The Coffe And Memory

Zuhra Gayo

Oleh: Zuhra*

 

“Wush” asap rokok bapak mengepul di udara.

Aku menatap bapak dari jauh, sembari meloncat-loncat di atas ranting kopi yang baru saja  ia tebang. “Wush” asap itu mengepul lagi dari mulutnya dan sesekali ia menghirup minuman pekat itu.

Lelah aku menloncat di atas ranting itu, aku pergi duduk di samping bapak. Sebatang rokoknya telah habis dan setengah minuman pekat itu ia sisakan untukku. Dengan gembira aku mengambil gelas itu lalu meneguknya beberapa kali, sampai yang tersisa hanyalah endapan bubuk kopi di dasar gelas.

Bapak tertawa melihatku, aku yang lugu ikut tertawa bersamanya meski aku tidak tau apa yang ia tertawakan. Namun kelicikan bapak terungkap setelah aku bertemu mamak, ia mengatakan kalau mukaku seperti kucing garong dengan kumis pak Raden, ah bapak! Ia membiarkan aku menikmati banyak hal dengan tanpa memikirkan apapun.

Aku menatap poto bapak lamat, seberkas kelelahan tergambar dari keningnya, ah sudah lama sekali rupanya,  ah betapa aku merindukannya.

“Kau rindu bapakmu?”

“Ia mak, rindu sekali, aku rindu bermain di ladang kopi bersamanya, yah mungkin hanya itu kenangan yang ku punya mak”

Mamak menghela nafas “berapa hari kau libur  ipak?”

Aku tersenyum lalu bebrbalik menatap mamak “hanya beberapa hari mak”

“Tidak apa-apa, datang ke sini saja kau, mamak sudah bersyukur. Ajaklah adikmu besok untuk beziarah, mamak tak bisa mengantarmu”

Aku mengangguk, bayangan masa kecilku terlihat nyata dalam benakku, tawa khas bapak, nasehatnya, semua kenangan itu membuat air mataku menitik. Bapak aku merindukanmu.

“Pak, kenapa kita menanam kopi dan kenapa orang-orang menanam kopi? Kenapa tidak menanam padi saja? Bukankah yang kita makan itu beras bukan kopi?” tanyaku lugu.

Bapak menyeringai “itu karena ladang kita di pegunungan dan sulit untuk mengalirkan air dan hanya cocok untuk tanaman yang tidak membutuhkan air yang tergenang”

“Apakah kopi ini untuk diminum semuanya? Tapi bapak setiap hari hanya minum tiga gelas kopi saja sehari, itupun kalau rumah kita kedatangan tamu, bagaimana bisa menghabiskan se-hektar yang di panen untuk diminum?”

Bapak kembali terbahak “tentu saja kita tidak minum semua, kopi-kopi ini akan diolah lalu dikirim ke luar negeri, orang luar negeri menyukai kopi yang kita tanam ini”

“Bapak, apakah karena itu semua orang memilih menanam kopi di banding tanaman yang lainnya, bapak luar negeri itu seperti apa? Apakah sama dengan tempat kita tinggal?”

Bapak menatapku lamat “itu tempat yang berbeda ipakku”

“Apakah kita bisa ke luar negeri bersama biji-biji kopi yang kita miliki?”

“Apakah kau ingin sekarung dengan biji-biji kopi itu?”

“Kalau begitu aku bisa mati karena tidak bisa bernafas”

Bapak tebahak mendengar alasanku yang konyol “Ayo kita mencari mentimun di sana” ajaknya.

“Ayo” jawabku singkat sembari berlari di tengah-tengah ladang kopi yang hijau.

Langit cerah pagi ini, gulungan awan membentuk singgasana-singgasana cantik di angkasa. Hijaunya ladang kopi membuat kampungku terasa nyaman. Aku bersama adikku Iwan memasuki jalan setapak, tidak jauh dari jalan utama kami sampai di kuburan bapak.

Suasana perkuburan begitu hening, hanya sesekali terdengar deruan angin menghempas pepohonan yang tumbuh tinggi di sela-sela ladang kopi warga, sesekali terdengar nyanyian jangkrik dan sesekali terdengar nyanyian burung yang bertengger di dahan-dahan pepohonan.

Aku dan Iwan mencabut rumput-rumput kecil yang tumbuh liar di pusara kuburan bapak. Entah perasaan apa yang mengerubuti batinku, bibirku tiba-tiba bergetar hebat begitu juga dengan tanganku, tak kuasa aku menahannya, air mataku tumpah begitu saja dan Iwan mencoba menenangkanku.

Namun beratnya rasa hatiku terus saja membuncah, ingin saja rasanya menemukan sesuatu yang membuat hatiku begitu hampa, ah apakah karena terlalu lama aku tak menziarahi pusara bapak? Ataukah karena aku tak bisa melihat bapak di akhir nafasnya? Entahlah.

Ku biarkan angin memainkan jilbabku dan kubiarkan pula ia menyapu air mata di pipiku. Tak ingin aku menjawab pertanyaan konyol yang menyesaki dadaku. Ini bukan saatnya meragu, tapi ini adalah saat aku melepas kerinduan pada Bapak meski hanya menziarahi pusaranya. Pak aku merindukanmu, semoga Allah meridoimu, semoga Allah menerima semua amalanmu, batinku.

