Oleh: Julkifli Marbun
Selain menjadi pasokan nutrisi dan gizi, makanan telah menjadi bagian dari budaya kuliner suatu masyarakat. Di bidang ekonomi, makanan atau pangan menjadi komoditas primer dengan omzet yang cukup besar.
Istilah food security tidak jauh pengertiannya dari ekonomi makanan. Namun lebih dari itu istilah ini lebih mengacu pada dampak keamanannya atau dikenal dengan singkatan hankam, yang kalau tidak dikelola dengan baik dapat mengakibatkan keresahan sosial.
Makanan bisa juga menjadi pretext yang dapat menimbulkan perang, bila pengertian ekonomi dapat dipersempit menjadi urusan perut.
Maka tidak heran makanan juga dapat menjadi ‘alat’ politik yang dapat dimengerti menjadi ‘politisasi makanan’.
Politik makanan menjadi lebih menarik untuk disimak, saat berbagai masyarakat di dunia mempunyai pantangan dalam makanan. Pantangan yang sering disebut sebagai taboo atau ekuivalen berarti haram.
Di India, memakan sapi adalah sesuatu yang dilarang menurut kepercayaan sebagian besar masyarakatnya. Di Indonesia dan beberapa negara di Timur Tengah, mengkonsumsi babi atau anjing merupakan sesuatu haram, selain makanan lain yang dilarang karena illat tertentu seperti menjijikkan; tikus, ular dan lain-lain.
Walaupun tidak terlalu mirip, kedua masyarakat negara ini sangat sensitif dengan pantangan tersebut. Sensitivitas masyarakat itu ternyata bisa menjadi tunggangan yang tentunya bertujuan politik kekuasaan.
Di sana, tidak jarang ada konflik antara masyarakat karena sapi disembelih. Di sini, masyarakat bisa panik bila ternyata sebuah makanan dicampur dengan babi atau anjing. Selain itu, food politics juga menyebar ke turunannya, misalnya antara masyarakat vegetarian kontra non-vegetarian.
Anehnya, politik makanan juga berhubungan erat dengan politik ekonomi. Misalnya, di masyarakat yang vegetarian, produksi sayur mayur menjadi sangat dibutuhkan dan harganya bisa melambung tinggi.
Sebagaimana politik lainnya, tensi politik makanan bisa menaik tinggi apabila sudah dimasuki oleh kepentingan media yang haus dengan kontroversi.
Belum terlalu dilupakan, di Denmark masalah babi pernah memuncak tinggi yang mengakibatkan ketegangan masyarakat di sana, yang kebetulan antara masyarakat setempat dan para imigran yang secara umum dipisahkan oleh keyakinan yang berbeda.
NPR dalam artikel ‘Pork Politics: Why Some Danes Want Pig Meat Required On Menus’, September lalu menjelaskan masalah babi ini telah disetir oleh penumpang liar, kaum far-right untuk mendorong kebencian kepada imigran.
Namun sayangnya, kasus Kartun Muhammad yang muncul setelah itu ternyata melebar menjadi masalah agama yang memicu huru-hara dan demonstrasi di seluruh dunia. Fenomena ini menjadi aneh, saat sentimen anti-imigran ‘ditransformasikan’ menjadi sentimen agama berskala dunia.
Tidak perlu jauh ke India atau ke Eropa, polemik babi, enzimnya maupun turunannya sudah sering menjadi komoditas untuk menimbulkan keresahan di masyarakat.
Masih teringat, tahun 2001, saat Presiden Abdurrahman Wahid alias Gusdur, dengan tegas mengatakan bahwa sebuah produk dengan merek tertentu halal dimakan.
Saat itu, sebuah produk makanan buatan dari Jepang yang diproduksi Indonesia diangkat menjadi ‘alat’ untuk meresahkan masyarakat. Gusdur melalui juru bicaranya Wimar Witoelar tegas menyebut itu merupakan “persoalan politis yang menggunakan simbol agama dan dibarengi ketidaktahuan rakyat.”
Berhubungan dengan masalah ini, Alarabiya tahun 2009, menurunkan sebuah berita permintaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kepada pemerintahan Arab Saudi untuk berhenti memberikan vaksinasi kepada jemaah haji karena vaksinnya diketahui memiliki kandungan enzim babi.
Berita ini nampak unik, karena kelihatannya Arab Saudi telah mengkontaminasi darah jutaan haji yang datang ke negara itu dengan sesuatu yang dapat membatalkan ibadah dan bahkan menjerumuskannya dengan sesuatu yang haram. Walaupun, mereka yang mengerti akan melihat berita itu sebagai sesuatu yang biasa saja.
Tulisan ini tidak bermaksud menggeneralisasi bahwa isu vaksin babi belakangan ini berhubungan dengan pork politics. Namun, pihak-pihak yang berkepentingan sudah seharusnya membawa isu ini menjadi sebuah pencerahan kepada masyarakat mengenai seluk beluk isu yang dimaksud untuk menghindari polemik dan kegalauan publik.
Penjelasan mengenai tata aturan makanan atau zat haram harus dibarengi dengan argumentasi keterbatasan kemampuan teknologi manusia saat ini, khususnya teknologi lokal dan kapasitas industri nasional, tanpa bermaksud merendahkan religious literacy masyarakat tertentu.
Mungkin, akan lebih baik lagi bila dibarengi dengan tekad mendorong tumbuhnya industri lokal yang halalan-tayiban.
*penulis adalah Editor Republika Online (ROL) dan dapat dihubungi di: julkifli@rol.republika.co.id. (Republika)