Oleh : Saradi Wantona
Tidak lama lagi pemilihan umum legislatif untuk calon anggota DPRK , DPRA, DPR -RI dan DPD RI akan bergulir, hanya menyisakan 38 hari lagi hingga 9 April 2014 nanti yang serentak dilaksanakan di seluruh Indonesia dan Aceh juga tidak ketinggalan pastinya. Pemilu dan kampanye merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan, keduanya adalah bagian dari proses demokrasi. Pemilu adalah sebuah proses partisipasi mayarakat untuk menentukan pilihannya, sedangkan kampanye adalah proses promosi atau jual program kepada pemilihnya (konstituen). Ajang kampanye merupakan hal yang paling ditunggu para caleg untuk meyakinkan hati rakyat untuk menuju sebuah kursi kehormatan yakni di parlemen.
Kemasan kampanye ini beragam bentuknya, mulai penawaran program, janji palsu, politik uang (money politic) sampai hanya sekedar meminta dukungan “ Insya Allah Jika terpilih ”(aceh red) apapun paket kampanye yang ditawarkan kandas sampai pada saat pelantikan.
Hal ini yang sering menjerat para caleg ketika sudah terpilih. Literasi perpolitikan di Aceh 2009-2014 banyak kontradiksi dari penyusunan qanun hingga program yang pro rakyat dikebiri oleh tawar politik yang tidak kredibel, sehingga ini merugikan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam tatanan demokrasi.
Setuju atau tidak, masyarakat pasti cerdas untuk mencermati kiprah orang – orang terhormat di gedung parlemen itu, seyogyanya belum pro pada kaum kelas bawah, produk hukum yang kontrovesial pengesahan anggaran yang sering terlambat membuat pembangunan Aceh menjadi linglung, asal jadi dan semua orang merugi. Masyarakat Aceh menaruh harapan besar ketika “ elit lokal ” mengisi hampir separuh kursi parlemen Aceh pada pemilu yang digelar 5 tahun lalu, nyatanya tidak berdampak apa – apa untuk kesejahteraan masyarakat Aceh.
Keadaan ini mengindikasikan wacana Aceh baru yang sering diperbincangkan hanya sebatas angin segar, ekonomi carut marut, kebutuhan pokok mahal yang hanya dinikmati oleh orang yang berkantong tebal dan kualitas pendidikan di Aceh merosot semuanya karena proses political will yang sudah bertransformasi saat ini belum menunjukkan sosial juctice pada masyarakat Aceh pada umumnya. Kebijakan – kebijakan yang dilahirkan tidak semua menyentuh kedaulatan rakyat, partisipasi masyarakat seperti dikebiri oleh egosentrisme semata, aksi demo dianggap provokasi, kritikan dianggap penghalang, sehingga terus berbuntut panjang Aceh baru masih sebatas wacana.
Momentum pemilu 2014 ini jangan dijadikan hanya sebatas seremonial belaka, karena tuntutan demokrasi, menghabiskan biaya tinggi, sehingga menimbulkan ambiguitas berkepanjangan dan tidak kunjung usai. Masyarakat Aceh rindu sebuah perubahan, peningkatan mutu hidup, akses pendidikan seluas – luasnya, kebutuhan pokok tidak lagi mahal, untuk mewujudkan ini tidak sesulit mengesahkan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, atau Lembaga Wali Nanggroe yang pernah ditolak, dihujat dan ditentang karena eksistensinya tidak berdampak pada kehidupan orang kecil di kampung – kampung.
Karena akar permasalahan yang terjadi selama 32 tahun Aceh – Jakarta adalah soal ketidakadilan ekonomi (majalah Accord, 2008). Ditambah lagi sistem politik yang sentralistik pada orde baru menjadi titik awal gejolak konflik di Aceh karena pembagian kue pembangunan tidak merata. Namun, ini adalah catatan kelam yang harus dijadikan pengalaman berharga, political will Aceh jangan hanya sebatas bargaining semata, perlu adanya sebuah restorasi yang lebih baik. 2014 ini Masyarakat harus cerdas memilih wakil rakyat, jangan tertipu dengan slogan dan janji manis para caleg terkadang tidak rasional, bahkan cenderung berkampanye seperti menceritakan sebuah dongeng yang memang tidak bisa dicerna oleh akal sama sekali. Lima tahun yang lalu cukup menjadi pengalaman, karena hanya satu hari saja kita menentukan pilihan, jika keliru dalam menentukan pilihan, imbasnya untuk lima tahun yang akan datang karena kita salah memilih wakil rakyat, yang tidak pro pada kelas bawah, korup, dan mementingkan kepentingan kelompok atau golongan.
Kearifan kuno mengajarkan belajar dari kesalahan harus berlanjut dalam kehidupan setelah meninggalkan dunia. Ketika Zen Master ditanya,” jika nanti meninggal dan boleh memilih untuk lahir kembali, akan menjadi apa?” Tanpa ragu Zen Master menjawab” Keledai, supaya bisa membalas budi dengan melayani dan mengabdi tanpa syarat pada mereka yang telah berbuat baik kepada saya!” Lalu, keledai itu mati, dan dia kemudian lahir kembali, akan ke mana lagi?” Zen Master menjawab,” Neraka!”
Penulis adalah : Mahasiswa Sosiologi, Fakulatas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala, dan Alumni Sekolah Anti Korupsi Aceh Angkatan III
Alamat sekarang : Jl. Krueng Kalee Sektim, Darussalam Banda Aceh
Email : saradiwantona@gmail.com