Oleh : Luqman Hakim Gayo*
“Maafkan saya. Saya ingin menerbangkan Anda dengan pesawat kelas I dan akomodasi di Hotel Bintang Lima. Tapi, maaf, kami tidak mampu sekarang. Negeri kami sedang babak belur,” kata Dr Sa’adoon, ketika saya minta visa di kantornya. Dubes Irak untuk Indonesia itu beberapa kali menepuk bahu saya. “Tapi singgahlah di Kedutaan kami di Jordania”, katanya.
Isu tentang remuk redamnya Irak sudah kita dengar. Bush lebih sadis dari Saddam. Biang terror internasional itu telah meluluh-lantakkan Irak. Ia telah menciptakan kehinaan dan kepapaan di bumi 1001 malam tersebut. Kemiskinan dan kelaparan di mana-mana. Janda dan yatim bertebaran di pelosok negeri. Keindahan dan kecantikan Irak sudah buram. The Hanging Garden, satu dari tujuh keajaiban dunia di Provinsi Babylonia, ikut berantakan. Lebih sadis lagi, ia telah menghancurkan ekonomi Irak. Mata uang Irak melorot, jauh berbanding terbalik dari sebelumnya. Kalau dulunya 1 Dinar Irak sama dengan 3 Dollar AS, kini berbalik jauh menjadi 1 Dollar AS 10 Dinar Irak.
Sesadis-sadisnya Saddam Husein, mantan Presiden Irak itu, dia tidak pernah menciptakan kemiskinan, tetapi selalu berupaya memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Ekonomi Irak tetap bertahan meski embargo ekonomi sudah berjalan beberapa tahun. Di sisi lain, rekening simpanan Irak di luar negeri tak satupun atas nama Saddam Husein. Semua atas nama Negara dan Rakyat Irak. Tetapi, George W Bush telah mengirim Saddam ke tiang gantungan.
Saran Dubes Irak untuk Indonesia Dr Sa’adoon saya ikuti. Saya singgah ke Kedubes Irak di Amman, Jordania. Mereka menyambut baik sambil mengucapkan “Selamat Datang” yang penuh persahabatan. Saya bertemu dengan seorang wartawan Antara dari Jakarta dan seorang lagi dari Semarang. Kedutaan Irak di Amman menyediakan kenderaan nyaman dan sejuk untuk membawa kami ke Baghdad.
“Anda akan menempuh perjalanan sepanjang 800 kilometer di gurun pasir. Tetapi, insya Allah aman-aman saja,” kata Dubes Irak di Amman. Pukul 14.00 Waktu Amman, kami mulai bergerak. Angin gurun menyapu pasir dan menerbangkan debu yang mengabuti perjalanan. Kami berhenti sebentar di tempat shalat, kemudian melanjutkan perjalanan lagi.
Seperti juga pemberhentian bis-bis malam di Jawa, rata-rata dengan rumah makan yang jorok. Demikian juga di perjalanan ini. Maklum, restorannya gelap dan dikelilingi gurun pasir. Meja-meja kotor karena pelayan yang lamban. Kamar mandi bau pesing dan lalat beterbangan. Penerangan hanya dengan beberapa lilin. Di luar restoran, gelap dan dingin. Rasanya mendingan dalam mobil, hangat.
Di perbatasan, ada kantor Imigrasi. Di depannya, ada tugu besar dan tergantung sebuah baliho besar gambar Presiden Irak, Saddam Husein. Kami dijemput oleh petugas imigrasi. Tidak perlu harus antri seperti penumpang bis angkutan umum, yang berdesakan di loket, sambil memegang pasport masing-masing. Kami dibawa ke ruang tamu khusus, petugas memeriksa passport untuk melihat visa kami. Kami menikmati minuman hangat, sementara diluar ibu-ibu antri kedinginan menyelesaikan administrasi mereka.
