Simeulue, kabupaten yang “marginal” di Aceh, ternyata menyimpan mutiara. Bukan hanya potensi alamnya, namun sikap manusia di pulau ini pantas dijadikan contoh bagi kabupaten lain. Ada apa dengan Simuelue?Bila kita berdiskusi tentang pendidikan, dalam perspektif kita yang muncul apakah itu semua dapat berkontribusi pada “peningkatan mutu” pendidika? Baik itu program dan kegiatan yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun program-program yang difasilitasi oleh lembaga donor.
Untuk mencapai mutu pendidikan yang lebih baik, pertanyaan berikutnya adalah, apakah biaya operasional disatuan pendidikan sudah terpenuhi? Berangkat dari pertanyaan tersebut, penulis mencoba berbagi praktek yang sudah dihasilkan dari Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh.
Kabupaten Simeulue ini merupakan daerah kepulauan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Dari dan ke sana, yang hanya dapat dijangkau dengan waktu 12 jam melalui transportasi laut. Jadwal pelayaran feri hanya 3 kali dalam seminggu dan transportasi udara ditempuh dengan waktu 1 jam 15 menit.
Pulau berpenduduk 88.963 jiwa (data DISDUKCAPIL PEMKAB SIMEULUE 2012) tersebar di 57 pualu besar dan kecil. Luas daratanya 212.512 ha, memiliki keindahan alam laut yang sangat menawan. Masyarakat dikepulauan ini sebahagian besarnya memiliki pekerjaan sebagai petani dan nelayan. Hasil laut merupakan komiditas utama.
Simeulue merupakan Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1999 melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Simeulue.
Kita semua dapat membayangkan betapa sulitnya sarana transportasi dari dan ke pulau tersebut ditambah lagi kurangnya biaya operasional satuan pendidikan sehingga memaksa masyarakat harus membeli buku untuk anak-anaknya, sehingga sangat dirasakan kehadiran negara belum dapat memberikan pendidikan dasar cuma-cuma bagi warganya.
Ditengah keterbatasannya pemerintah kabupaten Simeulue mencoba untuk memberikan layanan pendidikan yang terbaik bagi masyarakatnya, melalui pemenuhan biaya operasional satuan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan dasar, lanjutan dan kejuruan bahkan seluruh satuan pendidikan yang ada dibawah kementerian agama.
Hal ini merupakan sebuah komitmen dan terobosan yang dilakukan oleh BUPATI, hasil pemilihan langsung, masa jabatan 2012-2017, untuk memenuhi target capaian standar pelayanan minimal (SPM).
Usia kebijakan Standar Pelayanan Minimal (SPM) ini sudah lebih dari 10 (sepuluh) tahun UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP No. 25 Tahun 2000 dan SE Mendagri No. 100/757/OTDA/2002 yang selanjutnya diteruskan dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang dioperasionalisasikan dengan PP No. 65 Tahun 2005 dan Permendagri No. 6 Tahun 2007, namun kenyataannya kebijakan tersebut belum mencapai hasil yang menggembirakan, mengingat salahsatu faktor yang mempengaruhi pencapaian target SPM adalah masih kurangnya biaya satuan operasional pendidikan disatuan pendidikan.
Sesuai dengan peraturan yang ada melalui Permendiknas 15 Tahun 2010 yang diperbaharui dengan Permendikbud 23 Tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar, terdapat 27 indikator SPM Pendidikan Dasar, dimana pelayanan pendidikan dasar oleh kabupaten/kota terdiri dari 14 indikator pencapaian dengan istilah IP1 sampai dengan IP14 dan pelayanan pendidikan dasar oleh satuan pendidikan terdiri dari 13 indikator pencapaian IP14 sampai dengan IP27, yang kesemua indicator tersebut harus dicapai pada akhir tahun 2014.
Melihat pencapaian indikator pendidikan, pada tahun 2012 sesuai SPM di Kabupaten Simeulue, sepertinya sangatlah tidak mungkin mereka dapat mencapai seluruh indikator pendidikan pada akhir tahun 2014 seperti yang diamanatkan dalam peraturan menteri.
