
AKU berada di atas perahu karet mengitari sisi timur Danau Lut Tawar saat dua jam lagi jarum jam menunjukkan angka 12, terik kian menyapa, hari minggu yang cerah. Selain aku yang satu-satunya mengenakan jacket pelampung, ada tiga pelajar lain yang berada di atas perahu, mereka anggota Gayo Diving Club (GDC). Kami sedang menunggui tiga anggota GDC lain yang sedang membersihkan sampah di dasar danau.
Di daratan, sedang ada “pesta rakyat” 4 kecamatan yang berbatasan langsung dengan Danau Lut Tawar, yaitu Kecamatan Bintang, Lut Tawar, Kebayakan dan Bebesen. Acara yang berlangsung cukup beragam, mulai dari lomba permainan tradisional Rakyat Gayo, lomba memasak masakan khas Gayo, hingga lomba Desa Sapta Pesona.
Acara ini sekaligus penutupan masa Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) Mahasiswa Universitas Gajah Putih (UGP). Aku tidak mengindahkan perhatianku pada pentas seni eteng-eteng iyak tersebut, terlalu larut mengikuti kegiatan GDC.
selain memunguti sampah di dasar danau, penyelam GDC dilengkapi dengan kamera yang telah diberi chasing anti air yang digunakan untuk mengambil foto-foto sampah di dasar danau. Aku terkesima saat Muna sang Ketua GDC merangkai chasing anti air pada kameranya, ia begitu telaten dan hati-hati saat memasang baut demi baut.
Bentuk chasing kamera tersebut menyerupai kamera DSLR, namun pada bagian lensanya terdapat kaca cembung berukuran besar. Di satu sisinya menjulang flash kamera, sedangkan di sisi lainnya terdapat besi untuk pegangan tangan agar tidak kesulitan saat memegang kamera sekaligus menyelam. Menurut pengakuan Muna untuk menyulap chasing tersebut, menghabiskan dana sekitar 40 juta. Aku tersenyum demi mendengar angka tersebut, sok cool.
Selain chasing yang berharga puluhan juta, ada benda lain yang menarik perhatianku, yaitu digital sonar. Bentuknya seperti senter, hanya saja alat ini berguna untuk mengetahui kedalaman air, suhu, serta keberadaan ikan. Kemampuannya mendeteksi ikan mirip gelombang sonar yang dimiliki lumba-lumba. Aku jadi terpikir jikalau para nelayan memiliki sonar ini, mungkin tidak akan ada lagi kita dengar penangkapan ikan menggunakan bahan peledak. Muna ingin mengenalkanku pada alat-alat diving lainnya, namun aku takut tidak mampu mengingatnya dengan cermat, dua alat untuk pertemuan pertama aku rasa cukup.
Sampah-sampah yang berada di Kawasan Pante Menye tersebut disinyalir telah ada sejak Warga Kecamatan Bintang mengenal plastik, tak terbilang tahun yang telah bergulir dan berapa banyak sampah yang terdapat disana. Selain anggota GDC, turut serta mengambil sampah dari dasar danau para anggota Central Aceh Bicycle Community (CABC) dengan cara manual. Secara bergantian para anggota GDC turun menyelami dasar Danau Lut Tawar di Kawasan Pante Menye guna membersihkan sampah.
Mereka benar-benar kelelahan, karena terlalu banyak sampah yang harus diangkut, saat sore menjelang mereka memutuskan untuk berhenti. Tugasku, hanya jadi pemantau yang budiman di perahu karet, sesekali membantu menaikkan sampah ke perahu atau menurunkannya dari perahu saat sudah sampai di daratan. Kendati tidak dapat berenang, namun aku sama sekali tidak takut ikut serta kegiatan tersebut, mungkin karena ada rasa percaya pada para anggota GDC yang pasti akan menolongku jika terjadi sesuatu.
