Oleh: Almer Agung Islami
INDONESIA melaksanakan otonomi daerah seperti tercantum dalam UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Hal tersebut membawa dampak pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Terdapat urusan yang menjadi kewenangan pusat dan ada urusan yang menjadi urusan wajib daerah dan urusan pilihan daerah sehingga memungkinkan daerah membuat keputusan sendiri atas hal-hal yang menjadi kebutuhan daerah sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah masing-masing.
Akan tetapi pemerintahan daerah tidak sepenuhnya menjawab harapan masyarakat. Terdapat berbagai masalah dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Misalnya terjadi tumpang tindih kekuasaan antar tingkatan, terjadi tarik menarik urusan, korupsi, dan struktur yang gemuk. Sebenarnya akar dari permasalahan tersebut hanya bersifat materi saja, misalnya tarik menarik urusan tidak hanya karena politis tapi juga sifat oportunis aparat pemerintah mempengaruhi.
Memang hal tersebut merupakan masalah klasik yang ternyata turut berpindah dari tingkat pusat saat sentralisasi menuju tingkat lokal saat konsep desentralisasi dalam pemerintahan daerah dilaksanakan. Bahkan penyalahgunaan wewenang tidak hanya bersifat materi tetapi juga kewenangan, tugas pokok dan fungsi, waktu kerja dan sebagainya.
Pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah yang tidak profesional menimbulkan kekecewaan masyarakat atas euforia pemerintahan daerah. Masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap aparat pemerintah ditandai dengan tuntutan masyarakat terhadap birokrat atau pemimpin birokrasi pemerintah. Bahkan di berbagai daerah ketidakpercayaan tersebut dimanifestasikan dengan tindakan main hakim sendiri misalnya tindakan main hakim sendiri masyarakat terhadap tempat hiburan malam karena kebijaksanaan pemerintah tidak jelas.
Penyalahgunaan wewenang oleh aparat pemerintah tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhi birokrasi. Salah satu faktor paling dominan adalah budaya individu. Individu cenderung oportunis yang hidup dalam sistem yang korup. Perilaku individu ini terkait dengan kesempatan yang dimiliki seseorang ketika memiliki jabatan dan otoritas. Selain itu terdapat faktor lainnya yang juga mempengaruhi kinerja pemerintahan di daerah yaitu budaya, organisasi dan manajemen, serta faktor politik.
Dalam hal ini peran individu sebaga elemen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan menjadi sentral dalam upaya pembentukan pemerintahan yang baik sehingga aparat pemerintah merupakan entry point dan penggerak utama (prime mover) untuk mendorong perubahan praktik pemerintahan daerah di Indonesia. Aparat pemerintah yang cerdas dan profesional diasumsikan akan mengerjakan tugas pelayanan publik sesuai dengan ketentuan sehingga paradigma good governance dapat dengan mudah diwujudkan.
Paradigma good governance menjadi harapan masyarakat seiring berkembangnya anggapan bahwa birokrasi tidak efisien dan dilaksanakan oleh aparat yang tidak profesional. Konsep good governance ini mencoba mencari sebuah model yang dapat menjadikan pemerintahan menjadi lebih efektif dan efisien dan dijalankan oleh aparat yang profesional. Konsep pemerintahan yang baik merupakan harapan semua masyarakat. Apalagi masyarakat masih mengalami berbagai tindakan penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan pemerintahan dan inefisiensi birokrasi. Masyarakat berharap aparat pemerintah dapat bertindak secara profesionals sehingga dapat meningkatkan efisiensi birokrasi.
Konsep good governance memiliki berbagai model. Keberagaman model ini dikarenakan setiap pakar memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai konsep tersebut. Good governance adalah suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab dan profesional. Menurut UNDP (United Nation Development Programme) good governance memiliki delapan prinsip antara lain partisipasi, transparansi, akuntabel, efektif dan efisien, kepastian hukum, responsif, konsensus, setara dan inklusif.
Sedangkan menurut sumber lain menyebutkan sepuluh prinsip good governance yang mirip dengan prinsip yang disebutkan oleh UNDP yaitu partisispasi, penegakan hukum, transparansi, kesetaraan, daya tanggap, wawasan ke depan, akuntabilitas, pengawasan publik, efektifitas dan efisiensi, dan profesionalisme. Faktor penting dalam pembentukan pemerintahan yang baik sesuai dengan prinsip good governance adalah aparat pemerintah.
