Oleh Johansyah*
Diperkirakan bahasa Gayo akan mengalami kepunahan. Demikian yang disampaikan oleh Abang Joni (Sapaan penulis untuk Kanda Joni MN, M.E.L.T), Dosen pada Prodi Bahasa Inggris di STAI Gajah Putih. Bahwa telah terjadi erosi pemaknaan dalam bahasa Gayo, di mana dalam perkembangannya kemudian, mereka lebih berbahasa langsung dan bahasanya lebih “transparan.” Akibatnya, orang Gayo lebih berpikir instan. Lebih dari itu, dalam pergaulan sehari-hari pun banyak terjadi pergeseran yang semakin jauh dari tuntunan adat istiadat Gayo dan kandungan nilai-nilai Islam (Lintas Gayo, 27/10/11).
Penulis melihat, permasalahannya bukan hanya sekedar pergeseran bahasa Gayo yang halus ke bahasa Gayo yang kasar seperti terungkap di atas, melainkan semakin sedikitnya masyarakat kita yang berkomunikasi dengan bahasa Gayo, baik di wilayah pedesaan terlebih lagi di perkotaan, kebanyakan anak dibiasakan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Inilah yang menjadi tantangan besar, sekaligus penyebab utama dari punahnya bahasa Gayo di kemudian hari.
Di sisi lain, penulis juga melihat ada tendensi dalam masyarakat Gayo sendiri untuk lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi, walaupun sesama mereka adalah orang Gayo, ada kesan kuno dan kurang keren jika menggunakan bahasa daerah sendiri. Jika ditanya dengan menggunakan bahasa Gayo maka dijawab dengan bahasa Indonesia, hal ini sering penulis alami dan kita semua barangkali pernah mengalaminya. Artinya, tingkat loyalitas masyarakat Gayo terhadap bahasanya sendiri dapat dikatakan sangatlah rendah bila dibandingkan dengan orang Aceh.
Pernahkah kita mengalami ketika berhadapan dengan orang Aceh di warung, bahkan di kampus?, sungguh percaya dirinya mereka berkomunikasi dengan bahasa Aceh walau di lembaga pendidikan atau di instansi pemerintahan sekalipun. Uniknya lagi mereka ‘memaksakan’ suku lain yang masuk ke Aceh untuk mampu berkomunikasi dengan bahasa tersebut dan jika tidak mampu mereka bilang ‘sudah makan beras Aceh kok nggak bisa bahasa Aceh’. Padahal jika dipikir apa hubungannya maka beras Aceh lalu bisa bahasa Aceh, atau makan beras jawa lalu bisa bahasa jawa, dan seterusnya. Namun itulah orang Aceh, mereka menganggap orang yang masuk ke Aceh harus bisa bahasa Aceh. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat loyalitas orang Aceh terhadap bahasanya sendiri lebih tinggi dibandingkan orang Gayo.
Pergeseran, Sebuah Dinamika
Pergeseran bahasa dalam sebuah komunitas pada dasarnya merupakan dinamika budaya dan arus perubahan disebabkan oleh pergerakan masa itu sendiri. Budaya yang walau bagaimanapun berakarnya toh tidak akan pernah kekal kecuali perubahan itu sendiri yang terus menjadi pengikut setianya. Perkawinan silang antar suku, serapan bahasa asing, pengaruh teknologi, interaksi sosial multikultural, masyarakat majemuk, semua itu akan mewarnai perubahan sebuah budaya, termasuk bahasa.
Namun demikian, prinsip-prinsip dari budaya itu sendiri dan juga identitas budaya (bahasa) dalam sebuah komunitas sejatinya harus dipertahankan, bukan malah dibiarkan tertimpa oleh budaya dan bahasa lain yang pada inti juga tidak harus dihindari. Artinya biarkan bahasa lain berkembang dan masuk dalam wilayah komunitas lokal, namun jangan sekali-kali membiarkan bahasa setempat menjadi barang yang tidak terpakai, lapuk dan akhirnya hangus termakan zaman.