Seminggu yang lalu, di kawasan Danau Lut Tawar juga diadakan pembersihan sampah di beberapa titik. Kegiatan ini secara massal dilakukan oleh para atlit, mahasiswa, beberapa dinas serta warga yang desanya berbatasan langsung dengan danau, sekaligus awal dari lomba Desa Sapta Pesona.
Aku dan yang lainnya menyisiri Lukup Penalam Peteri Ijo, Ujong Baro hingga perbatasan Kampung One-one. Sepanjang jalan yang kulalui, benar-benar tidak ada yang luput dari sampah, dengan berbagai jenis, bahkan diapers atau popok bayi sekali pakai yang kotor dibuang begitu saja di tepi jalan. Sebegitu minimnyakah kepedulian Masyarakat Gayo akan kebersihan lingkungan?
Selama pembersihan sampah berlangsung, banyak sekali mobil beragam jenis berlalu lalang dengan muatan over capasity menuju tempat wisata di sekitar danau, tatapan mereka menyiratkan betapa mereka mengasihani kami. Saat pekerjaan mengangkut sampah sama rendahnya dengan sampah itu sendiri masih melekat erat di benak seseorang, maka orang-orang yang perduli dengan kebersihan lingkungan, memunguti sampah di sepanjang jalan memiliki predikat yang sama di benak mereka. Aku malah balik menaruh kasihan pada mereka.
Aku pernah menyaksikan sebuah program televisi di channel milik Jepang, sebuah perlombaan lari estafet namun sambil memunguti sampah di sepanjang jalan. Jadi, penilaian pemenang bukan hanya siapa yang lebih cepat sampai di finish, namun juga siapa yang paling banyak memperoleh sampah. Perlombaan tersebut berlangsung di pusat kota, dan mereka kesulitan memperoleh sampah. Akan sangat ironis jika perlombaan serupa diadakan di Indonesia.
Kegiatan memunguti sampah juga pernah kuikuti di Kota Bandung, saat itu belum diberlakukan sistem car free day. Kegiatan ini dirangkai sedemikian rupa dan sangat banyak peminatnya dari berbagai usia. Kegiatan yang diawali dengan long march sambil memunguti sampah ini start dari Jalan Ir.H Juanda hingga Sabuga Institut Teknik Bandung (ITB), menikmati musik acapella di bawah jembatan layang Pasupati, dan di Sabuga disambut dengan stand-stand unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) ITB dengan berbagai jenis barang terjaja di dalamnya. Mungkin, kegiatan serupa dapat dilakukan untuk menarik minat warga dalam membersihkan lingkungan.
Bagian yang menyedihkan menurutku bukanlah saat memunguti sampah-sampah yang berserakan, melainkan belum dua jam berlalu, tempat yang kami lalui kembali dipenuhi sampah. Sangat kesal rasanya ketika melihat seseorang membuah sampah dengan mudahnya ke jalan tanpa rasa bersalah sedikitpun. “Hanya bungkus permen, kok,” kilah beberapa teman saat kuprotes. Oh ayolah teman, tidakkah kalian ingat dengan peribahasa “sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit.” Apalagi ketika melihat sebuah tangan terjulur membuang sampah dari sebuah mobil mewah. Masih sulit sekali menemukan orang-orang yang menyimpan sampahnya di tas atau kantongnya hingga ia menemukan tong sampah. Apalagi untuk sampah puntung rokok.
Jika pada Hari Bumi yang jatuh pada 22 April lalu, Komunitas Sobat Bumi Aceh memasang spanduk komitmen untuk tidak membuang sampah sembarangan dengan jarqon “tong sampah tidak seluas Kota Banda Aceh,” dan bagi masyarakat yang siap berkomitmen disediakan ruang untuk membubuhkan tanda tangan pada spanduk tersebut. Maka, tidak ada salahnya di lain kesempatan kita juga memasang tulisan besar dengan jarqon “tong sampah tidak seluas Kawasan Danau Lut Tawar.”(Ria Devitariska)