Azan shubuh bersahut-sahutan. Ketika itulah kami memasuki kota Baghdad. Inilah kota yang pernah menjadi Pusat Peradaban Dunia di Babylonia. Langsung menuju hotel Al-Mansyoor. .Memasuki kamar hotel, sangat menyedihkan. Semua serba berdebu, bahkan sarang labah-labah mengukir dinding dan jendela kamar. Pasti, sudah berbulan dan mungkin bertahun hotel ini tidak didatangi tamu. Benar, sejak embargo ekonomi diberlakukan, Irak sepi dari wisatawan asing. Hotel-hotel bangkrut. Tapi ada satu yang terkesan. Disini, tidak ada nama hotel yang nyeleneh, rata-rata dengan nama pahlawan pendiri kota Baghdad.
“Ya, Habib. Sarapan pagi Anda sudah tersedia di lantai satu,” kata telepon resepsionist. Bersahabat dan ramah. Ternyata, panggilan ‘habib’ sangat populer dan merupakan sapaan kehormatan untuk pemanggil dan penerima telepon. Kemanapun kita menelpon di Bahdad, “Ya, Habib, selamat datang di Baghdad”, kata mereka. Datanglah ke Baghdad, angkat telepon. Habib, adalah kata sapaan pertama, mesra dan bersahabat sekali.
Kunjungan ke Irak, sebenarnya melihat referendum yang digelar oleh pemerintahan Saddam Husein. Untuk membuktikan kepada dunia luar, bahwa secara demokratis rakyat Irak masih menghendaki Saddam yang mencintai rakyat Irak itu. Dari lembaran jawaban terbaca, peserta referendum hanya memilih diantara dua kotak. Na’am dan La. Ya atau tidak. Ternyata, lebih dari 90 persen penduduk Irak masih menghendaki Saddam.
Seperti juga di Indonesia. Kunjungan pejabat ke daerah-daerah selalu dibesar-besarkan sekedar mengambil hati. Begitulah yang terlihat. Semua mengelu-elukan Saddam, padahal yang berkunjung itu kungkin hanya pegawai kecilnya. Ada pemuda yang menorah lengannya dengan ujung pisau bertulisan arab, Saddam Husein. Merindinga melihatnya, karena darahnya baru saja kering.
Tetapi dibalik itu, ada beberapa anggota masyarakat, yang seakan berbisik bahwa ia tak suka dengan Saddam. Tetapi tidak pernah berani mengeluarkan kritik, karena takut hukuman yang akan menimpanya. Protes atas kebijakan diktator itu tak pernah bias mencuat ke permukaan. Karena semua hanya penjadi penjilat dan mementingkan diri sendiri. Tapui, siapa yang berani terang-terangan menyuarakan hal itu?
Janji bertemu Saddam
Suatu pagi, pemberitahuan kepada kami, bahwa Presiden Saddam siap menerima pada pukul 16.00 di Aula Departemen Penerangan. Tidak jauh dari Hotel Al-Mansyoor. Nanti akan dijemput.Waah, kesempatan emas. Siapkan pertanyaan tertulis dan pakaian lengkap. Jauh sebelum waktunya, saya sudah bersiap-siap. Beberapa wartawan sudah bergegas, bahkan sudah mendahului ke Departemen Penerangan sambil mengambil ID Card. Tempat pertemuan sudah ditata sedemikian rupa. Petugas keamanan sudah berkeliaran. Semua bergairah, ingin bersalaman dengan Saddam Husein, penguasa Irak. Namun, sayang. Sampai menjelang maghrib sang Presiden tidak juga datang.
Kami pulang dengan kecewa. Tapi, baru saja merebahkan badan di tempat tidur, petugas dari Departemen Penerangan datang lagi memberi kabar. Nanti pukul 22.00 Presiden Irak bersedia di wawancara..Kali ini pasti jadi. Kami berangkat lagi. Angin malam dan hawa dingin menyerang Baghdad, termasuk dalam ruang pertemuan itu. Kali ini, ruangan sempit itu dijejali puluhan wartawan. Ketika itulah, pengumuman lagi. Presiden Irak tidak jadi menemui, nanti akan ada pemberitahuan lagi. Huuuuh, suara wartawan. Balik lagi ke hotel.
