Jakarta | Lintas Gayo – Nama Christian Snouck Hurgronje tentu tidak asing lagi bagi masyarakat Gayo, Aceh, dan Alas. Ialah orang pertama yang mencatatkan riwayat Gayo, tahun 1903. Dalam bukunya “Tanoh Gayo dan Penduduknya” (terjemahan Budiman S), ia mengisahkan perjalanannya ke Gayo.
Lebih lanjut, Snouck menuliskan nama jalan, tempat, masjid, dan catatan atropologis lainnya menyangkut Gayo. Laporan catatan ini pula yang digunakan pihak Belanda untuk dapat memasuki Gayo kemudian.
Catatan Snouck itu turut menginspirasi Fikar W. Eda, seorang sastrawan nasional asal Takengon, tanoh Gayo, Aceh. “Tulisan Snouck itu sebenarnya sederhana dan seperti bercerita (kekeberen—bahasa Gayo).Tapi, luar biasa karena menggambarkan fotret kehidupan masa lalu orang Gayo,” kata Fikar di Jakarta (14/10/2011). Setiap sisi perjalanannya, diungkapkan Snouck dalam buku tersebut, tambah Wartawan Serambi Indonesia itu.
“Saya coba melakukan hal yang sama. Catatan itu “Dene ku Gayo—Jalan ke Gayo” dimulai dari Bireuen, Bener Meriah sampai ke Takengon; sebelum ke Gayo Lues dan Kotacane. Dan sebaliknya, dari jalur Kotacane sampai ke Bireuen. Dan mulai hari ini, akan dimuat di Harian Serambi Indonesia,” jelasnya lagi.
Dari catatan ini, sambungnya, bisa dibandingkan masa Snouck menulis dengan 108 tahun setelahnya. Seperti Cut Panglime, dicontohkan Fikar, kondisinya sudah jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Demikian halnya dengan badan dan lebar jalan, bangunan rumah penduduk, dan tempat ibadah. Juga, nama-nama tempat; ada yang baru serta ada pula yang sudah tidak dipakai dan dikenal lagi.
“Tapi, ada yang menarik. Kondisi Enang-Enang (nama tempat) dulu sama dengan Enang-Enang sekarang” ungkapnya dengan suaranya yang khas sambil tersenyum. “Dulu, kakek saya pernah berfoto di situ—Enang-Enang. Dan, saya lihat tidak ada yang berubah. “Ini kan luar biasa,” ujarnya bersemangat.
Lebih dari itu, Fikar dalam catatan jurnalistiknya tersebut, akan mencoba menguak makna-makna tempat yang dilalui. Termasuk, nama-nama tempat yang sudah jarang dipakai saat sekarang, seperti gurilen, tenge besi, dan lain-lain. Dengan demikian, apa yang dilakukan Fikar, turut menggambarkan sejarah, sosiologi, antropologi, dan bahasa Gayo serta situasi ekologis tempat yang dilaluinya.
“Barangkali, untuk saat ini, catatan ini kurang berguna. Namun, pada masa-masa mendatang akan memberikan manfaat tersendiri bagi generasi muda Gayo selanjutnya. Apalagi, ada yang melakukan hal yang sama—membandingkan masa mereka dengan sekarang. Seperti halnya fotret kaji banding catatan saya dengan Snouck. Pastinya, akan lebih menarik lagi” katanya (al-Gayoni)