Soal Kualitas dan Harga, Ada Pembodohan Petani Kopi Gayo

Takengon | Lintas Gayo – Sejumlah tokoh pengiat objek wisata dan pelaku kopi di tanoh Gayo berkumpul di Cafe Bostonian hotel Darussalam-Takengon, Kamis 21 Juni 2012 malam. Mereka yang hadir tersebut mengaku sejak lama resah dengan kondisi ekonomi masyarakat petani kopi Gayo yang cenderung kurang berubah kearah yang lebih baik.

Diantara yang hadir atas undangan Muhammad tersebut tampak M. Syarif mantan Sekda Kabupaten Aceh Tengah, Sauta pebisnis kopi, T. Amroza yang bekerja di IOM, Marwan kepala Bank Aceh cabang Takengon,Ā Najib Bantacut pemilik hotel Darussalam, dan sejumlah tokoh lainnya dalam duduk-duduk santai (coffee break).

Dalam bincang-bincang santai tersebut, M. Syarif pemilik objek wisata di kawasan Relung Gunung Kabupaten Bener Meriah mengungkapkan, objek wisata di Tanoh Gayo ini merupakan objek wisata yang alami, karenanya, perlu dilestarikan dan dikelola dengan baik, agar yang berkunjung bisa menikmatinya, ungkap M. Syarif.

T. Amroza juga mengungkapkan hal sama, menurutnya, sebelum dilakukan pembenahan untuk pariwisata, terlebih dahulu diadakannya sosialisasi mengenai makna dari pariwisata itu sendiri.

“Tempat pariwisata di Aceh Tengah perlu dilakukan pembenahan serta yang terpenting adalah mensosialisasikan makna pariwisata itu sendiri, saat ini banyak masyarakat yang masih mengartikan makna pariwisata dalam bentuk negatif”, terang T. Amroza yang juga pernah mengelola objek wisata pante Ujung Batee di Aceh Besar ini.

Selain tempat wisata, tambah Amroza, diperlukan sarana pendukung yang memadai salah satunya agrowisata.

“Agrowisata di Aceh Tenga yang sangat laku dijual salah satunya adalah kopi, selain agrowisata-agrowisata lainnya”, kata Amrozi.

Sementara itu, salah seorang putra Gayo yang kini menjadi pelaku kopi Sauta, membenarkan kopi menjadi salah satu agrowisata di Kabupaten Aceh Tengah. “Berbicara masalah kopi Gayo, tak cukup waktu dua-tiga hari membahasnya”, terang Sauta.

Menurutnya, saat ini di Gayo banyak yang tidak mengetahui tentang Standar Specialty dari kopi, sehingga petani mudah terjebak dalam hal ini yang berakibat turunnya kualitas dari kopi itu sendiri.

“Nilai dari SCAA (Specialty Coffee Association of American) untuk kopi Arabika sudah di patok dengan nilai 80 keatas, dan yang lebih specifik itu sesuai dengan permintaan konsumen, jika ini tidak dibenahi maka akan terjadi kerugian di tingkat petani”, kata Sauta.

Ditambahkannya, hingga saat ini kopi Gayo telah memiliki 78 varietas (jenis), mulai dari asli sampai hibrid. “Gayo kaya akan varietas kopi”, tambahnya.

Di sisi lain pemerhati dan penikmat kopi di Bener Meriah, Munawar mengungkapkan, meski hingga saat ini kopi arabika Gayo telah menjadi kopi terbaik di dunia, akan tetapi masyarakat dan petaninya tidak mendapatkan harga yang layak.

“Ironis sekali ditengah harga kopi yang melambung nasib petani kopi kita, secara ekonomis masih kurang”, kata Munawar.

Dilanjutkannya, hal ini dipicu oleh pembodohan publik oleh pelaku-pelaku kopi kita, dan ketidakikhlasan para pelaku itu untuk membina petani terlebih pelaku-pelaku dari Sumatera, sehingga petani mulai tidak percaya kepada pelaku-pelaku kopi kita, yang mengakibatkan kesalahan dalam hal teknis dalam mengelolanya.

Najib Bantacut, seorang warga Gayo yang sempat berpuluh tahun menetap di Boston Amerika, memberikan sejumlah solusi, menurutnya, permasalah mengenai kopi Gayo saat ini perlu dilakukan pembenahan prilaku, dan menggencarkan sosialisasi yang kontinue kepada petani.

“Mungkin ini salah satu jalan yang bisa kita ambil dalam pembicaraan ini, jika kita sepakat, maka kita yang dahulu melakukannya, sehingga masyarakat bisa menikmati hasil yang maksimal dari kopi”, pungkas Najib seraya mengatakan kegiatan seperti ini perlu sesering mungkin dilakukan dan segera melakukan action. (Darmawan Masri)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.