Oleh : Win Wan Nur*
Di zaman Soekarno, bukannya memberi apresiasi, Provinsi Aceh malah digabungkan dengan Sumatera Utara dengan Medan sebagai ibukota. Di masa Soeharto, ketika gas Arun menjadi sumber utama APBN, rakyat Aceh hidup sengsara. Contoh nyata kesewenang-wenangan ini bisa kita lihat dengan mata telanjang kalau saat itu kita melintas di Aceh Utara. Kita bisa menyaksikan bagaimana kontrasnya kondisi perumahan pegawai PT.ARUN yang mayoritas berasal dari pulau Jawa yang dibangun dengan standar kenyamanan ala Eropa dibandingkan dengan perkampungan kumuh Pusong yang didirikan di atas tiang-tiang kayu di atas rawa-rawa kotor yang bahkan belum dialiri listrik.
Saat rakyat Aceh memprotes keadaan ini, Jakarta bukannya mendengarkan dan menyelesaikan permasalahan dengan dialog tapi malah mengirimkan tentara. Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dan sejak saat itu, rakyat Aceh mulai terbiasa dengan kisah pelanggaran HAM yang luar biasa.
Ketika gelombang reformasi melanda. Aceh mengambil momen ini untuk menuntut keadilan, protes merebak di seantero provinsi. Tapi hasilnya, eskalasi konflik dan jumlah korban pada ketegangan pasca reformasi ini jauh lebih besar dibanding masa DOM.
Di masa seperti itu, Aceh seperti sebuah bangsa, bukan hanya sebuah suku. Penduduk Aceh yang bukan suku Aceh juga ikut berjuang untuk menegakkan martabat Aceh. Di kalangan mahasiswa, penulis mengenal seorang putra Gayo bernama Azmi, yang namanya dikenal karena memukul mantan gubernur Aceh yang meremehkan ekses DOM yang merupakan tanggung jaWabnya. Di Banda Aceh, Azmi bersama penulis dan De Ronnie pernah diundang oleh Sofyan Ibrahim Tiba (belakangan menjadi juru runding GAM) yang saat itu belum banyak tahu tentang gerakan GAM. Almarhum mengundang Azmi karena beliau ingin menggali informasi dari Azmi tentang kondisi dan keadaan GAM yang sebenarnya. Azmi banyak memiliki Suara Aceh Merdeka, majalah propaganda GAM dengan pemimpin redaksi Luth Ari Gayo yang ternyata adalah Pseudo Name dari Yusra Habib Abdul Gani, seorang tokoh Gayo lainnya. Majalah ini sangat terlarang di masa itu, kalau keberadaannya sampai diketahui oleh militer pemiliknya dan siapapun yang diketahui pernah membacanya bisa kehilangan nyawa. Minimal dipenjara.
Penulis sendiri yang saat itu masih berstatus mahasiswa. Meski tidak mengambil peran yang terlalu signifikan, tapi sebagaimana umumnya mahasiswa di Aceh pada masa itu. Penulis juga ikut dalam hiruk pikuk gerakan mahasiswa yang menuntut keadilan untuk Aceh.
GAM semakin membesar. Gerakan sipil, mulai dari mahasiswa, santri sampai rakyat sipil biasa mulai menunjukkan kekuatannya. Berpuncak pada gerakan menuntut referendum untuk merdeka. Aceh sedikit lagi lepas dari Indonesia. Alhasil, RI kembali mengirimkan tentara. Situasi ini membuat tensi politik dan ketegangan meningkat. GAM yang sebelumnya hanya sekelompok kecil orang saja, berkembang menjadi gerakan raksasa. Gerakan mahasiswa di Aceh yang mati suri di masa DOM, mulai menemukan keberaniannya, menekan pemerintah pusat untuk memberikan keadilan untuk Aceh.
Api yang dibuat pemerintah Indonesia untuk melawan api menjadi tidak terkendali. Semakin kuat Aceh ditekan, semakin kuat Aceh melawan. GAM yang awalnya cuma gerakan kecil, sudah menjelma menjadi kekuatan besar. Isu Aceh yang tadinya hanya isu lokal, mulai menjadi isu internasional.
