GIOK sebagai salah satu potensi alam di Gayo Lut, Aceh Tengah pernah eksis dan jadi buah bibir di tengah masyarakat. Gaungnya sempat terdengar di Aceh atau mungkin sampai ke seantero “dunia”. Nyaris setiap lapisan manusia pernah membicarakan, mulai kalangan dewasa sampai anak-anak.
Namun kini, seiring meredupnya pamor pasaran batu mulia, ketenaran giok gayo kian terhempas, jatuh tak bernilai tanpa harapan. Padahal sebelumnya, keberadaannya pernah jadi top isu dan jadi topik utama diperbincangkan warga. Bahkan, pernah menggeser cerita politik, ekonomi serta isu hangat lainnya di negeri “petro” kopi ini.
Ada apa dengan giok gayo? Penulis yang mengikuti perkembangan batu alam ini berupaya mencari data, mencoba menggali keterangan dari berbagai sumber. Mulai dari pelaku bisnis, penghobi, pihak terkait, pengrajin hingga ke petani (pencari) di sejumlah lokasi potensi penghasil giok.
Hasan, 52, Seorang pencari giok di Kec. Jagong, saat dimintai Waspada keterangannya baru-baru ini menyebutkan, sejak medio Februari lalu, demam giok mulai meredam. Meski penyebab suramnya kemilau giok tak diketahuinya secara pasti, namun ia mengaku cukup prihatin atas fenomena ini.
“Sudah sepi. Tak ada lagi cerita giok. Padahal, beberapa waktu lalu begitu ramai pencari maupun pendatang yang ingin membelinya. Ini sangat disayangkan karena salah satu sumber tambahan ekonomi tersebut tak bisa lagi kami andalkan,” ungkapnya.
Terpisah, hal senada diutarakan Supri, 25, pemburu batu akik di Kec. Linge. Menurut dia, meski gemilang giok tidak seindah dulu, namun tak sepenuhnya menghentikan ambisi para pemburunya. Sebagian masih ada mencari bongkahan, terutama untuk jenis batu nefrit jade, black jade, idocrase, solar maupun bio solar.
“Jenis batu tersebut mulai sulit didapat. Kalaupun ada pemasarannya tak seperti dulu, kini susah untuk dijual. Sedang jenis batu lainnya seperti; belimbing, calsedon (sulaiman), cempaka isaq juga mengalami nasip serupa. Malah sama sekali tak laku dijual, nga’ ada lagi peminatnya,” ucapnya.
Lokasi “pertambangan” giok ini sendiri, selain di Linge dan Jagong Jeget, juga dapat ditemui di Kec. Atu Lintang. Di mana beberapa desa seperti; Kala Ili, Gerpa, Lumut, Gemboyang, Berawang Dewal, Kala Kekelip dan Arul Item yang berada di tiga kawasan kecamatan dimaksud awalnya merupakan ladang utama areal potensi penghasil batu mulia. Namun, kini transaksi giok di sana mulai sepi. Tak ada lagi hiruk pikuk geliat pasar.
“Sebagai pengrajin batu, orderan kami juga benar-benar susut. Jarang sudah yang datang menitipkan batu untuk diolah cincin. Kalaupun ada paling hanya satu, dua orang dalam sepekan. Begitu pula, yang membawa bongkahan batu untuk dibelah, sangat jauh berkurang. Mesin potongnya juga sering parkir,” papar Rifki, 21, pengrajin batu di Gelelungi, Kec. Pegasing.
Sementara, mengamati anjloknya pasaran giok, Sekretaris Gayo Gemstone Association, Idrus Syahputra menyebutkan, ada beragam indikasi sebagai kendala pemicu melorotnya booming batu. Diantara, regulasi yang dibuat pemda belum berjalan, ditambah mafia batu yang memasok barang dari luar secara bebas ke pasaran lokal.
“Imbas aksi mafia itu menyebabkan kualitas batu gayo menurun di pasaran. Itu lantaran pemalsuan merk. Kemudian, kendala lain yakni lemahnya pembinaan terhadap pengrajin dan petani pencari batu. Tentunya hal ini sangat disayangkan bisa terjadi di sini. Kini apa mau dikata, secara ekonomi, dipridiksi daerah sudah merugi, sumber potensinya yang ada lenyap, akibat kurang seriusnya pemerintah memperhatikan peluang,” ujarnya.
Seharusnya lanjut dia, seluruh stakeholder berupaya membangun citra giok gayo kepermukaan. Melakukan upaya promosi atau menggelar berbagai event maupun pameran, tujuannya untuk menarik minat pangsa pasar luar. “Bila hal itu dilakukan, setidaknya akan mendongkrak nilai giok gayo. sehingga siklus perputaran ekonomi tetap tumbuh, baik dari sisi bisnis mulai dari agen, pengrajin sampai ke petaninya.”
Kadis Perdagangan, Perindustrian dan ESDM Aceh Tengah, T Alaidinsyah saat dimintai tanggapannya mengatakan, guna mengangkat kembali keberadaan giok gayo, pihaknya sedang melakukan berbagai upaya. Salah satunya dengan melakukan pembinaan terhadap pengrajin. Menambah inovasi dalam mengolah batu giok serta akan membuat pusat pasar batu yang berkemungkinan akan “dibangun” di Pasar Paya Ilang atau di Pasar Bale Atu, Kota Takengen.
“Kami sudah mencanangkan programnya, ini sebagai upaya mengangkatkan kembali pamor giok gayo. Insya Allah di tahun ini (2015) Aceh Tengah sudah memiliki pusat pasar batu giok. Kita harap ini bisa jadi salah satu solusi,” lanjutnya.
Menurut Ampun panggilan akrabnya, selain pihaknya membina para pengrajin batu, juga akan diberikan alat olah batu secara cuma-cuma ke setiap pengrajin yang ditentukan. Mereka yang dibina, diharap nantinya bisa sebagai pendorong terbentuknya ekonomi kreatif dalam memasarkan batu.
“Benar, selama ini beberapa jenis batu dari Gayo ini tak laku lagi dijual karena kurangnya minat pasar. Namun dengan tumbuhnya pengrajin batu, secara otomatis ke depannya, barang yang tak laku terjual itu akan kembali dilirik pengrajin dari para petaninya,” jelasnya.
Lainnya, tambahnya, pihaknya juga akan mengarahkan para pengrajin supaya tidak terfokus hanya membuat cincin dari giok. Namun bisa membuat ragam saovenir yang bisa dijadikan cindramata, misalnya; gantungan kunci, patung, liontin, biji tasbih (alat menghitung jumlah dzikir umat muslim) maupun pernak-pernik bentuk lain yang sifatnya dapat di pasarkan. **Irwandi MN- Terbitan Waspada edisi 8 Mai 2015.