Oleh: Raudi*
“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan. Yang kedua, dilahirkan tapi mati muda. dan yang tersial adalah menjadi tenaga non PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bener Meriah, dan terancam akan dibebastugaskan mulai 31 Desember 2017 nanti.”
Meminjam separuh kata bijak Soe Hok Gie, demikianlah kata yang tepat untuk menggambaran nasib sial yang menimpa para tenaga non PNS di Kabupaten Bener Meriah. Dan tentu saja, tenaga honorer adalah salah satunya.
Semua berawal dari Surat Bupati Bener Meriah Nomor: Peg.800/597/2017, tanggal 27 Desember 2017. Perihal rasionalisasi tenaga non PNS. Surat ini bisa jadi menjadi surat terpedih diantara semua surat yang pernah dibaca oleh mereka para tenaga non PNS di Bener Meriah.
Pasalnya, dengan dikeluarkannya surat ini, maka berakhirlah perjalanan karir mereka sebagai tenaga honorer, terhitung mulai tanggal 31 Desember 2017. Tidak hanya itu, surat ini juga menjadi penutup jalan bagi mereka yang ingin mengabdikan diri sebagai tenaga honorer.
Tanpa terkecuali bagi mereka yang punya Pon, Kel, Encu, Ngah, atau Ama Kul seorang anggota DPRK. Ya, surat yang hanya dua lembar kertas tersebut juga mampu membabat habis budaya nepotisme para penguasa. Luar biasa !!!
Sehari setelah dikeluarkannya surat tersebut, dengan tetiba seanterio Bener Meriah mendadak gaduh. Banyak yang menilai kebijakan tersebut sebagai kebijakan yang kekeliruannya tiada tara.
Terlebih bagi para tenaga honorer yang terdampak, sudah pasti kebijakan tersebut menyebabkan luka mendalam serta membuat mereka semua menangis batin.
Bagaimana tidak, akibat kebijakan tersebut, mulai 31 Desember 2017 nanti mereka akan dipaksa meninggalkan instansi masing-masing, menanggalkan seragam dinas yang dibangga-banggakan, dan pastinya tidak lagi menerima insentif yang sebenarnya tidak seberapa.
Maka wajar saja, kebijakan tersebut akan memosisikan bupati pilihan Umat sebagai Bupati terkutuk sepanjang sejarah. Paling tidak di mata mereka-mereka yang merasa dizalimi oleh kebijakan ini.
Tapi tunggu, jika dipikir-pikir, kebijakan tersebut tidak sepenuhnya salah. Bisa jadi kebijakan tersebut adalah upaya brilian dari Pak Bupati untuk menyelamatkan para generasi bangsa dari pekerjaan sia-sia: Menjadi tenaga honorer yang punya jam kerja tinggi, berpenghasilan rendah, plus tidak akan diangkat menjadi PNS sepanjang usia. Huuh, betapa pedulinya Bupati kita!
Selain itu, siapa sangka kebijakan yang tidak berperikemanusiaan tersebut adalah upaya cerdas dari sang Bupati untuk menumbuhkembangkan kreativitas dan inovasi kita-kita yang kehilangan pekerjaan.
Karena harapan menjadi honorer kian pupus, maka dengan sendirinya kita akan bergeliat menciptakan peluang usaha. Maka jadilah Bener Meriah sebagai negerinya para pengusaha muda. Paling tidak, hal ini sesuai dengan harapan bupati yang dicurahkan dalam Muscab HIPMI Bener Meriah beberapa waktu lalu.
Selain itu, anggaran yang dulunya diperuntukan untuk menggaji tenaga honorer, kini dapat dialihkan untuk mendanai realisasi kartu sakti yang menjadi program unggulan Bupati kita. Dengar-dengar, kartu sakti ini mampu membuat para petani sejahtra. Semoga saja!
(Meski setelah dipikir-pikir lagi, realisasi kartu sakti tersebut juga hampir mustahil adanya).
Jika sudah demikian, Bener Meriah akan menjadi Kabupaten tanpa cela: Petaninya sejahtra dan pengusahanya ada di mana-mana.
Maka terpujilah Bupati kita!
Mari sejenak kita heningkan cipta sembari melantunkan Himne Aceh untuk memberkati segala keterpujiannya.
*** penulis adalah alumnus FISIP Universitas Syiah Kuala. Sekarang Berdomisili di Bener Meriah.