Prinsip partisipasi, penegakan hukum, transparansi, kesetaraan, daya tanggap, wawasan ke depan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi serta profesionalisme menjadikan aparat pemerintah sebagai tokoh penting dalam proses pembentukan good governance. Aparat pemerintah merupakan elemen yang penting dalam organisasi negara, Prof Dr. J Winardi mengatakan bahwa setiap organisasi berlandaskan sejumlah manusia, tidak ada organisasi dapat eksis tanpa manusia. Dengan demikian peningkatan profesionalitas aparat pemerintah merupakan salah satu awal dalam pembentukan good governance.
Di negara-negara maju proses pembentukan pemerintahan yang baik mudah dilakukan karena adanya kesadaran aparat pemerintah tentang peran dan fungsinya. Penyempurnaan pelayanan umum di Inggris melalui program first step dan next step masa Margareth Thatcher (1979) dan dilanjutkan program citizen’s charter mada John Mayor dan Tony Blair merupakan upaya negara maju untuk meningkatkan kinerja aparat pemerintahnya yang disertai kesadaran tinggi aparat pemerintahnya.
Di negara maju aparat pemeirntah memiliki profesionalitas tinggi sehingga tetap stabil dan terorganisasi dengan baik sehingga mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat meskipun dalam kondisi konflik.
Kondisi aparat pemerintah di Indonesia yang belum memiliki tingkat profesionalitas tinggi ini sejalan dengan teori Heady dan Wallis. Heady dan Wallis(Kartasasmita,1997) menyebutkan bahwa pemerintahan kekurangan sumberdaya manusia yang berkualitas merupakan kelemahan birokrasi di negara berkembang. Kualitas aparat pemeirntah kurang dalam hal kepemimpinan, manajemen, dan ketrampilan teknis yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
Akan tetapi berdasarkan masalah yang ada dalam pemerintahan daerah sebenarnya masalah moralitas aparat pemerintah merupakan poin utama yang harus dikembangan terlebih dahulu karena esensi aparat pemerintah merupakan pelaksanan tugas pemerintahan sehingga aparat pemerintah memiliki landasan yang benar dalam menjalankan tuganya untuk melayani masyarakat.
Urgensi pembentukan aparat pemerintah yang profesional diperlukan dalam pembentukan good governance menuntut aparat pemerintah menjadi aparat yang cerdas dan profesional. Cerdas berarti sempurna akal budinya(untuk berpikir, untuk mengerti dan sebagainya), tajam pikirannya, dan tangkas dalam menjawab.
Dalam kamus Bahasa Indonesia tahun 2001 edisi ke-III menyebutkan tiga macam cerdas yaitu cerdas secara intelektual, cerdas secara emosional dan cerdas secara spiritual. Cerdas secara intelektual berorientasi kepada pemberdayaan otak, hati, jasmani dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional dengan yang lain. Cerdas secara emosional berarti memiliki ketajaman dan kepekaan dalam mengatur emosi. Cerdas spiritual berkenaan dengan hati dan kepedulain antar sesama manusia, makhluk lain dan alam sekitar berdasar keyakinan adanya Ketuhanan Yang Maha Esa.
Diharapkan aparat pemerintah memiliki ketiga kecerdasasan tersebut sehingga dalam melaksanakan tugas pemerintahan dilaksanakan dengan memberdayakan berbagai potensi diri yaitu hati, otak dan akal budi sehingga mampu memberikan pelayanan publik yang berorientasi kepada masyarakat dengan kesadaran dari aparat pemerintah. Selain itu diperlukan aparat pemerintah yang profesional yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang sesuai dengan pekerjaannya untuk menghasilkan sebuah hasil karya nyata. Sebagai aparat pemerintah hasil karya berupa jasa dan pelayanan kepada masyarakat.
Profesional memiliki beberapa kriteria antara lain pengetahuan, keahlian, berguna untuk orang lain, oleh karena itu ada unsur tanggung jawab sosial yang terikat oleh kode etik. Dengan demikian pembentukan mental dan moral aparat pemerintah melalui dua dimensi yakni kemampuan dan kesadaran.***
*Mahasiswa FH Unsyiah dan Ketua Low Community of Gayo