Pertemuan dengan Dubes RI sangat mengesankan. Menurut pak Dubes, kalau saja tidak kena embargo ekonomi, jalan yang menghubungkan Baghdad dengan Amman sepanjang 800 kilometer akan dipagar dengan emas oleh Saddam Husein. Dan, itu bukan tidak mungkin mengingat kekayaan Irak masih tersimpan. Saddam Hospital berlantai enam, mewah dan gratis. Rumah Sakit anak termegah di Baghdad. Tapi, akhirnya berantakan. Begitu juga dengan rencana pagar emas itu, akhirnya tidak terlaksana.
Ketika kami berkunjung ke Saddam Hospital esoknya, memang menyedihkan. “Akibat embargo”, kata para dokter. Lift sudah tidak jalan, terpaksa melalui tangga. Di bidang pelayanan medis, obat-obatan sudah tidak memenuhi standard.Bahkan, para dokter banyak yang mengundurkan diri dan lari ke luar negeri. Sayang, Rumah Sakit termewah itu sedang menunggu kehancurannya.
Kali ini, kami dijamu makan siang oleh Gubernur Karbala. Disana masih berdiri megah Masjid Imam Husein, cucu Rasulullah SAW. Kami dibawa masuk melihat-lihat ornament dan keindahan di dalamnya. Di bawah kubah emas itu, bersemayam makamnya Imam Husein. Lalu diberi pagar dan wewangian. Para pengunjung masjid berkeliling makam itu, usai melakukan shalat sunnat. Jemaah mulai berdatangan, untuk do’a bersama di malam Jum’at. Mereka mengenakan jubah berwarna hitam. Begitu juga muslimatnya, bercadar hitam. Sejak Kamis siang masjid itu sudah penuh sesak, sampai esok hari Jum’at.
Kami dibawa ke Provinsi Babylonia. Sayang, The Hanging Garden alias Taman Bergantung itu sudah tinggal puing-puingnya.. Yang tersisa adalah sebuah museum dengan benda-bendanya yang berantakan. Disanalah kami dijamu untuk makan siang. Gubernur Karbala dan Stafnya tidak berbicara banyak. Mereka mempersilahkan kami melihat sendiri, bagaimana kondisi kecantikan Taman itu sekarang. Hanya tinggal kenangan. Bukan hanya taman itu, banyak peninggalan sejarah kejayaan masa lalu, ikut dihancurkan oleh Amerika dan sekutunya. .
Bukan hanya Taman Bergantung itu, tetapi hampir semua lambang peradaban masa lalu kini tinggal catatan tinta emas dalam sejarah dunia. Gemerlap kekayaan dan kejayaan Khilafah Utsmaniyah, tinggal bekas. Bahkan menjadi saksi bisu bagi generasi Islam yang akan datang. Bahwa di Baghdad pernah menjulang mercusuar Islam dibawah Khilafah Utsmaniyah, yang memancar sampai ke seluruh daratan Eropah. Negeri 1001 malam, Negeri Abu Nawas, hanya itu yang tersisa.
Terbakar dalam bunker. .
Suatu pagi kami dibawa berkeliling, mengitari dataran luas seputar Baghdad. Dengan sebuah taksi, kami dibawa melihat-lihat bunker. Yaitu sebuah bangunan di bawah pasir dengan ukuran 50 x 50 meterpersegi. Ketinggian sekitar dua meter. Diatasnya ditutup dengan gundukan pasir dan rumput ilalang. Siapapun yang melintasi kawasan itu, tidak pernah akan menduga dibawah gundukan rumput ilalang, ada sebuah ruangan mewah.
Pembangunan puluhan bunker yang berserakan di sejumlah lokasi pernah menghebohkan pers asing. Bahkan, mereka menyebarkan berita fitnah, bahwa Saddam Husein membangun ratusan istana mewah di Baghdad dan sekitarnya. Sebenarnya Saddam sedang membangun bunker untuk menyelamatkan rakyatnya sendiri dari serangan Amerika Serikat. Presiden Irak itu sudah bersiap-siap, bahwa perang pasti akan terjadi.
