MERSIK, seorang pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) mendapat tugas membuat esai berkaitan dengan guru. Tugas itu ‘memaksa’ nya untuk rajin mengumpulkan dan membaca tulisan-tulisan yang berhubungan dengan ‘guru’.
“Dalam hidup ini kita mengenal dua jenis guru, guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajar sesuatu yang standar. Guru inspiratif tidak mengejar kurikulum, tetapi mengajak murid-muridnya berpikir kreatif, mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar, mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama” Mersik menjelaskan pada Ramaniya sambil mengatakan kalau itu ia kutip dari tulisan Rhenald Kasali di harian Kompas, 29 Agustus 2007.
“Sepengetahuan ibu, guru-guru didong yang ada di Aceh Tengah dan Bener Meriah termasuk jenis guru kurikulum atau guru inspiratif ?” tanya Mersik. Ramaniya mengernyit mendengar pertanyaan until-nya itu.
“Kalau menurut kamu sendiri ?” Ramaniya balik bertanya
“Didong sebagai sebuah seni meniscayakan kreatifitas. Ia tidak akan berkembang seandainya bertumpu pada kurikulum. Jadi menurutku, guru didong itu haruslah jenis guru yang inspiratif ” jawab Mersik.
“Tunggu dulu. Apa guru didong itu menurutmu ?” Ramaniya, si penari Gayo di Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II itu bertanya lagi.
“Guru, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah orang yang mengajari orang lain baik di sekolah atau bukan tentang suatu ilmu pengetahuan atau tentang suatu keterampilan. Guru Agama misalnya, adalah orang yang mengajarkan ajaran agama. Guru silat, adalah orang yang mengajari murid-muridnya kepandaian bersilat. Tentu begitu juga dengan guru didong, ia adalah orang yang mengajarkan ilmu atau keterampilan ber-didong”
Mendengar itu Ramaniya tersenyum,
“Guru didong itu adalah sebutan untuk orang yang berperan mengawali penampilan tari guel. Ia menari sendiri, berlari-lari kecil, kakinya mugeritik seraya mengibaskan upuh ulen-ulen, menyampaikan salam dan balada peristiwa yang berlangsung dengan bersenandung (be-denang). Selain kelincahan dalam gerak, guru didong biasanya juga bersuara merdu. Gaya Spontanitas dalam memainkan lakon sangat penting buat seorang guru didong” penjelasan Ramaniya berhenti sejurus, ia bergegas mengambil sebuah buku lalu membacakan isinya.
“Dalam upacara pernikahan di Gayo dahulu, guru didong selalu menyertai rombongan calon pengantin. Ia bertindak sebagai juru bicara, berjalan di depan rombongan sambil menari dengan cara setengah berlari dan mengibaskan kain yg dipasangkan di bahu (be-sining). Setelah tiba di tempat, ia berdenang menyampaikan maksud tujuan. Sudah barang tentu, untuk menyambut maksud tujuan rombongan yang datang, juru bicara pihak tuan rumah tentulah seorang guru didong juga. Sekarang, peristiwa demikian tidak pernah dilakukan lagi”
“Kenapa tidak dilestarikan ya bi” tanya Mersik. Ramaniya mengangkat bahu memberi tanda akan ketidaktahuannya.
“Ya sudahlah, yang penting guru didong itu bukan orang yang mengajarkan ilmu atau keterampilan ber-didong seperti yang selama ini aku pahami” ucap Mersik seraya tersenyum
—
Depok, 25 Januari 2013.