Tapi semua berubah pasca MoU Helsinki. Dari yang dulunya menekan dan tanpa kompromi, pemerintah pusat jadi seperti terkesan memanjakan Aceh. Minta otonomi khusus langsung diberikan. Minta partai politik lokal, O.K. Minta pembagian hasil gas alam, silahkan, DAU lebih besar, boleh. Anggota GAM yang dulu diburu militer seperti warga kampung memburu maling ayam, sekarang malah bergandengan tangan.
Pemilu 2009, GAM yang bertransformasi menjadi Partai Aceh menang telak. GAM sepenuhnya menguasai parlemen, untuk nasional Partai Demokrat yang menggandeng GAM menang dengan prosentase fantastis. GAM menguasai segala lini pemerintahan mulai dari eksekutif sampai legislatif.
Dengan segala janji dan propaganda di masa perjuangan yang menimpakan segala masalah di Aceh, mulai dari ketidak merataan pembangunan sampai pada friksi antar suku di Aceh kepada Jawa yang merupakan representasi pemerintah pusat. Wajar kalau ketika GAM akhirnya berkuasa, semua mengharapkan impian dan cita-cita yang diperjuangkan dulu menjadi kenyataan.
Tapi apakah itu terjadi?. Jauh panggang dari api. Setelah Aceh sepenuhnya berkuasa nyaris tanpa intervensi Jawa. Yang muncul malah arogansi kesukuan.
Para tokoh Aceh yang berkuasa, menunjukkan arogansi dan superioritas kesukuan secara terang-terangan. Abdullah Saleh, seorang anggota DPRA dari Partai Aceh, terang-terangan melecehkan warga Aceh yang bukan suku Aceh dengan menyebutnya sebagai ‘Orang yang tidak jelas’. Wakil Gubernur Muzakkir Manaf dengan lantang mengatakan ‘Orang Aceh, tidak punya marga di belakang namanya’, padahal banyak penduduk asli daerah ini dari suku Keluwat, Alas dan Gayo yang memiliki marga. Di PKA (Pekan Kebudayaan Aceh) terakhir, budaya-budaya khas suku-suku asli non-Aceh sudah tidak lagi mereka tampilkan.
Di akar rumput lebih parah lagi, di grup facebook kabar Aceh, hinaan dan makian yang ditujukan oleh orang Aceh pada orang Gayo (salah satu suku pribumi non Aceh) begitu gencar, dengan bahasa dan kata-kata yang mustahil bisa diucapkan oleh manusia yang menganut moralitas dan nilai sopan santun yang normal.
Tidak cukup dengan ucapan dan perbuatan, arogansi dan superioritas kesukuan ini sampai dikukuhkan menjadi sebuah undang-undang. ‘Qanun Wali Nanggroe’ yang sangat rasis dan mengagungkan suku tertentu itu didukung penuh oleh dewan. Dan seperti biasa, pemerintah pusat tetap diam.
Bagaimana dengan para mantan aktivis mahasiswa yang sekarang sudah berkuasa dan menjadi penentu kebijakan?. Beberapa dari mereka di masa konflik lari ke Malaysia, negeri yang bersama Israel masih menerapkan undang-undang yang memberikan hak istimewa kepada kelompok mayoritas dalam konstitusi negaranya. Mereka kuliah di sana, ketika pulang ke Aceh, mungkin karena begitu silau dengan kemajuan Malaysia sehingga tampaknya mereka menganggap hak istimewa bagi suku Aceh adalah hal yang sudah sewajarnya, sebagaimana konsep ‘Ketuanan Melayu di Malaysia’yang mereka anggap sebagai komponen penting atas majunya Malaysia. Beberapa dari mereka ini, sekarang berada di lembaga Think Tank yang banyak memberi masukan untuk kebijakan pemerintah Aceh. Sisanya tidak berani bersuara, ketika posisi penindas ada di pihak mereka.
