Oleh Johansyah*
Membangun Sumber Daya Manusia (SDM) persis bagaikan menanam pohon di mana seseorang butuh waktu lama agar dapat menikmati hasilnya sehingga sering kali sang penanam pun tidak sempat menikmati hasilnya. Begitulah ilustrasinya ketika kita ingin investasi SDM yang tidak secara spontan dan instan menuai hasil dalam waktu yang singkat. Berbeda dengan membangun fisik seperti gedung yang dapat dilakukan dalam waktu relatif singkat selama dana mendukung.
SDM merupakan salah satu aspek penting dalam membangun bangsa yang kuat, berwibawa dan disegani. Tanpa itu maka irama pembangunan akan mengalun sumbang sehingga terkadang membosankan. Katakanlah Aceh Tengah dan sekitarnya sebagai sebuah wilayah strategi yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) berlimpah ruah. Sesuatu yang ironis tentunya seandainya tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal dan bahkan terbengkalai lantaran minimnya SDM.
Roda kehidupan akan terus berputar dengan situasi dan kondisi yang berbeda antar waktunya. Suasana ke depan akan terus diwarnai dengan persaingan yang pada gilirannya akan mengaburkan dan menepis batas kultur, agama serta mengarah kepada persaingan global. Pada kondisi ini maka individu maupun masyarakat yang tidak siap dengan SDM tangguh akan tersingkir dari arena persaingan dunia sekaligus menjadi kelompok terjajah yang menjadi umpan dan dimanfaatkan oleh orang-orang pintar. Dari itu, sejatinya kita harus menanamkan sebuah motto dalam benak masing-masing “jika saya bodoh maka akan tergilas”.
Untuk itu, masyarakat maupun pemerintah memiliki tanggung jawab dengan kapasitas masing-masing dalam mengembangkan SDM. Masyarakat dengan semangat perubahan dan pembaruan harus berupaya keras mendukung pendidikan anak-anak mereka sampai ke jenjang pendidikan tinggi atau minimal memberikan skill kepada anak-anak mereka pada jenjang pendidikan menengah. Sementara Pemerintah dengan otoritas dan kebijakannya harus mampu mengarahkan dan membantu masyarakan untuk memperoleh pendidikan yang baik.
Bagi masyarakat, memberikan pendidikan kepada anak sebaiknya tidak dimaknai sebagai beban melainkan kebutuhan. Jika sebagai beban akan dibelit oleh anggapan ”untuk apa memberikan pendidikan anak lebih tinggi”, atau ungkapan-ungkapan tidak berguna lainnya. Masyarakat harus pintar membaca zaman, jangan sampai generasi kita ke depan menjadi objek arus perubahan. Keluarga yang memberikan pendidikan kepada anaknya sampai sarjana niscaya tidak pernah rugi asalkan tidak keliru menetapkan orientasi keberhasilan bahwa anaknya baru dianggap sukses ketika telah menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Di sisi lain, pemerintah harus mendukung generasi muda yang mau melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi baik di dalam maupun luar negeri. Bahkan kalau perlu menjadi program tahunan, berapa orang yang dapat dikirim oleh pemerintah untuk S1, S2 maupun S3. Hasilnya memang seperti menanam pohon di atas, perlu menunggu beberapa tahun kemudian dan mungkin tidak dinikmati pada era kepemimpinan saat ini. Paling tidak pemda memberikan dukungan penuh kepada pegawai dan tenaga pendidikan yang mau dan mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi jika dari dukungan biaya tidak dapat dipenuhi secara maksimal.
Pendidikan dan Pengembangan SDM
Pendidikan adalah gerbang utama pengembangan SDM dan jelas terdapat jalin kelindan antara pendidikan dan kemajuan sebuah bangsa kapan dan di manapun. Untuk itu, yang menjadi salah satu pusat perhatian pemerintah haruslah pendidikan. Hamat penulis, untuk mengembangkan SDM, ada dua jenjang lembaga pendidikan yang perlu menjadi prioritas yaitu lembaga pendidikan menengah atas (SMA/SMK) dan Perguruan Tinggi (PT).
Pada jenjang pendidikan menengah, pemda mungkin harus berusaha memperbanyak dan mengembangkan pendidikan kejuruan, terutama pada tingkat menengah atas. mengapa ini penting?, sebab tidak mungkin semua masyarakat Gayo dipaksakan menjadi PNS dan harus sarjana. Maka bagi mereka yang tidak mampu (dari berbagai aspeknya) untuk melanjutkan pendidikan diharapkan memiliki keahlian sehingga tidak ada yang namanya pengangguran. Untuk mewujudkannya maka lembaga yang lebih tepat dikembangkan adalah SMK.
Takengon untuk sementara sudah memiliki Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) termasuk pertanian. Ke depan kalau bisa diperbanyak, misalnya SMK perikanan, kerajinan daerah dan SMK lain yang dapat membekali anak-anak kita sehingga mampu menopang kebutuhan hidup dan tidak menjadi ”benalu” dalam masyarakat.
Untuk pengembangan PT, sejatinya kita bercermin pada kota Malang telah yang berhasil mewarnai pemikiran masyarakatnya dengan suasana yang maju dan berkembang melalui penguatan posisi akademik yang energik sehingga menjadi kota ”wisata akademik” bagi orang dalam maupun luar negeri. Takengon memang bukan Malang atau sebaliknya, tetapi banyak nilai positif yang harus kita tiru, terutama pengembangan SDM melalui jalur PT.
Kalau demikian, maka pengembangan PT adalah sesuatu yang mutlak dan salah satu prioritas utama pemerintah. Saat ini di Takengon sudah ada Universitas Gajah Putih (UGP) dan Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih (STAI GP) di samping ada beberapa PT swasta lain. Alangkah salehnya pemerintah dan bekerja sama dengan pihak PT jika mau mengembangkannya dengan membuka program studi dan jurusan sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.
Patut kita merasa lega kendati belum begitu yakin akan janjinya Menteri Agama RI Drs. Suryadharma Ali, M.Si yang mengatakan bahwa Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih (STAI GP) Takengon akan segera dinegerikan dalam waktu dekat. Hal ini beliau sampaikan dalam kunjungan ke Takengon untuk menghadiri Muswil Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Aceh pada tanggal 5 februari 2011 lalu.
Semoga penantian panjang ini segera terwujud sehingga memberikan spirit baru dalam menjadikan lembaga ini untuk mengembangkan SDM Gayo yang profesional, berwawasan futuristik serta menjunjung tinggi moralitas. Khusus untuk unsur pimpinan STAI GP, PR besar telah menanti jika penegerian ini terwujud.
PR besar jika telah menjadi STAIN adalah quo vadis STAI (mau dibawa ke mana). Untuk menjawab itu maka visi dan misi STAI harus dirancang sedemikian rupa, di samping perlu reformasi besar dalam internal STAI saat ini, baik dari manajemen, sarana (terutama pustaka), kualitas dosen, tawaran program studi dan program unggulan yang menjadi nilai jual kepada masyarakat.
Akhirnya, baik pemerintah maupun masyarakat, penulis berharap agar semua kita mau ’berjihad’ dalam mengembangkan SDM melalui pendidikan sehingga Gayo ke depan menjadi lebih baik. Wallahu a’lam.
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor IAIN Banda Aceh.