*Oleh :Ghazali Abbas Adan
Majelis Adat Aceh (MAA) sudah jelas tugas pokok dan fungsi (tupoksi) nya, dan menurut pantauan saya selama ini belum dijalankan sesuai proporsi dan profesional. Diantaranya sebagaimana pernyataan Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA ) (20/11/2013).
Mengherankan, tugas dan kewajibanya sendiri belum beres sudah menunjukkan kegenitan, hudah huduh mengurus “proyek” Lembaga Wali Nanggroe. Dalam waktu yang bersamaan yang diurus itu sesuatu yang masih ilegal, karena sampai saat ini belum disetujui Mendagri. Juga mendapat tantangan dan penolakah dari berbagai elemen masyarakan dan semakin meluas. Sementara Pemerintah Aceh sendiri karena telah menunjukkan kesadaran terhadap keadaan demikian sebagaimana diberitakan media massa (19/11/2013) sudah menyampaikan usulan revisi Qanun WN ke DPRA .
Tidaklah berlebihan apabila saya nyatakan, adalah tindakan mubazir dan sia-sia sesuatu yang masih ilegal, liar dan akan direvisi diusung ke sana ke mari dengan dalih dan thema sosialisasi. Dan pasti dana yang digunakan untuk perbuatan mubazir dan sia-sia itu diambil dari uang rakyat tidaklah sedikit, belum terhitung lagi yang telah dikuras untuk biaya wira wiri ke berbagai kota di negeri ini mengurus qanun yang secara massif terus menerus ditentang dan ditolak berbagai elemen masyarakat itu, sementara Rp 1 juta/bulan/kk yang dijanjikan belum direalisasikan. Menurut saya ini merupakan perbuatan yang tidak beradat yang sejatinya tidak laik (laa yaliiq) dilakukan oleh lembaga yang bernama Majelis Adat Aceh (MAA) dan memang bukan tupoksinya.
Berdasarkan pemikiran dan fakta seperti ini, saya sependapt dengan kritikan YARA, serta harapan agar MAA jangan bertindak salah kaprah, meubalek cak meutuka cok, dan semestinya melaksanakan apa yang menjadi tupoksinya, tampil berwibawa, proporsional, profesional, mandiri dan berintegritas, serta tidak menjadi subordinasi dari Lembaga Wali Nanggroe yang masih ilegal dan liar itu.
Wassalam
*Salah seorang rakyat jelata di Aceh