Calon presiden (Capres) Prabowo Subianto mengatakan, kalah bukan pilihan bagi dirinya dalam pemilu presiden pada 9 Juli ini. Prabowo menegaskan hal itu kepada wartawan harian The Straits Times dalam penerbangan dengan jet pribadinya untuk kampanye di Semarang, Jawa Tengah belum lama ini. Harian itu menurunkan laporannya, Minggu (6/7/2014).
Prabowo mengaku, dirinya tidak banyak mempersiapkan diri untuk kampanye. Namun sejumlah hasil survei telah menunjukkan tingkat elektabilitasnya meningkat dan terus membuntuti saingannya, Joko Widodo.
“Saya tidak terlalu mempersiapkan diri, semua mengalir saja,” katanya kepada Straits Times sebelum bulan puasa dimulai.
Mantan jenderal Kopassus berusia 62 tahun itu menyatakan bahwa ia terdorong takdir. “Kami merupakan keluarga terpandang. Kami diajar bahwa keluarga kami selalu melayani negara, rakyat, bangsa,” katanya dalam penerbangan selama 40 menit itu.
Ia melanjutkan, diskusi politik merupakan hal yang lumrah di meja makan keluarganya, yang akarnya bisa dirunut sejak perang melawan Belanda di Jawa.
“Hidup selamanya merupakan pertempuran antara yang baik dan yang jahat,” kata Prabowo. “Hal itu memberi pengaruh yang luar biasa pada diri saya.” Ia mengatakan, kematian dua orang pamannya pada Januari 1946, dalam perang kemerdekaan, menginspirasi dia untuk bergabung di militer.
“Tugas militer merupakan pengorbanan terbesar, karena anda mengorbankan jiwa untuk melayani negara, dan jika negara memintamu mengorbankan jiwamu, maka anda harus memberikannya,” katanya.
Karir militer Prabowo melejit cepat hingga menjadi jenderal terpercaya mantan Presiden Suharto yang juga mantan mertuanya sebelum kejatuhan Soeharto tahun 1998.
Setelah dipecat dari dinas militer karena perannya dalam penculikan aktivis demokrasi saat Suharto disingkirkan, dia mengasingkan diri ke Yordania. Prabowo kembali ke Indonesia tahun 2002.
The Straits Times melaporkan bahwa pendapatnya tentang episode ketidakadilan dan sejarah keluarganya bukanlah satu-satunya yang mendorong upayanya menjadi orang nomor satu di Indonesia. Ia ingat pelecehan rasial yang ia hadapi sebagai satu-satunya orang Asia di kelas saat ia belajar di sekolah internasional di Swiss, Hong Kong dan Inggris. “Saya betul-betul ingin membuktikan bahwa orang Indonesia bukanlah monyet-monyet yang bodoh,” katanya.
“Kita ingin menjadi negara yang modern. Kita ingin menjadi setara dengan Barat, tetapi kita mengagumi Barat…. Namun kita merasakan perlakuan yang rasial,” katanya.
“Menurut saya hal ini dipengaruhi oleh orang-orang seperti Dr Mahathir dan Lee Kuan Yew – hasrat bahwa kita bukanlah manusia kelas tiga, bahwa kita juga bisa menjadi modern, kita bisa bersaing,” ucapnya. Ia mengakui bahwa ia mengagumi mantan perdana menteri Malaysia dan Singapura tersebut.
Satu tema umum yang digunakan Prabowo untuk menggairahkan pemilih adalah menekankan betapa “orang asing telah mencuri sumber daya alam kita”.
“Kita dibesarkan untuk terlalu ramah, dan tidak menyadari bahwa kekayaan kita telah dicuri…. Mereka bilang orang Indonesia itu bodoh, pemimpin kita bisa dibeli,” teriaknya dalam kampanye di Makassar pada 17 Juni 2014.
Namun saat bertemu dengan para investor asing dan diplomat, ia mengatakan bahwa dana internasional amatlah penting bagi pembangunan Indonesia.
The Straits Times mengatakan, Prabowo memang orang yang penuh kontradiksi. Walaupun keluarganya dibuang setelah memberontak terhadap Soekarno ditahun 1957, dia dengan sadar mencoba meniru gaya retorika presiden pertama Indonesia tersebut.
Walaupun merupakan produk elite, ia percaya bahwa dirinya bisa menjangkau rakyat jelata. Nyatanya, banyak kalangan di Indonesia tertarik dengan visi yang diangkatnya mengenai Indonesia yang mampu “berdiri diatas kaki sendiri”.
Dalam penerbangan ke Semarang itu, meski masih tertinggal dalam berbagai survei dan banyak yang menulis negatif tentang dirinya, ia tetap percaya diri. Ketika ditanya, apa yang akan dia lakukan jika kalah. Prabowo menjawab, “Kalah bukan pilihan.” (Kompas.com)