor itu telah menjadi telor setengah matang. Kami bertiga mulai menikmati telor setengah matang yang cukup maknyus sambil berendam di air panas. Hebatnya, tanpa dibubuhi garam, rasa telor itu sudah asin. “Ini ekspedisi luar biasa, berendam air panas sambil menikmati sebutir telor setengah matang,” kata Firdaus Chalid.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.