Kami membaca surat Al-Fatihah tiga kali lalu menyiramkan air di pusara bapak sebanyak tujuh kali. Tak lama kemudian kami meninggalkan bapak, meninggalkan pusara itu, namun tidak dengan kenangan tentangnya, tidak pula dengan nasehatnya.

Aku berteriak histeris dan menangis melihat bapak tiba-tiba tersungkur di dapur, mamak tergopoh-gopoh lari begitu juga adikku Iwan. Kami membopong bapak ke kamar, mamak menyuruhku memanggil mentri yang tak jauh dari rumah. Aku segera berlari tanpa menunggu aba-aba lain dari mamak.

Tak lama aku dan mentri Irham sampai di rumah, mentri Irham mengatakan bapak mengindap asam lambung, dan beliau menyarankan supaya bapak menyarankan untuk mengurangi minum kopi atau kalau bisa tidak meminumnya lagi.

Minggu selanjutnya kami sekeluarga pergi ke ladang kopi saat bapak sudah membaik. Bapak begitu semangatnya membersihkan dahan-dahan kopi yang sudah di penuhi dengan cabang-cabang baru, sehingga dahan itu telihat lebat dan gelap, itu akan membuat bunga-bunga kopi tidak tumbuh dengan baik disebabkan tidak tembusnya cahaya matahari ke bagian dalam dahan kopi.

“Bapak, kenapa semangat sekali mengurus ladang kopi ini? Bukankan bapak sudah tidak di perbolehkan mentri Irham untuk minum kopi lagi?”

“Ladangnya warisan siapa?”

“Anan”

“Mengurusnya amanah siapa? Batang-batang ini siapa yang menumbuhkannya?”

“Allah” jawab adikku Iwan.

“Lalu apakah bapak harus mengabaikannya?”

Kami berdua menggeleng.

“Nah, ladang inikan warisan anan, karena itu kita harus mengurus dan menjaganya. Mengurus dan menjaganya itu salah satu bentuk rasa syukur kita kepada Allah. Walaupun bapak tidak bisa meminum kopi lagi, kenapa tidak kita memberikan hasil bumi berharga dan terbaik yang kita punya untuk di nikmati orang di seluruh dunia.

“Anakku, hidup ini ketika kita memberikan sesuatu yang terbaik yang kita punya kepada orang lain, itu akan menjadi kepuasan hati yang hanya kita sendiri mampu untuk menggambarkannya.

“Anakku melakukan kebaikan itu bukan hanya karena kita bisa menikmatinya sendiri, tapi juga karena orang lain bisa berbahagia dengan apa yang kita berikan” akhir bapak sembari tersenyum dan meminta kami untuk membantunya.

“Ipak, bapakmu sudah mendahului kita” serak suara mamak di telepon.

Aku terdiam, sungguh tak ada kata-kata yang dapat aku ucapkan, air mataku merembes ke pipiku “innalillahi wainna ilaihi raji’un, kapan mak? Apakah aku harus pulang?”

“Baru saja, kau tidak harus pulang ipak”

“Tapi mak”

“Mamak mengerti, ini akan sulit bagimu, kalau kau pulang akan sulit lagi untuk pulang ke sana, bapakmu berpesan supaya kau menyelesainkan belajarmu dulu”

“Biarkan aku pulang mak, biarkan aku pulang, biarkan aku melihat wajah bapak untuk terakhir kalinya”

“Kalaupun engkau pulang, kau tidak akan melihat wajah bapakmu”

“Mak”

Mamak sudah menutup ponselnya.

Aku tak kuasa meredam suaraku sehingga mengundang perhatian banyak orang di sekitarku, tapi ini adalah berita memilukan, berita tentang bapak, berita tentang seorang yang aku cintai dan sayangi di jagat raya ini, orang yang aku hormati, orang yang mengajarkan aku banyak makna hidup, namun pada akhirnya aku buhkan tak bisa menatap wajahnya di hari ketika tak ada pilihan lagi.

“Ipak, ku ijinkan engkau menjadi biji kopi ini, menjiarahi benua sampai engkau mengerti banyak arti kehidupan, di umurmu yang masih kecil mungkin engkau tidak mengerti apa yang aku ucapkan, tapi ketika engkau dewasa aku yakin engkau akan memahaminya. Ipak belajarlah engkau, jangan biarkan orang-orang membodohimu, buat aku, mamakmu, adikmu, orang kampung ini, bahkan bangsa ini bangga padamu.

“Ipak mungkin ketika engkau sudah mencapai kesuksesan itu aku sudah tiada, tapi jangan pernah engkau lupakan betapa engkau menyukai kopi bapakmu. Aku memberikan setengah cangkir kopi padamu karena itu yang ku miliki, maka berikan ilmu yang sudah engkau miliki kepada semua orang dan jadilah engkau ipakku yang rendah hati yang selalu ku banggakan, yang selalu menjunjung tinggi agama ini.”

*Mahasiswa UIN Ar-Raniry*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.