Satu diantaranya adalah di kawasan Armiyya. Tidak berapa jauh dari jalan raya. Kami melalui semak-semak menghampiri gundukan pasir itu. Rumput ilalang diatasnya sudah mengering bekas terbakar, beberapa tulang besi mencuat. Lalu ada lubang besar menganga bekas ledakan bom. Tiang cor ikut menganga dan serpihan perabot rumah tangga masih berserakan. Sebuah pos jaga dekat gundukan itu, ditunggu oleh seorang ibu. Dalam pos terdapat tungku dengan arangnya tanpa api, piring dan gelas kotor dan sebuah buku absen.
Setelah kami bersalaman, si ibu mengantarkan kami turun ke bawah, ke dalam bunker. Pintu bunker ini terdiri dari cor beton bertulang dengan ketebalan 15 centimeter. Dibuat peka asap, artinya, kalau ada asap mengepul ia akan terbuka atau tertutup secara otomatis. Didalamnya tersedia lemari pendingin, pesawat televisi, serta persediaan makanan untuk sebulan penuh bagi penghuninya. “Kalau perang pecah, kaum ibu dan anak-anak tak perlu keluar selama sebulan penuh, makanan tersedia sementara kaum bapak sedang bertempur”, katanya.
Di bagian lain yang kami saksikan adalah rongsokan bekas terbakar. Lemari pendingin sudah jadi arang, begitu juga pesawat televisi. Bahkan yang sangat menyedihkan adalah ratusan foto-foto dipajang di dinding bunker yang gosong itu. “Ratusan anak-anak dan kaum ibu mati syahid kena bom di pagi buta,” kata si ibu. Untuk mengenang mereka, foto itu dipajang di dinding bunker. Sekaligus memberitahukan kepada dunia, betapa kejamnya Amerika dan sekurunya. “Anak saya tujuh orang diantara yang korban itu”, tambah si Ibu sambil menyeka mata.
Menurut ceritanya, pagi-pagi buta usai salat subuh. Kaum bapak sudah keluar bunker untuk mencari makan seperti biasa. Sebagian kaum ibu mencuci di luar bunker, bahkan ada yang ke kota bekerja. Ketika itulah pesawat mengaum rendah. Tiba-tiba bom berjatuhan seperti hujan. Pintu bunker yang tadi terbuka tiba-tiba tertutup kena asap. Pesawat itu kembali mengaum rendah dan menjatuhkan bom lagi. Menembus atap bunker dan membakar seluruh isinya. Ratusan penghuni bunker menjadi arang.
Kami terharu mendengar ceritanya. Lalu mengisi absen di buku tamu. Saya merogoh kantong mencari-cari sesuatu untuk disumbangkan kepada si Ibu. Tetapi dengan halus dan senyum sayu ia menolak. “Jangan, saya masih bisa mencari makan. Simpan saja untuk biaya perjalanan Anda,” katanya lembut. Oh, ibu yang kehilangan anak. Ia masih bertahan di gundukan pasir yang menganga itu. Tidur di pos jaga, memasak dan makan sendiri. Tanpa mengharapkan bantuan siapapun.
Kami tinggalkan bunker yang menyimpan seribu duka itu, kembali ke Baghdad. Di kota Baghdad sendiri ada-ada saja ulah para penduduk, untuk mengeruk uang dari pendatang. Mereka berlagak menjadi guide yang siap mengantar kemana kita mau, dengan mobil bututnya. Tanpa segan-segan meminta tarif yang selangit. Itu kami alami, ketika kami minta ke pusat pasar, atau down townnya Baghdad. Ia berbisik, “hanya 30 dollar saja”, katanya.
