Oleh. Drs. Jamhuri, MA*
Potongan pendek di akhir ayat 183 dari surat al-Baqarah berbunyi “la’allakum Tattaqun” diterjemahkan dengan mudah-mudahan kamu bertaqwa, kata mudah-mudahan ini memberi isyarat kepada manusia khususnya orang beriman dalam hidup harus optimis dan tujuan akhirnya adalah taqwa.
Optimis dalam ayat ini mengajari kita dengan perbuatan tidak makan dan tidak minum serta tidak berkata-kata dan berbuat yang tidak baik, akan menyampaikan kita kepada kepatuhan kepada Allah. Berbeda dengan Ibadah lain Allah selalu menyuruh kita untuk berbuat, seperti dalam shalat kita disuruh membaca fatihah, ruku’, sujud, I’tidal dan lain-lain. Di dalam ibadah zakat, kita diharuskan mengeluarkan harta dan diberikan kepada mereka yang telah disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an, perintah memberi tersebut wajib kita lakukan kepada kelompok orang yang juga sudah diajarkan oleh Rasul, apabila tidak kita kerjakan maka perbuatan yang kita lakukan tidak berarti apa-apa.
Dalam ibadah puasa kita tidak disuruh untuk mengerjakan apa-apa, kita tidak di suruh untuk mengaji, kita tidak disuruh untuk melakukan shalat kecuali yang biasa dilakukan di luar bulan puasa, kita tidak disuruh untuk tidur dan lain-lain perbuatan. Tetapi apabila kita punya inisiatif untuk melakukan perbuatan baik, maka semakin banyak perbuatan itu kita lakukan maka semakin banya nilai yang diberikan. Untuk itu dalam ibadah puasa Allah tidak menggunakan otoritasnya sebagaimana pada ibadah-ibadah lain, Allah akan berikan nilai optimal dari perbuatan yang dihasilkan dengan inisiatif manusia dan optimis akan hasil yang di dapat.
Kita pasti pernah melihat salah satu baliho yang memuat iklan rokok tertentu, di baliho tersebut tertulis “Saya Dapat Kalau Saya Mau”. Baliho ini memang agak diskriminatif terhadap perempuan, dimana seorang laki-laki yang tidak memiliki bentuk wajah yang tampan mendapatkan wanita yang sangat cantik, seorang bapak yang punya profesi tukang becak dapat menyekolahkan anaknya menjadi seorang pilot, dan seorang laki-laki pendek menambah di bawah sepatunya dengan empat batu bata mendapatkan wanita yang mempunyai ketinggian sempurna.
Itulah optimisme yang diajarkan agama melalui kitab suci al-Qur’an kepada manusia dan manusia mengilutrasikan dalam kehidupannya.
Kita tidak menyadari bahwa itu semua telah kita lakukan dalam keseharian kita pada bulan puasa, anak-anak punya kebebasan menentukan kue apa yang dimakan ketika berbuka puasa, ikan apa yang menjadi kawan nasi ketikan makan sahur, minuman apa yang harus disediakan ketika hendak berbuka dan sahur. Tidak hanya permintaan dari seorang anak yang harus kita penuhi tapi bahkan permintaan dari semua anggota keluarga yang ada di dalam rumah. orang tua dan orang yang mempunyai otoritas dalam rumah akan berupaya memenuhinya asalkan anak dan yang lain yang ada selamat puasanya sampai waktu berbuka.
Dari awal ramadhan orang tua sudah mulai berfikir tentang pakaian apa yang harus dibeli dan dipakai pada saat lebaran, pakaian yang dipakai mestilah pakaian baru, tidak boleh pakaian bekas (monja), dan tidak sah juga mengenakan pakaian yang sudah dipakai sebelumnya walaupun masih baru. Hasil pemikiran diaplikasikan dalam usaha “saya dapat kalau saya mau”, menghasilkan paling kurang satu orang satu pasang pakaian ditambah dengan sepatu atau sandal, bahkan ada yang dua atau tiga pasang untuk satu orang anak.
Tidak cukup dengan pakaian, hari lebaran adalah hari istimewa untuk semua. Anak-anak akan diberikan uang untuk jajan dengan jumlah yang banyak melebihi jajannya pada bulan yang lain di luar bulan puasa. Mereka boleh membeli mainan mulai dari yang murah sampai kepada yang mahal menurut ukuran anak-anak, dibelikan balon baru sebentar meledak dibeli lagi, di beli lotre di dalamnya selalu tertulis anda belum beruntung.
Orang tua yang sepanjang tahunnya hanya memikirkan apa yang menjadi kebutuhan anaknya, pada saat lebaran akan merasa malu bila tidak mengenakan paling kurang kain sarung baru, bahkan juga semua pakaian yang dikenakan serba baru sampai kepada mukena juga baru. Tidak ada rumah yang tidak menyediakan kue dengan berbagai macam pada hari lebaran, juga minuman selama sepanjang tahun hampir tidak pernah minum sirup dengan berbagai warna dan rasa, belum lagi makanan sepulang dari shalat hari raya dengan menu setahun sekali.
Optimisme bulan ramadhan tidak hanya dipadai dengan memenuhi kebutuhan pada makanan pada setiap hari selama bulan ramadhan dan pakaian yang dikenakan pada saat berhari raya, tetapi juga Allah menantang mereka dengan memberikan kelebihan makanan kepada pakir dan miskin serta mustahiq lain dalam wujud zakat fitrah. Untuk yang terakhir ini juga mereka sanggup, pada hitungan 27 ramadhan mereka berbondong-bondong menyerahkan kepada tengku Imam, dengan rasa ikhlash dan tidak ada niat sedikitpun untuk menguranginya bahkan dengan tambahan dua genggam.
Itulah optimisme yang ditanamkan al-Qur’an kepada semua orang beriman, sehingga dalam hadis Nabi disebutkan, kalaulah mereka mengetahui apa sebenarnya rahasia yang ada pada bulan ramadhan niscaya mereka semua akan meminta sepanjang tahun dijadikan sebagai bulan ramadhan.
Kesanggupan kita melaksanakan kata “la’allakum” sudah teruji dan kita dapat memenuhinya, maka akan menjadi lebih baik lagi bila kita menjadikan optimisme tersebut pada sebelas bulan lain selain bulan ramadhan. Bukankah itu artinya bagaimana kita membayangkan kehidupan orang kaya, orang yang dapat memenuhi segala kebutuhannya. Apa yang diinginkan anaknya mereka dapat membelinya, apa yang mereka inginkan mereka penuhi. Mereka juga dapat berbagi dengan orang lain dengan niat tidak asal memberi. “KITA DAPAT KALAU KITA MAU”