Sentral Aceh (Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues- Trio Gayo Red) adalah negeri yang subur. Rakyat di sana hidupnya makmur, dengan mengandalkan pertanian, khususnya sector perkebunan. Saat konflik Aceh negeri ini tecabik-cabik. Puluhan ribu kebun sumber penghidupan rakyat hancur.
Korban jiwa dan harta benda cukup banyak. Kini perang itu sudah “usai”. Paska MoU Helsinki, denyut kehidupan rakyat sudah mulai membaik. Namun, kebijakan pemerintah Aceh masih membuat kawasan tengah ini masih termarginalkan.
Beragam persoalan klasik sampai sekarang belum tuntas. Akses jalan misalnya, yang menghubungkan trio Gayo dengan dunia luar. Sarana penghubung ini terkesan diabaikan dan baru diperhatikan ketika akan ada hajatan pesta rakyat, seperti Pilkada, Pileg atau Pilpres, kemudian usai pesta “terlantar” lagi.
Fakta itu dapat dilihat diruas jalan utama yang menghubungkan Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener dengan kabupaten Biruen. Di kawasan Cot Panggilama, menjadi nukilan sejarah kelam, sejak pemerintahan Irwandi yusuf ruas jalan ini sudah diperlebar, sampai sekarang tidak tuntas. Walau statusnya jalan negara.
Ruas jalan yang tantanganya maut, ada di jalan Takengen- Blang Kejeren. Bebera titik di jalan ini, siap merengut nyawa. Jalan ini diperbaiki/ diperlebar sesuka hati dan kapan mau, tidak serius. Sama nasibnya dengan ruas jalan Pamue, Buetong, Bintang Serule ke Blang Kejeren.
Ruas jalan Permata Bener Meriah ke Krueng Tuan, Aceh Utara. Jalan dari berbagai sisi menuju ke dan kawasan tengah ini memprihatinkan. Anggarannya tidak jelas. Hanya ada janji, namun anehnya Pemerintah Aceh tidak mampu menghabiskan anggaran, hampir setiap tahunya dan dikembalikan ke negara.
Hasil pantauan Waspada di lapangan, jalan Takengen- Bireun misalnya, sudah bertahun-tahun tak mampu diselesaikan sampai sekarang. Ruas jalan 101 kilometer itu bagaikan tambal sulam, di aspal di satu kawasan dibiarkan di titik lainnya berlumpur. Giliran titik yang berlumpur itu diaspal, lokasi aspal yang lama sudah hancur.
Pemandangan itu bukan hanya untuk ruas jalan Takengen- Biruen, nasib yang sama juga terjadi di ruas jalan Takengen- Blang Kejeren. Demikian dengan ruas jalan lingkar Danau Lut Tawar yang menjadi tanggungjawab provinsi Aceh.
Ruas jalan sumber wisata ini yang juga diprogramkan rute Takengen- Blang Kejeren, via Serule, kondisinya hancur-hancuran. Masyarakat di Kecamatan Bintang ini sering demo, menanam pisang. Namun kenyataan berganti pemimpin Aceh paska MoU, sampai sekarang belum diaspal. Walau ruas jalan Bintang Serule ini sudah lama diprogramkan untuk diaspal.
Rata-rata masyarakat di sana kepada Waspada menyebutkan, ada kesan kawasan yang subur ini sengaja di marginalkan. Aceh Tengah dan Bener Meriah bila akses ke sana bagus, rakyatnya akan makmur, karena tanah pertanian yang subur dan alam yang indah.
Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah sumber pertanian dan perkebunan. Bagaimana mau memasarkan hasil pertanian yang sebagiannya tergolong cepat busuk, bila akses jalan masih belum normal? Kol, tomat milsalnya akan hancur diperjalanan bila jalannya masih penuh bebatuan dan lumpur bagaikan kubangan kerbau.
Demikian dengan sejumlah program Otsus yang dana bersumber dari pemerintah Aceh, seperti rumah sakit, pembangunan tangul Lut Tawar, peternakan dan pertanian,masih belum serius dan terbengkalai.
Selain persoalan infrastruktur yang sangat dibutuhkan masyarakat, ada persoalan lain di negeri ini yang krusial, yakni persoalan diskriminasi. Mayoritas penduduk di sana merasakan Qanun Aceh “mengkebiri” penduduk minoritas.
Pemekaran provinsi Aceh Lueser Antara (ALA) yang sudah lama berkumandang, sampai kini belum padam. Walau kadang kala timbul tenggelam, tergantung situasi dan kondisi, perjuangan itu terus dilakukan oleh pegiat ALA.
“Pemekeran itu bagi kami harga mati. Persiapan pemekaran sudah final, hanya tinggal menunggu pengesahan dari pemerintah. Kalau segi persyaratan semuanya sudah siap,” sebut Zamzam Mubarak, Humas Komite Pemekaran Provinsi ALA (KP3 ALA).
Perbendangan pandangan antara pemerintah Aceh dengan mayoritas masyarakat di pegunungan Aceh ini, sampai sekarang belum ada titik temu. Haruskah perbedaan itu terus menjadi bola salju yang terus membesar?( Bahtiar Gayo, Waspada edisi Rabu 3 September 2014)