Aceh yang dulu mereka gembar-gemborkan sebagai sebuah bangsa, sekarang secara nyata telah tereduksi menjadi nama satu suku saja, dan satu suku itu mendapat hak istimewa dibanding suku-suku lain di provinsi ini.
Aceh seperti seorang korban penyiksaan yang selalu ditindas dan dilecehkan ketika kecil, lalu bertindak sama ketika sudah dewasa dan berkuasa. Hanya kali ini posisinya sebagai pelaku.
Dalam sejarah dunia, ini seperti yang dialami Yahudi yang ditindas dan disiksa Jerman, kemudian oleh pemenang perang ditempatkan di Palestina dan mereka pun menjajah dan menyiksa Palestina.
Pemerintah pusat dulu menyiksa Aceh, sekarang Gayo dan suku-suku non Aceh lain yang dapat getahnya. Sebagaimana Palestina yang menjadi korban penindasan Yahudi yang dulunya ditindas Jerman.
Situasi seperti ini membuat penulis yang dulunya membela Aceh habis-habisan, terpaksa berubah haluan. Perubahan haluan ini, tentu saja membuat banyak teman yang dulunya seiring sekarang balik mengecam. Beberapa menggambarkan penulis sebagai pengkhianat yang tidak menginginkan Aceh damai. Tapi ternyata bukan penulis sendiri yang merasakan hal demikian.
8 oktober 2013 silam, sebuah acara diskusi yang diberi titel “Menatap Gayo” diselenggarakan di Hotel Linge Land Takengen. Sepanjang hidup penulis, belum pernah penulis menyaksikan sebuah acara diskusi di Gayo yang dihadiri oleh tokoh-tokoh yang selengkap ini. Acara ini selain dihadiri oleh para tokoh seperti Tagore Abu Bakar dan Zulfan Diara yang sejak dulu dikenal sebagai pendukung ALA dan juga tokoh-tokoh masyarakat dan alim ulama seperti Mahmud Ibrahim tapi juga dihadiri oleh tokoh-tokoh seperti Yusra Habib Abdul Gani, Linggadinsyah, Dawan Gayo, Bazaruddin Banta Mude dan Iklil Ilyas Leubee yang selama ini dikenal sebagai tokoh penting GAM. Selain itu, acara yang dimoderatori oleh penulis ini juga menghadirkan tokoh seniman sampai rektor Universitas Gajah Putih, Mirda Alimi.
Dalam diskusi ini. Bazaruddin Banta Mude, salah seorang tokoh penting GAM yang lama berjuang mempertaruhkan nyawa demi kehormatan dan kejayaan Aceh bersama GAM juga menyatakan kekecewaannya pada apa yang dilakukan Aceh pada Gayo saat ini. Sesuatu yang jauh dari bayangannya ketika berjuang bersama GAM dulu “Acih le ya”, (itu orang Aceh) katanya sambil tertawa sinis.
Dan tampaknya hal yang sama dirasakan oleh semua peserta yang hadir malam itu. Gayo ditindas Aceh dan Pemerintah pusat tak bisa diharapkan. Sehingga ketika muncul ide untuk membentuk sebuah lembaga independen untuk mempertahankan eksistensi dan identitas masyarakat Gayo. Secara aklamasi peserta diskusi menyetujui, banyak yang berteriak HIDUP GAYO.
Tagore, Yusra Habib Abdul Gani,Linggadinsyah, Bazaruddin Banta Mude dan Iklil Ilyas Leubee bahkan ditunjuk sebagai anggota dari lembaga baru yang diberi nama Dewan Adat Gayo ini. Secara simbolis dikukuhkan oleh Mahmud Ibrahim, tokoh Gayo yang paling dituakan.
Di Malam yang bersejarah itu, tampaknya semua sepakat. Kalau Gayo ingin tetap eksis dan bermartabat, Aceh tak boleh terus dibiarkan. Meski tidak dengan senjata…Aceh harus dilawan!
ini menarik. berbeda pendapat itu biasa. saling bertukar pikiran untuk saling memahami bukanlah permasalah. meskipun nanti nya yang kalian pahami bahwa kalian tidak satu pendapat.