Dinas pendidikan kabupaten Simeulue dituntut untuk bekerja keras dalam memaksimalkan sumberdaya yang ada untuk meningkatkan pencapaian indicator pendidikan tersebut, melalui dukungan bantuan teknis dari salah satu lembaga donor (USAID-KINERJA) merumuskan hal strategis yang harus dilakukan.
Dinas pendidikan Kabupaten Simeulue bersama Majelis Pendidikan Daerah (MPD) menginisiasi pembentukan forum peduli pendidikan yang terdiri dari parapihak. Forum ini adalah sebuah forum yang dimandatkan untuk membantu pemerintah daerah dalam memberikan masukan saran dan tinjauan kritis terkait kebijakan pendidikan dalam mendorong perbaikan kualitas layanan pendidikan dikabupaten Simeulue, yang dinamai dengan Forum Masyarakat Peduli Pendidikan Simeulue (FMPPS)
Seiring waktu FMPPS bersama dengan dinas pendidikan mulai melakukan kerja-kerja, sebagai sebuah upaya untuk mendukung pemerintah daerah memperbaiki kualitas layanan pendidikannya, melalui kajian dan analisis perhitungan kebutuhan biaya penerapan SPM disatuan pendidikan.
Selama ini satuan pendidikan, hanya memiliki pendapatan untuk operasionalnya melalui dana BOS yang bersumber dari APBN. Besaran dana BOS yang diterima oleh satuan pendidikan dasar pada Tahun 2013 sebesar Rp. 580.000,- dikalikan jumlah anak yang ada di masing-masing satuan pendidikan (SD/SMP), artinya apabila satuan pendidikan (SD) tersebut memiliki 192 orang siswa dikalikan Rp. 580.000,- sehingga total uang operasional satuan pendidikan tersebut selama satu tahun adalah Rp. 111.360.000,-. Pertanyaannya cukupkah uang tersebut untuk membiayai operasional sekolah dalam memenuhi 13 capaian indikator pendidikan.
Setelah dilakukan kajian dan analisis, ternyata anggaran yang tersedia seperti contoh diatas, belumlah mencukupi untuk membiayai operasional pendidikan serta memenuhi 13 capaian indikator pendidikan disatuan pendidikan.
Hasil dari kajian dan analisis terhadap biaya operasional satuan pendidikan, yang dilakukan oleh FMPPS dan dinas pendidikan, disimpulkan bahwa, kebutuhan biaya opersional satuan pendidikan dasar di kabupaten Simeulue menunjukkan angka Rp. 719.600,- per siswa/tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa, kebutuhan biaya operasional satuan pendidikan pada satuan pendidikan dasar adalah Rp. 138.163.200,- per tahunnya, dengan perhitungan Rp. 719.600,- dikalikan 192 orang jumlah siswa (sesuai dengan target pencapaian indicator pendidikan dasar, satu rombongan belajar 32 orang) untuk SD.
Melihat jumlah anggaran yang tersedia sebelumnya dan dibandingkan dengan kebutuhan ideal, terjadi GAP (kekurangan) sebesar Rp. 139.600,- per siswa (Rp. 719.600 – Rp. 580.000).
Setelah kajian dan analisis selesai dilakukan, hasil tersebut menjadi sebuah dokumen rekomendasi teknis yang disiapkan oleh FMPPS sebagai basis argumen dalam melakukan advokasi kebijakan kepada pemerintah daerah dalam hal ini kepada eksekutif dan legislative.
Selanjutnya forum membangun komunikasi dan lobi-lobi melalui hearing dengan BUPATI dan Komisi D serta Badan Anggaran DPRK Simeulue. Diskusi panjang melalui argumentasi-argumentasi ilmiah dengan basis hasil kajian dan analisis, untuk membangun pemahaman bersama, kesepakatan dan komitmen para pengambil kebijakan, akhirnya membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Peraturan BUPATI Simeulue Nomor 12 Tahun 2014 tentang Dana Penunjang Pendidikan Berkeadilan (DPP Berkeadilan). Dana penunjang pendidikan ini dialokasikan oleh pemerintah kabupaten Simeulue melalui APBK Tahun 2014 untuk menutupi kekurangan biaya operasional satuan pendidikan dasar (9 Tahun) sebesar Rp. 139.600,- per siswa per tahun.
