Saya Ingin Cerutu Sepopuler Kopi Gayo

Cerutu terbesar produksi pak guru Waliyo. Foto: Wrb

“Saya ingin cerutu populer seperti kopi Gayo. Karena tembakau merupakan bagian dari sumber ekonomi rakyat Gayo sejak dahulu. Didukung kesuburan alam dataran tinggi,” kata pak guru Sri Waluyo.

Sri Waluyo adalah seorang pendidik yang sejak setahun lalu mencoba menanam tembakau Kuba dan membuat cerutu.

Sri Waluyo tidak menjual cerutu buatannya. Dibagikan gratis kepada siapa saja yang datang kerumahnya. Di Paya Tumpi Baru, Kecamatan Kebayakan,Takengon , Aceh Tengah.

Bukan itu saja, pak guru ini juga mengajari siapa saja membuat cerutu. Secara gratis dan terbuka.

Ilmu membuat cerutu dipelajari pak guru Waluyo dari YouTube, skripsi, dan sejumlah referensi lainnya. Demi hasilkan cerutu yang enak. Bahkan seperti membuat cerutu ternama dari Havana, Kuba.

Sejarah tembakau di Gayo mungkin sama tuanya dengan budaya Gayo itu sendirinya. Di era pra kolonial , tembakau menjadi alat tukar atau barter.

Banyak orang kaya di Gayo karena jadi pengusaha tembakau di Pesisir Aceh hingga Sumatra Utara.

Waluyo saat memanen tembakau pilihan untuk dijadikan bahan baku cerutu. Wrb

Cerutu Gayo pertama sekali diperkenalkan oleh Aman Silmi sejak beberapa tahun silam. Di daerah Toa, Kecamatan Pegasing.

Cerutu Aman Silmi diberi nama Gayo Mountain Cigar. Cerutu Aman Silmi pernah dipromosikan oleh Fikar W Eda, seniman yang juga wartawan.

Sejak saat itu, cerutu Gayo populer dengan harga belasan ribu hingga ratusan ribu perbatangnya.

Saat saya datang Senin sore , 15 Maret 2021, di kediaman pak guru Waluyo yang asri, di Paya Tumpi baru, pembuat cerutu ,bukan lagi pak guru. Seperti saat saya datang pertama, beberapa hari lalu.

Tapi dibuat bang Zuhri. Bang Zul mengambil tembakau dari lembaran kertas buku yang dibulatkan dan diikat.

Tembakau dalam kertas itu sudah kering dan difermentasi selama tiga bulan. Tembakau yang disimpan dalam kertas terikat itu adalah jeroan cerutu.

Sementara pembungkus cerutu bagian luar berasal dari daun nomor 3,4,dan 5. Daun pembungkus ini, lebih kuat, banyak mengandung klorofil dan tidak mudah robek. Serta sejumlah keunggulan lainnya.

Zuhri adalah petani yang mengelola perkebunan tembakau pak guru Waluyo . Juga asisten ahlinya. Sementara pak guru Waluyo, ahlinya ahli. Begitu canda pak guru.

Zuhri mengeluarkan tembakau kering dari kertas tertutup yang diikat. Lalu menyiapkan daun tembakau untuk kulit luar cerutu. Diatas landasan keramik berwarna .

Merapikannya. Memotong bagian yang tidak bagus dengan pisau khusus dari mata mesin babat rumput yang sudah didisain khusus.

Antara daun luar dan dalam dipilin sedemikian rupa , disatukan dengan lem khusus yang dipesan dari toko online.

Kedua ujung cerutu yang tidak rapi, dipotong dengan pisau khusus pemotong cerutu. Barulah cerutu ini dimasukkan dalam kotak khusus cerutu.

…..

“Saya ingin banyak orang termotivasi membuat cerutu. Untuk meningkatkan pendapatan dan perbaikan ekonomi. Karena selama ini, harga tembakau terbilang rendah . Sementara cerutu mahal”, harap pak guru.

Seraya bercanda , Sri Waluyo berharap orang lain yang diajarinya lebih pinter. “Saya harap cerutor yang saya ajari lebih jago dari saya”, kata pak guru sambil terbahak.

Cerutor dalam istilah pak guru adalah pembuat cerutu. Disisi lain, sebagai guru, pak guru baru merasa berhasil apabila para muridnya, jauh lebih pinter dan berhasil darinya.

Kenapa Cerutu Kuba Mahal?
Menjawab kenapa cerutu Kuba Mahal, menurut Sri Waluyo karena banyak faktor.

Perlakuan terhadap daun tembakau sangat menentukan kualitas cerutu. Di Kuba , banyak perlakuan khusus untuk tembakau yang dibuat cerutu.

Mulai dari penentuan urutan daun tembakau. Jarak antar serat,ukuran, dan lain lain.

Umpamanya, terang pak guru. Daun urutan sembilan dari 1000 batang tembakau, ada 200 lebih coraknya. Daun daun yang sama disatukan.

“Satu daun tembakau , sejak dipanen hingga dijadikan cerutu , disentuh tangan lebih dari 200 kali”, ulas pak guru Sri Waluyo.

Setiap daun setiap hari dipegang saat dijemur di ruangan khusus tanpa terkena matahari langsung. Dipegang guna memastikan tidak menyatu dengan daun lainnya.

Begitu seterusnya hingga tiga bulan selama proses fermentasi tembakau. Berbeda dengan Kuba yang sudah profesional di industri tembakau , Sri Waluyo masih memperlakukan daun tembakau dengan sederhana.

Daun nomor 3,4 dan 5 dari bawah, dijadikan cerutu bagian luar. Sementara isi cerutu, dari daun lainnya.

“Satu cerutu berisi tiga sampai empat daun bagian atas. Satu sampai dua daun bagian bawah” ucap pak guru.

…..

Seperti halnya kopi Gayo yang sudah mendunia. Pak guru Sri Waluyo ingin cerutu Gayo juga sama.

“Setiap wilayah di Gayo memiliki tempat pembuatan cerutu. Menjadi industri cerutu dan dijual seperti halnya kopi”, harap pak guru.

Hal itu bukan tidak mungkin lanjut pak guru. Apabila para pihak seperti Pemda, Dprk dan pihak terkait lainnya bersinergi mendukung.
Dan secara bersama menjadikan tembakau komoditi andalan.

Karena tembakau bisa berharga mahal dengan perlakuan khusus. Selama ini daun tembakau basah hanya dibeli Rp. 1000,- perkilo.

Sementara tembakau hijau yang sudah dirajang dibandrol Rp. 140 ribu lebih/kilo. Tembakau kuning rp.200 ribu.

Tembakau hijau gayo juga populer sejak beberapa tahun lalu karena memiliki rasa dan aroma khas.

Tembakau hijau gayo banyak dikirim ke Jawa. Konon, tembakau hijau yang dibuat dari daun tembakau muda ini, bermula , ketika seorang petani tembakau kehabisan rokok.

Karena tinggal jauh dari perkampungan, petani tembakau ini merajang daun tembakau muda yang belum kuning.

Lalu mengisapnya. Ternyata enak dan memiliki rasa dan aroma khas . Berbeda dengan tembakau biasa yang berwarna kuning. Berasal dari daun tembakau yang sudah tua.

Tembakau hijau kemudian populer hingga kini dan dikirim ke luar daerah. (Wrb)

Comments are closed.