Jgn bergaduh atlas Hal Hal yg Kecil,musuh Suka you all bergaduh.Kami rakyat Malaysia tak Suka bergaduh disebab Suka suku Dan salah paham,banyak benda lain yg hiarus dibincangkan bagaimana ingin memajukan Aceh untuk Terus maju….satu lagi tak perlu tulip Attu highlight benda2 mangarut tak ada untungnya.
bukan win wan nur namanya kalau nggak adu argument, entah benar ntah salah yang penting asal jawab, koment soal fpi di bali sudah di hapus ya win makanya di tantang linknya
biarlah ALLAH SWT yang menjadi pelindung kita dari orang2 yang suka memfitnah seperti win wan nur dan orang2 sejenisnya
waktu protes di bali akan di adakannya miss world si win wan nur kepanasan karena merasa di rugikan sebagai orang islam yang merasa tidak sependapat dengan FPI dia merasa terganggu sebagai orang islam yang tinggal di bali karena bali tempat ia mencari makan, nah dia sendiri selalu menulis ACEH dengan kalimat vulgar(ETNIK) seolah2 semua orang seperti itu sehingga menimbulkan protes dari teman2nya bahwa tidak semua kami(aceh) seperti itu) n merasa terganggu karena salah satu dari mereka sudah ada yang menikah dengan orang2 gayo, tapi dia(wwn) nggak perduli tetap dia labelkan kesemua, nggak malu dia waktu dia katakan dia tidak mewakili FPI sebagai orang islam, air memang asin sendiri ya win
Sebenarnya ini akan menjadi diskusi yang menarik, kalau ada orang Aceh yang mau mendiskusikan soal ini dengan kepala dingin dan segala kejernihan. Masalahnya ketika kita bicara tentang Aceh kepada orang Aceh, sedikit sekali orang Aceh yang bisa memandang Aceh dengan apa adanya. Sejauh ini hanya orang-orang seperti Ghazali Abbas yang bisa. Dan sosok seperti itu, terus terang sangat langka.
Sisanya, kita tunjukkan fakta si orang Aceh ini lari membahas kemana-mana, dan itupun apa yang diucapkannya kalau terus dikejar akan lari kemana-mana lagi, pokoknya ACEH SELALU BENAR, kalau Aceh salah, lihat kembali premis pertama.
Jadi, ketika kita bicara tentang Aceh secara objektif, lebih baik jangan libatkan orang Aceh dalam diskusi, karena ujung-ujungnya hanya akan berujung pada caci maki. Dan faktanya, orang Aceh bisa dikatakan sebagai salah satu pengoleksi terbanyak kata-kata makian dalam berbagai versi dan variasi. Contohnya tak usah jauh-jauh, lihat dan baca saja komentar mereka di group Facebook Kabar Aceh.
Bahkan di Kaskus, Aceh sudah jadi bahan olok-olok, tiap ada pembahasan tentang Aceh, selalu ada yang menyeletuk dengan sinis. Yang tidak punya KTP Aceh, dilarang komentar.