Pemenuhan biaya operasional satuan pendidikan ini mengacu pada pembagian yang proposional dengan komponen perhitungan alokasi dasar, karakteristik sekolah serta alokasi prestasi. Komponen tersebut memperhatikan jumlah siswa, daerah terpencil dan pulau terpencil.
Begitu besar komitmen pemerintah kabupaten Simeulue dalam memperbaiki kualitas pendidikan didaerahnya. Pemenuhan biaya operasional satuan pendidikan bukan hanya tersedia untuk pendidikan dasar, tetapi juga untuk pendidikan lanjutan (SMA dan sekolah kejuruan serta seluruh sekolah yang ada dibawah kementiran Agama MI/MTsN/MAN).
Apresiasi yang sebesar-besarnya perlu kita sampaikan kepada pemerintah kabupaten Simeulue atas komitmen dan tindakan nyata yang telah dilakukan oleh BUPATI hasil pemilihan langsung ini.
Dengan ditandatanganinya peraturan serta tersedianya alokasi anggaran dana penunjang pendidikan berkeadilan melalui APBK Kabupaten Simeulue Tahun 2014, memberikan sebuah harapan bagi para siswa dan orangtua murid, dimana mereka dapat benar-benar merasakan hadirnya negara dalam penyediaan pendidikan dasar cuma-cuma bagi warganya.
Prinsip-prinsip tatakelola pemerintahan yang baik melalui penerapan azas transparansi dan akuntabilitas serta partisipatif dan respon dalam pengelolaan manajemen sekolah terus didorong oleh Dinas Pendidikan melalui penyusunan Rencana Kerja Sekolah yang partisipatif dengan melibatkan Komite Sekolah, Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah serta realisasi penggunaan anggaran sekolah dipublikasi, menjadi syarat mutlak yang harus dilaksanakan oleh sekolah bersama stakeholdernya, sebagaimana tertuang dalam peraturan BUPATI tentang DPP berkeadilan.
Besar harapan pemerintah daerah dan masyarakat setelah terpenuhinya biaya operasional pendidikan, pemenuhan capaian indikator SPM pada tahun 2014, sehingga dapat berkontribusi pada meningkatan mutu pendidikan serta penyediaan pendidikan dasar cuma-cuma dapat benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat di pulau terluar ini.
Dalam merumuskan kebijakan yang berorientasi pada pelayanan public, terlihat jelas peran serta masyarakat bersama-sama dengan pemerintah melalui ruang partisipasi public yang tersedia dapat mendorong komitmen pengambil kebijakan untuk menetapkan sebuah keputusan pada pemenuhan hak-hak dasar warga pada sector pendidikan.
Diakhir tulisan ini, penulis mengajak dan berharap pemerintah kabupaten/kota lainnya juga dapat belajar dan mengikuti apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Simeulue, sehingga semangat akan maksud dan tujuan perlindungan hak konstitusional, kepentingan nasional, ketentraman dan ketertiban umum, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan komitmen nasional sehubungan perjanjian dan konvensi internasional dapat terwujud melalui komitmen dan integritas penyelenggara negara.
Dimana hal tersebut diatas akan dimaknai dengan, masyarakat akan mendapatkan jaminan menerima suatu pelayanan publik dengan mutu tertentu. Disisi lain hal tersebut dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah terhadap masyarakat. Pada akhirnya masyarakat dapat mengukur sejauh mana pemerintah daerah dapat memenuhi kewajibannya untuk menyediakan pelayanan publik.
Sehingga ini semua diharapkan dapat merangsang rationalisasi kelembagaan pemerintah daerah, karena pemerintah daerah akan lebih berkonsentrasi pada pembentukan kelembagaan yang berkorelasi dengan pelayanan masyarakat.
Simeulue saja bisa! Bagaimana daerah lainnya di Aceh? Bagi daerah yang belum setaraf dengan Simuelue dalam pelayanan publik di bidang ini, tidak ada salahnya ”melirik” kabupaten dengan pelukan pulau indah ini.
*Pemerhati masalah sosial dan pelayanan publik Tinggal di Aceh Tengah