Kemungkinan untuk eksis menggunakan bahasa dengan kosa kata nenek-kakek kita dahulu juga agak sulit dipertahankan, sebab salah satu sifat bahasa itu sendiri adalah rentan mengalami serapan-serapan dari bahasa lain sehingga ada beberapa kosa kata yang kemudian tergantikan. Hal ini menurut penulis adalah sesuatu yang lumrah dan pada prinsipnya bukanlah masalah besar.
Mempertahankan Bahasa Gayo
Lantas kune keta (bagaimana caranya) menyikapi permasalahan ini agar kepunahan bahasa Gayo dapat ditunda, bahkan terselamatkan?. Jawabannya tentu ada pada kita sendiri, mau atau tidaknya mempertahankan bahasa Gayo sebagai salah satu identitas budaya. Jika mau, maka satu hal yang harus disadari betul bahwa bahasa alat komunikasi yang bersifat praktis bukan teori. Maka tidak ada cara lain untuk mempertahankannya kecuali menggunakannya kembali secara rutin, terutama dalam lingkungan keluarga.
Mari bertanya kepada diri sendiri, apakah dalam keluarga kita berkomunikasi kita menggunakan bahasa Gayo ataukah bahasa Indonesia?. Walaupun tidak seratus persen yakin, namun penulis berani mengatakan bahwa bahasa yang lebih dominan digunakan dalam keluarga saat ini adalah bahasa Indonesia. Sepertinya mencari keluarga yang berkomunikasi rutin dengan bahasa Gayo sudah agak sulit.
Masalah yang sama, belum lagi melihat saudara-saudara di perantauan yang barangkali bukan hanya jarang berbahasa Gayo, akan tetapi mungkin tidak pernah lagi menggunakannya dengan berbagai alasan. Jarang sekali ada keluarga di perantauan yang masih eksis berkomunikasi dengan bahasa Gayo dalam keluarganya.
Untuk mengaktifkan kembali bahasa Gayo, pertama yang harus menjadi perhatian adalah keluarga dan hal ini tentu saja menjadi tumpuan utama. Logikanya, jika bahasa Indonesia mereka dapat memperolehnya di mana-mana, sementara bahasa Gayo kemungkinan kecil diperoleh selain dalam keluarga.
Dalam lingkungan masyarakat, bahasa Gayo bisa saja bertahan jika komunitas dalam suatu wilayah tersebut masih homogen. Namun dalam lingkungan yang masyarakatnya heterogen dan multikultural, bahasa Gayo tidak mungkin dipaksakan penerapannya karena harus menghormati suku lain yang tidak mengerti bahasa Gayo.
Selain keluarga, dalam lingkungan pendidikan formal (sekolah) bahasa Gayo dapat juga dikembangkan melalui muatan lokal. Kita tau bahwa muatan lokal tidak ditentukan materi dan bidang studinya dan sekolah memiliki otonomi untuk mengaturnya. Bila memang urgen, maka bahasa Gayo dapat dimasukkan menjadi mata ajarnya dan pembelajarannya tidak perlu terlalu formal, cukup cerita bersama anak-anak dengan tema bebas tetapi berbahasa Gayo dan tidak perlu terikat dengan ruangan.
Cara terakhir yang menurut penulis penting adalah menyusun kembali kamus bahasa Gayo sebagaimana yang dilakukan oleh Dr. Rajab Bahry, M.Pd, salah seorang penulis di Gayo lues yang sempat diberitakan di Lintas Gayo beberapa hari yang lalu. Kamus tersebut diupayakan dapat menampilkan kosa kata yang lama dan halus sampai kosa kata yang dianggap kasar serta menjelaskan perubahannya. Kalau bisa disebarluaskan ke sekolah maupun keluarga, mereka harus memilikinya. Tujuannya adalah agar kosa kata bahasa Gayo yang jarang diungkapkan terpelihara.
Sebagai penutup, jika kita masih suka menggunakan bahasa Gayo, itu berarti ada keinginan menunda kepunahan bahasa Gayo. Sebaliknya jika kita tidak lagi sering menggunakan bahasa Gayo dalam berkomunikasi, maka boleh jadi kitalah yang menjadi salah satu penyebab punahnya bahasa Gayo.
*Penulis adalah Pemerhati Budaya Gayo.