orang aceh tidak merasa selalu benar, tapi jika kejahatan yang bukan dilakukan oleh semua orang aceh di sini tapi kamu sematkan pada semua orang aceh tentu anda adalah orang yang sangat anti dengan aceh(etnik), soal orang aceh yang memaki gayo, memang orang gayo tidak melakukan hal yang sama, cuma rata2 orang aceh saja yang tidak mengerti bahasa gayo, selain org sperti saya yang lahir dan di besarkan di tanah gayo dan orang2 ini rata2 seperti wwn yang sok intelektual dan sok paling benar, kalau kita bicara soal gesekan antar suku di indo ini di semua tempat ada, sumut toba dan karo contohnya, sulawesi bugis dengan bone di papua yg kulitnya sama saja sering bentrok lagi, pendapat anda cuma masalah anti pati semata(gak usah ngeles), satu lagi komentar anda “Yang tidak punya KTP Aceh, dilarang komentar.” masalah bukan tidak boleh komentar masalahnya adalah anda sendiri merasa terganggu dengan ulah FPI yang membuat pernyataan permusuhan di media tentang penyelengaraan missworld di bali terus anda sebagai orang muslim yang cari makan di bali merasa terganggu krn bukan bagian dari FPI(cuma KTP islam), terus bagaimana dengan kami2 di sini yang melihat anda selalu memprovokasi etnis anda untuk memusuhi kami(aceh) yang rakyat jelata ini yang pengahasilannya perhari makan di sesuaikan dengan pengahasilan 1 yang hari yang tidak tahu menahu masalah politik sekalipun. pikirlah win jangan asik ego sendiri begitu hal yang sama terjadi padamu seperti di bali kemarin anda saja mencak2 kepanasan bagaimana bisa anda di satu sisi mengatakan ini mulut aku(pendapat anda) smentara di sisi lain anda tak terima daerah tempat anda mencari makan terganggu bagaimana dengan kami2 yang sudah berasi milasi dgn orang2 gayo jadi jangan ngomong seenak perutmu saja
Selama masih namanya dunia, tidak ada yang namanya semua dalam pengertian 100 %. Apapun itu. Karena itulah saya selalu sebisa mungkin menghindari kata semua. Dan sejauh ini, yang sangat lucu dalam pandangan saya, kata “semua orang Aceh” selalu berasal dari orang Aceh yang berkomentar untuk menegasikan pendapat saya.
Hal yang sama berlaku untuk kalimat, sok paling intelektual dan paling benar. Saya seumur-umur sama sekali tidak pernah menyebut diri saya sendiri Intelek, apalagi paling benar. Semua label dan penilaian itu sama sekali tidak pernah keluar dari diri saya. Tapi selalu itu berasal dari pengakuan kalian orang Aceh sendiri.
Soal gesekan antar suku di Indonesia ini memang selalu ada, itu benar tidak saya sangkal. Tapi kebetulan yang terjadi di Aceh saya lebih memahami masalahnya secara cukup mendalam, sehingga saya pun lebih memiliki kapasitas untuk membahasnya secara lebih mendalam.
Tentang Aceh dan bagaimana keadaannya, saya mengomentari apa adanya. Kalau kalian sebagai orang Aceh merasa itu provokasi, ya silahkanlah introspeksi ke dalam. Lawan lah saudara sesuku kalian yang arogan, yang sewenang-wenang mengatasnamakan suku kalian dalam kesewenang-wenangannya. Supaya kita yang berbeda suku dan budaya ini bisa hidup damai dan setara.
Kalau bicara pribadi, saya sendiri pernah melakukan itu ketika dulu Gayo memanfaatkan situasi Aceh yang sedang terjepit untuk mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Dan kalau anda lebih cermat, ketika saat itu Gayo di posisi yang menzalimi. Saya membela Aceh, bukan Gayo.
Dan maaf sekali lagi, saat ini sosok seperti itu yang saya lihat di Aceh, hanya Ghazali Abbas Adan.
Cuma anehnya, di beberapa tulisan, saya melihat Ghazali Abbas jauh lebih terang-terangan membongkar kebusukan Aceh. Tapi entah kenapa reaksi kalian orang Aceh terhadap tulisannya tidak seheboh reaksi kalian terhadap tulisan saya. Sekali lagi Standar ganda.
Kalau soal FPI dan Miss World. Lebih baik anda hadirkan di sini link yang berisi komentar saya. Dan kemudian kita diskusikan. Kalau tidak, apa yang mau dikomentari. Anda berdebat dengan asumsi yang anda buat sendiri.
