Oleh : Otto Syamsuddin Ishak
Sebenarnya, ini isu akhir 2019 hingga awal 2020, jelang pandemic Covid19. Namun, adalah hal yang menarik bila dilihat kemunculan Suhendra dalam konteks Aceh.
Seturut pemberitaan di media, sosok Suhendra, ibaratnya adalah layang-layang raksasa yang memenuhi langit Aceh, yang talinya diikat pada tiang bendera Wali Nanggroe.
Suhendra mampu menjadikan Badan Intelijen Negara (BIN) lebih baik, ada istigatsah untuk Suhendra menjadi Kepala BIN, ini bagian dari marwah rakyat Aceh, Wali Nanggroe Aceh mendukung Suhendra, ia menjadi penyampai Amanat Pertemuan Eks Kombatan GAM ke Presiden, petinggi GAM bahas bendera dan lambang Aceh dengan Suhendra, ia sebagai sosok problem solver bagi Aceh hingga Papua.
Pada level nasional, Suhendra pengaman Jokowi sampai 2029. Pada level regional, Suhendra bagian dari juru damai bersama Wali Nanggroe untuk konflik bersenjata yang menahun di Pattani, Thailand Selatan.
Seakan-akan sosok layang-layang raksasa ini menjadikan bumi Aceh gelap gulita. Sejak kapankah Suhendra berada di langit Aceh? Apakah elite GAM sudah akrab sejak periode konflik dengan sosok Suhendra sebagai intelijen?
Namun, seraksasa manapun layang-layang itu, tetap saja cahaya Matahari tak mampu dihambat sepenuhnya untuk menerangi bumi Aceh. Hal ini terjadi manakala Suhendra berkata-kata tentang penegakan HAM di Aceh.
Kata Suhendra: “Saya tidak tahu apa tujuan sebenarnya dari Komnas HAM dalam pemanggilan tersebut. Menurut saya, langkah Komnas HAM, atau orang yang menggunakan Komnas HAM, membuka kembali kasus ini ibarat membuka luka lama bahkan mungkin seperti membangunkan macan tidur.
“Nampak kesadaran Suhendra terhadap negara hukum, sebagaimana disebutkan dalam Konstitusi, sangatlah lemah. Bahkan konyol, ketika Suhendra mempersamakan antara upaya penegakan hukum dengan “membuka luka lama”.
Tim Proyustisia Komnas HAM untuk Aceh, adalah inisiasi saya dan sejumlah staf Komnas HAM dengan mendapat perlawanan dari hampir sebagian besar komisioner dan pimpinan Komnas HAM periode 2012-2017. Kami memperjuangkan untuk 5 kasus yang dianggap representasi tipe-tipe pelanggaran HAM berat di Aceh semasa konflik 1976-2005.
Sebagai dedengkot intelijen, Suhendra rupanya tidak menguasai anatomi konflik di kawasan Aceh Tengah, yang dahulu Bener Meriah masih termasuk bagiannya. Sentrum pergolakan, bukan di Takengon, tapi di Bener Meriah.
Para aktor potensial pelanggar HAM bisa dari pihak Polri, TNI, GAM dan Milisi. Mereka berdiam, bahkan berlindung di sekitar Takengon, tapi melakukan operasi propaganda perbedaan suku dan konflik bersenjata di Bener Meriah.
Ada operasi propaganda yang mengkonstruksi dikhotomi antara Aceh pesisir dan pegunungan (dikhotomi geografis); atau antara suku Aceh pesisir dan Gayo, Alas dan Jawa, Batak, Ambon di lain pihak. Hal yang terakhir ini adalah dikhotomi khas Indonesia untuk menghancurkan kesatuan politik Aceh sejak kesultanan hingga Kolonial Belanda (Benteng Kute Reh).
Pada awalnya, saya berprasangka bahwa para aktor dari kaum milisi akan resisten terhadap pemanggilan Tim Proyus Aceh. Saya pribadi, bahkan merasa cemas.
Para aktor utama, ada yang diperiksa di Takengon, Bener Meriah dan di Mapolda Aceh. Ternyata, mereka datang dengan sangat antusias. Bahkan saat di Takengon mereka mengerahkan dan memfasilitasi anak buahnya untuk memberikan keterangan pada Tim Proyus.
Rupanya saya terkecoh karena mereka justru menanti untuk bertemu, mengobrol dan ngopi bersama. Agak terkesan mereka curhat dalam bahasa anak milenial. Namun bisa juga menjadi ajang pemulihan atau healing dalam dimensi psikologis. Hal yang utama bahwa anatomi konflik, bagi saya dan tim pun, menjadi semakin jelas.
Saya justru terkejut ketika Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem menolak pemanggilan Tim Proyus Aceh untuk diminta keterangan. Bahkan terkesan Mualem berusaha memakai “baju besi” MoU Helsinksi untuk melindungi dirinya.
Padahal saya sudah dikontak oleh Saleh. Saya sarankan penuhi saja panggilan itu, toh hanya memberi keterangan. Saya semakin kaget ketika membaca media, Mualem merapat ke Jusuf Kalla. Mualem butuh baju politik dari Monas.
Lagi-lagi terkejut manakala membaca kata-kata Suhendra bahwa sudah ada amnesti. Nampak Suhendra konyol lagi, tak bisa membedakan antara amnesti dengan penegakan HAM.
Suhendra berkata-kata: “Saya merasakan tidak adanya kepekaan sosial dan politik dari Komnas HAM dalam masalah ini.” Lagi-lagi semakin konyol, yang justru menunjukkan Suhendra tak paham anatomi sosial masyarakat Aceh.
Suhendra semakin konyol sebagai intelijen ketika berkata: “Ada yang mengganjal dalam pikiran saya, apakah langkah Komnas HAM membuka luka lama Aceh ini murni kepentingan HAM atau ada hidden agenda (agenda tersembunyi) dari seseorang atau kelompok tertentu untuk menciptakan instabilitas keamanan dan politik di negeri ini?”
Tim Proyus Aceh bekerja dengan payung UU 39/1999 dan UU 26/2000. Bahkan pasca Reformasi 1998, isu HAM telah menjadi bagian yang terintegrasi di dalam UUD 1945 hasil amandemen. Kalaulah Suhendra masih penasaran dengan feeling intelijennya, ya silahkan ungkap dan masukkan ke jalur hukum.
Akhirnya saya terpikir, pertama, jika dahulu orang Aceh dikenal sangat kesatria, tapi pada generasi sekarang hal itu menghilang, dan sedikit menampak pada diri para panglima Milisi.
Kedua, pada generasi dahulu saya mengenal “tipu Aceh” sebagai langkah taktis dalam merespon situasi. Sekarang, di pasca konflik, saya menemukan: kok elite Aceh justru menjadi korban penipuan politik?. (terbit di Dialeksi.com)
Penulis
Otto Syamsuddin Ishak, Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.