Melaporkan dari Beijing
Oleh: Ulfa Khairina*
September 2014 merupakan semester baru bagi setiap mahasiswa di China. Bagi saya merupakan tahun kedua setelah lepas dari kelas matrikulasi bahasa mandarin selama setahun. Ada berbagai perasaan ketika meninggalkan bandara Beijing Capital International Capital Airport menuju ke kampus Communication University of China. Terutama mengingat kedekatan di kelas bahasa yang muridnya berasal dari segala penjuru benua. Sementara semester ini adalah permulaan untuk kelas yang sama sekali berbeda.
Kekhawatiran seperti pertama kali berangkat sudah hilang. Bukan saja karena mulai menguasai bahasa mandarin sebagai bahasa pengantar. Banyak sekali hal-hal istimewa yang tanpa saya sadari sudah sangat akrab dengan saya selama setahun. Mulai dari teman-teman, kondisi lingkungan sampai keinginan untuk melihat kampus dan belajar di kelas-kelas yang nyaman.
Hal pertama yang saya lakukan adalah menelepon taksi yang dikenalkan oleh seorang mahasiswa Thailand. Ia lulus Juni lalu dan memiliki relasi yang cukup banyak dengan petugas urusan publik di Beijing. Mulai dari orang-orag dari kalangan atas sampai kalangan bawah. Taksi ini salah satunya. Sayangnya kebijakan berkomunikasi dengan telepon seluler di China berbeda dengan di Indonesia. Sehingga saya tidak bisa menghubungi taksi karena tidak ada lagi pulsa. Padahal sebelum meninggalkan negeri tirai bambu ini, saya sudah mengisi pulsa dengan jumlah yang besar.
Di China, pemakaian kartu prabayar akan dikenakan potongan bulanan. Potongan yang berlaku berbeda, tergantung operator. Jika di Indonesia kita masih bisa menerima panggilan telepon dan sms di saat kartu prabayar tidak ada pulsa, di China tidak berlaku. Pengguna bukan saja tidak bisa melakukan panggilan keluar dan sms. Menerima sms dan telepon pun tidak.
Penjual pulsa di Beijing tidak seperti di Indonesia yang menjamur. Kemanapun kaki melangkah pasti sudah ada yang menjual pulsa, baik itu elektrik ataupun voucher. Di Indonesia, saya dengan mudah bisa meminta teman untuk mengirim pulsa dengan jumlah minimal. Tidak halnya dengan di Beijing. Di terminal 2 (dua) ada satu gerai penjual pulsa yang didukung oleh China Mobile. Namun gerai ini hanya buka dari jam delapan pagi sampai jam 10 malam.
Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya ada juga taksi yang mau mengantar ke kampus dengan harga pantas. Harga normal yang berlaku dari bandara ke kampus, yaitu 100 Renminbi. Tiba di kampus jam empat pagi, ternyata akses kamar sudah diblokir oleh pihak asrama. Kartu yang saya scan di pintu untuk membuka tidak berfungsi. Jadi saya langsung turun ke resepsionis untuk melapor.
Beberapa saat petugas keamanan mengecek nomor kamar dan nama penghuninya. Setelah yakin saya tidak perlu check in dengan memberikan berkas seperti awal masuk, ia menelepon petugas asrama yang sedang tidur nyenyak. Sang petugas langsung menemui saya dan membuka pintu kamar. Ia hanya mengambil kembali kunci kamar berupa kartu.
Esoknya saya menemui petugas resepsionis dengan takut-takut. Khawatir kalau kamar dipindahkan dan harus menggotong semua barang pribadi ke kamar lain seorang diri. Ternyata saya mendapat kamar yang sama.
Kondisi kamar saat saya tinggalkan agak sedikit berantakan. Ketika kembali petugas service room sudah mengganti seprai dengan seprai baru, lantai bersih dan sudah di-vacum serta kamar beraroma segar. Air panas dan dingin di kamar mandi juga berfungsi dengan baik.
Asrama kampus CUC benar-benar rumah yang dirindukan oleh perantau untuk meneuntut ilmu. Asrama bukan momok yang mengerikan karena aturan yang berlaku. Di sini asrama justru membantu setiap perantau untuk siap mengikuti setiap pelajaran sepanjang semester. Rasa ingin pulang ke asrama lebih cepat terasa ketika mulai menginjak lantai bandara kedatangan sampai meninggalkan asrama untuk kembali pulang ke negara asal. (Jurnalis Warga)
*Penulis adalah mahasiswi program magister jurusan International Journalism & Communication di Communication University of China, Beijing, Tiongkok. Penulis merupakan alumni MAN 1 Takengon dan UIN Ar-Raniry Banda Aceh.