OLeh : Husnul Khatimah*
Berawal dari Sakura Exchange Program yang diadakan melalui kerjasama Magister Ilmu Kebencanaan (MIK) Universitas Syiah Kuala, Indonesia dengan Center Of Integrated Area Studies (CIAS) Kyoto, Jepang melalui program Essay Writing Contest memberikan saya kesempatan untuk mengunjungi negeri Sakura. Osaka-Kyoto-Kobe merupakan daerah yang akan saya jelajahi selama di sana. Satu kebiasaan orang Jepang yang menurut saya menarik, yaitu lebih sering berjalan kaki ketimbang mengendarai alat transportasi. Namun dalam field trip ini saya akan menceritakan bagaimana perubahan setelah bencana di Kobe.
Kobe merupakan kota kecil yang berada di Jepang. Namun dijuluki sebagai kota metropolitan yang sebelumnya pernah luluh lantak akibat gempa 7,3 SR. Kota Kobe sudah dibangun kembali, keadaannya sudah sangat berbeda dengan kota yang awalnya, saat gempa 17 Januari 1995 terjadi. Dua bencana sekaligus yang harus mereka tanggung yaitu kebakaran dan gempa itu sendiri tidak membuat mereka terpuruk dengan kejadian itu. Namun, masyarakat bangkit dengan kekurangan dalam kerugian yang harus mereka tanggung sendiri. Tidak menunggu bantuan dari pemerintah mereka berusaha menggunakan fasilitas yang tersisa dan masih layak untuk digunakan sebagai tempat tinggal. Semangat masyarakat yang tinggi membuat membuat perubaha pada nasib mereka sekarang. Dalam rangka memperingati 20 tahun gempa Kobe pada tangga 17 Januari 2015 lalu saya melihat sendiri suasana yang berubah 360° dari terjadinya bencana. Sehingga sekarang kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana patut diacungi jempol. Tidak hanya melihat tata kota yang luar biasa bagus yang seolah-olah tidak pernah terjadi bencana yang besar seperti itu disana saya mengunjungi beberapa tempat yang cukup bersejarah, salah satunya adalah Museum Kobe yang menyimpan berbagai kisah dan catatan pada saat gempa terjadi. Uniknya para guide di museum tersebut adalah orang tua atau bisa dikatakan lansia yang berumur sekitar ≥70 tahun yang masih dengan semangatnya menceritakan kepada saya dan teman-teman bagaimana kronologis terjadinya gempa pukul 5:46 waktu Jepang. Tidak hanya itu, penjelasan mitigasi untuk bencana gempa bagi pengunjung seperti saya dan teman-teman sangat baik dan bersungguh-sungguh, karena mereka berharap apabila mengalami gempa yang sama maka tidak ada lagi korban seperti mereka alami.
Bangkitnya sebuah masyarakat dikarenakan kesadaran masyarakat itu sendiri untuk tidak bergantung pada orang lain merupakan suatu hal penting yang harus ditanamkan pada diri. Sungguh hingga sekarang masih tidak percaya akan perubahan yang terjadi sedemikian rupa sehingga dalam setiap langkah saya berfikir sambil menatap gedung-gedung tinggi yang sebelumnya hancur bagaimana masyarakat setempat yang tidak lepas dari pemerintahan Jepang sendiri dapat bangkit sedemikian rupa berhasilnya. Salah satu teknologi yang mereka laukan sekarang adalah Memory Huntingyang merupakan perangkat software yang telah dirancang khusus oleh Profesor Kitamoto dari Tokyo Universitydalam rangka untuk membandingkan keadaan saat bencana terjadi dengan 20 tahun setelah bencana di Kobe. Sungguh luar biasa yang mereka lakukan agar peristiwa yang bersejarah tersebut tidak hilang maka dilakukan berbagai cara agar terjaga, bahkan siswa/i dilibatkan dalam kegiatan tersebut.
Sebagai putri Gayo saya juga merasakan gempa 13 Juli 2013 lalu, yang juga meninggalkan banyak kesedihan bagi korban. Banyak yang kehilangan tempat tinggal bahkan anggota keluarga. Tidak jauh berbeda apa yang kita alami dengan yang masyarakat Kobe alami, tetapi kecuekan kita terhadap bencana tidak bisa dipungkiri dan masih banyak yang tidak menghiraukan seolah-olah bencana tidak akan terjadi lagi apabila sudah terjadi. Kemantapan dalam siap siaga terhadap bencana sangat diperlukan mengingat daerah Gayo yang rentan akan bencana. Melalui laporan ini dengan pengalaman yang saya peroleh selama di Kobe tidak lebih hanya ingin memberikan kepada semua pembaca terutama generasi-generasi Gayo agar terus bangkit untuk meraih masa depan yang lebih mantap. Jadialah diri sendiri, namun tidak menutup kemungkinan juga harus belajar dari orang lain. Perubahan hanya terjadi apabila kita merubah pola pikir, dan temukan pengalaman-pengalaman baru dalam setiap melangkah.
Mungkin terlalu banyak pengalaman menarik yang saya dapatkan di Jepang, dan tidak dapat saya ceritakan satu persatu. Adapun catatan yang dapat saya pribadi bagikan kepada semuanya adalah bagi siapapun yang berkesempatan mengunjungi Negeri Sakura, perolehlah pengalaman yang berharga dan juga bawalah pulang ilmu pengetahuan itu yang di dapat walaupun dengan berjalan kaki.
“Belajarlah dari teropong apabila tidak digunakan maka objek akan terlihat jauh, bahkan sebaliknya apabila digunakan maka objek seakan di depan mata. Begitu juga dengan memperoleh ilmu pengetahuan, apabila berusaha maka akan mudah untuk dicapai sebaliknya tanpa usaha tidak akan memperolehnya”.
Mahasiswa Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala*