Oleh: Hermansyah Kahir*
Pemerintahan Jokowi Dodo menargetkan pertumbuhan ekonomi 2015 sebesar 5,7 persen dan bahkan 7 persen pada tiga tahun mendatang. Target ini sah-sah saja dan perlu diapresiasi—mengingat pembangunan ekonomi merupakan upaya negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi tidak serta-merta berimplikasi pada pemerataan pembangunan. Realitas ini sangat tampak dari disparitas atau ketimpangan di tengah-tengah masyarakat. Disparitas nampak semakin jelas dengan melebarnya kesejangan antara pemilik modal (baca: orang kaya) dengan yang miskin. Hal demikian dapat dilihat dari masih relatif tingginya kemiskinan dan pengangguran.
Hingga Maret 2014 Badan Pusat Statiskti (BPS) melaporkan, jumlah penduduk miskin mencapai 28,28 juta orang. Jumlah ini memang mengalami penurunan dibandingkan dengan September 2013 yang berada di level 28,60 juta orang. Dari sisi pengagguran, BPS juga mencatat per Februari 2014 sebesar 7,15 juta orang dan angka ini juga mengalami penurunan dibandingkan bulan yang sama 2013 yang menyentuh angka 7,2 juta orang.
Semakin tinggi rasionya tentu ketimpangannya juga semakin tinggi. Seperti diberitakan Koran Sindo (12 Februari 2015), angka rasio gini yang dipakai untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan suatu negara sudah menunjukkan lampu kuning yang mirip dengan kondisi sebelum krisis 1997. Bahkan di beberapa daerah, rasio gini berada pada kisaran 0,44 hingga 0,45. Di awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), rasio gini Indonesia masih bertengger di level 0,36 dan meningkat menjadi 0,41 pada 2011.
Kesenjangan semakin dalam jika melihat pembangunan infrastruktur antara kawasan barat Indonesia (KBI) dan kawasan timur Indonesia (KTI). Pembangunan infrastruktur daerah KTI jauh tertinggal dari KBI (baca: daerah Jawa). Kondisi infrastruktur yang buruk akan menghambat pendistribusian barang dan menjadikan barang tersebut lebih mahal sehingga terjadi high cost economy.
Pelbagai indikator ketimpangan ekonomi ini menunjukkan bukti konkret bahwa pembagian kue pertumbuhan ekonomi hanya terpusat di daerah Jawa dan dinikmati oleh segelintir orang saja. Jika kondisi ini tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, maka dikhawatirkan ketimpangan ekonomi akan menimbulkan konflik sosial.
Solusi ke Depan
Menurunkan ketimpangan ekonomi memang bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan waktu dan solusi radikal dengan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih berkualitas, mereduksi kemiskinan dan perbaikan infrastruktur. Prioritas pembangunan di kawasan timur Indonesia (KTI) oleh pemerintahan Jokowi harus menjadi langkah awal untuk mengurangi ketimpangan antardaerah. Kini saatnya presiden Jokowi Dodo perlu mewujudkan visi ekonominya—yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan diikuti oleh pemerataan. Sejak awal Jokowi sudah berkomitmen untuk membangun Indonesia menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera.
Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia berpotensi besar menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Sejak tampuk kekuasaan jatuh ke tangan Jokowi-JK, gebrakan dalam bidang ekonomi merupakan salah satu agenda yang ditungu-tunggu oleh masyarakat luas. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera dan makmur diperlukan berbagai langkah konkret sehingga persoalan kemiskinan dan ketimpangan dapat diminimalkan.
Pertama, mengembangkan potensi ekonomi kawasan timur Indonesia (KTI). Kekayaan sumber daya alam yang melimpah di daerah KTI perlu dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal. Sehingga pembangunan ekonomi di daerah KTI menjadi lebih baik dan bisa berkontribusi bagi pembangunan bangsa dan memberikan kesejahteraan bagi rakyat sekitar. Kawasan timur Indonesia juga dilengkapi dengan potensi kelautan dan perikanan. Akan tetapi potensi komoditas kelautan dan perikanan ini masih perlu dikembangkan lagi untuk kepentingan bersama.
Kedua, pembangunan inklusif. Pemerintah perlu mendesain pembanngunan yang lebih inklusif untuk mengurai ketimpangan di daerah KTI. Artinya, pembangunan inklusif ini bertujuan untuk mengejar berbagai ketertinggalan di mana pembangunan ini difokuskan pada penyediaan layanan pendidikan yang memadai, kesehatan dan pelayanan umum lainnya. Pembangunan ini harus menjangkau seluruh lapisan masyarkat khususnya masyarakat miskin yang selama ini belum mampu mengakses berbagai pelayanan umum.
Ketiga, memperbaiki infrastruktur. Daerah KTI harus mendapatkan perhatian khusus dalam pembangunan infrastruktur. Minimnya infrastruktur telah mengakibatkan daerah KTI secara keseluruhan sulit berkembang. Kondisi demikian dikarenakan perhatian pemerintah yang hanya terpusat di daerah KBI. Percepatan pembangunan KTI akan berdampak positif terhadap masa depan pembangunan Indonesia dengan syarat didukung ketersediaan infrastruktur, seperti pelabuhan, bandara, jalan raya, telekomunikasi, kesehatan, pelatihan, dan ketersediaan listrik.
Dengan demikian, pembangunan ala Jokowinomics harus benar-benar terealisasikan. Langkah yang diambil pemerintahan Jokowi-JK untuk memprioritaskan pembangunan di kawasan timur Indonesia perlu diapresiasi dan didukung, karena kebijakan ini akan mampu mengurai berbagai ketimpangan dan akan memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia
*Peneliti Ekonomika Institute