“Kalau soal FPI dan Miss World. Lebih baik anda hadirkan di sini link yang berisi komentar saya. Dan kemudian kita diskusikan. Kalau tidak, apa yang mau dikomentari. Anda berdebat dengan asumsi yang anda buat sendiri.”
bukan win wan nur kalau nggak ngeles. sya kira tidak perlu saya bawa link itu tapi demi ALLAH saya membacanya anda berkomentar di FB merasa dirugikan dengan tingkah laku FPI yang tidak mewakili orang islam seperti anda(nah loh). dari dulu saya lihat anda tidak perlu pendapat itu benar yang penting anda menang debat. kita tahu kok masalah keadilan yang mana yg anda maksud( aceh gayo) ini sebenarnya, masalahnya adalah masalah anak2(bahasa yang berbeda(aceh sering mengolok2 bahasa gayo, adat yang berbeda(aceh sering mengolok2 adat gayo) sudah turun temurun itu win dan gesekan ini tidak hanya terhadap aceh dan gayo saja tapi bercabang gayo sendiri kita katakan juga pernah bergesekan dengan alas sewaktu masih satu kabupaten(sebelum AGARA). saya sebenarnya banyak melihat2 tulisan2 anda, terus apapun masalah aceh langsung di politisir contoh MPU ACEH UTARA mengharamkan wanita menari saman(aceh menyebut tari adalah Saman).anda buat status di FB sampai2 ada yang koment di bawahnya ulama asu(anjing) apa itu padahal itu buat wanita dan fatwa itu utk daerah Aceh utara lagi pun wanita yang dilarang, banyak lagi tak perlu saya terangkan di sini saya cuma mengingatkan satu hal soal anda mengaku benci atau tidak cuma anda dan ALLAH yang tahu,
satu lagi anda dengan gaya tulisan anda itu menganggap orang lain bodoh ( bukan kali ini saja saya lihat tulisananda), anda tdk menyadarinya karena itu tadi “kalau orang berkaca sendiri tetap merasa ganteng sendiri” makanya saya sebut anda sok intelek, saya dari dulu melihat nggak mau koment apa2 sampai akhirnya masalah FPI itu saya jadi tertawa geli, saya pikir dalam hati inilah orang yang selalu ngomong seenak perutnya tanpa fikir siapa yang berbuat siapa yang disalahkan, eh begitu terkena sendiri nggak malu saya kira anda tahu apa yang saya bicarakan(soal FPI ini) dan anda nggak usah sok lupa. anda renungkan saja sendiri
Kalau usulnya merenungkan. O.K saya akan merenungkan tapi karena anda tidak mampu menunjukkan bukti dari apa yang anda tuduhkan, saya anggap itu semua perkataan anda ini cuma prasangka yang berasal dari imajinasi anda sendiri. Yang tidak ada perlunya lagi saya tanggapi.
Terima kasih sudah berkomentar di sini.
Tetap semangat..
nggak perlu saya sibuk mencari linknya, lagian anda menulisnya di Facebook(soal FPI) mungkin krn sudah terlalu lama nggak ingat lagi ya n saya cari lagi udah nggak ada. tulisan anda seperti di atas sudah sering saya baca modelnya sama itu2 saja, cuma x ini anda ingin membungkusnya dengan cara yang lebih baik walaupun intinya sama saja(anti pati), saya di sini tidak mencari dukungan supaya anda di serang tdk spt anda yang terus menerus menjelekkan aceh secara massive dgn harapan bantuan dng org di luar aceh(contoh kasus penelitian ceruk mendale anda langsung melibatkan si peneliti utk ikut dgn harapan membenci aceh) n banyak lagi yg lain, saya hanya ingin sekali mengomentari anda secara langsung(dari hati ke hati), kasus koment anda tentang FPI vs penyelenggaraan MISs worl di bali adalah satu contoh, bahwa anda tak nyaman daerah anda mencari nafkah terganggu oleh org yg menyukai kerusuhan, jadi itu yang saya maksud renungkan anda sendiri mengatakan, org tk mengerti 100% apa yg anda ucapkan, anda slama ini berteriak membela minoritas, ALA ini sbnrya hanya kepentingan org gayo semata bukan alas, simelu, kluet anda cuma mencari pembenaran saja. jd renungkan soal FPI vs BALI siapa yang di rugikan? andakan!!!, jd jika di balik anda adalah saya kemudian ada org spt anda yg terus2 membuat provokasi melalui media bgaimana perasaan anda?? jadi silahkan di renungkan
ALA, adalah satu satunya bang win, mudah lebih cepat terwujud…
Semoga