Ya, Tuhan, kami terjebak. Mobil butut yang membawa kami, hanya menyeberangi jembatan Tigris, melewati Masjid Sulthan Abdul Qadir Jaelani, sampai di pusat pasar. Disini, barang baru dan barang bekas menjadi satu. Barang bagus dijual oleh pemiliknya karena kehabisan bekal hidup, setelah terjepit kesulitan ekonomi selama ini. Saya tertarik dengan tustel yang komplit berikut telezoomnya hanya 100 dollar ketika itu.Emas Irak murni, hanya 10 dollar per-gram. Tapi, mengingat sulitnya di perjalanan, kami urung berbelanja. Keesokan harinya kami hanya berjalan kaki dalam waktu tak sampai 10 menit. Jalan ini yang kami bayar 30 dollar kemarin. Ya Tuhan.
Sungai Tigris
Suatu malam kami menelusuri Sungai Tigris yang membelah Baghdad. Airnya beriak, memecah pantulan cahaya bulan. Indah sekali. Tidak ada lagi hiburan warga Baghdad selain dari hilir mudik menelusuri air sungai itu di waktu malam. Sejuk bermandikan cahaya bulan dibawah elusan angin sepoi-sepoi. Sebuah kapal wisata berlantai dua akan membawa pelancong sampai batas tertentu di muara. Kemudian kembali ke Pelabuhan dalam waktu sekitar 60 menit..
Bagi penduduk Baghdad, naik kapal warna-warni itu bukan sekedar melancong. Tetapi, mengadakan pesta perkawinan atau perjamuan khusus, mereka memilih di Sungai Tigris. Hotel terlalu mahal dan sudah lama ditinggalkan, khususnya untuk kegiatan pesta-pesta. Bagi pemilik kapal sendiri, bukan lagi sebagai usaha sampingan. Tapi itulah yang menjadi tulang punggung untuk mempertahankan hidup di Bangdad belakangan ini. Karena itu, setiap kapal dihias dengan lampu kelap-kelip berwarna-warni dan sudah berubah menjadi restoran berjalan. Dilengkapi dengan persediaan makanan dan minuman sesuai pesanan para pelanggan.
Ketika kami membeli tiket untuk menelusuri sungai itu, kami memilih duduk di lantai dua. Merasakan gemulainya lambaian angin malam. “Anda beruntung. Tidak usah beli makanan, sebab mala mini akan ada pesta perkawinan”, kata awak kapal itu. Rupanya sudah menjadi tradisi, penyelenggara pesta akan menjamu semua penumpang kapal wisata tersebut. Dan benar. Setelah kapal berjalan perlahan, lantai satu sudah ramai. Para penumpang berpakaian tradisional Irak, lengkap dengan pemain musik.
Sedang asyik-asyiknya menikmati cahaya bulan, seorang panitia naik ke lantai dua. Mereka mengharapkan kami turun dan menikmati makanan pesta pernikahan itu. Dengan pura-pura kami menolak, tapi turun juga akhirnya. Mereka menggiring saya untuk mengambil makanan. Musik mulai bergema. Dalam lingkaran pemuda, beberapa diantara mereka berjingkrak-jingkrak memutar. Itulah tarian tradisi Irak.
“Shahafi, shahafi min Indonesia”, pembawa acara berteriak-teriak. Lalu semua mata para tamu mengarah ke saya. Ya, Allah, saya lupa, ID Card bertulisan shahafi masih nempel di dada saya. .Lalu ada yang membisikkan ke telinga. “Join di dalam lingkaran, ikut menari”, katanya. Saya hanya melambaikan tangan sambil ketawa ngakak. Saya tidak bisa menari jingkrak-jingkrak seperti itu. Maaf, kata saya. Tidak pandai menari. Lalu sambil menyibukkan diri melahap makanan khas Irak.
Ada satu lagi yang menarik. Di sisi sungai Tigris ada jalan memanjang, namanya Jalan Abu Nawas. Sejumlah restoran ikan bakar berjajar. Rupanya, masih ada warga Baghdad yang bisa menikmati ikan bakar, menghabiskan sisa kekayaan mereka meski sebagian besar dihancurkan oleh kejamnya perang. Sebagian besar pedagang ikan bakar berasal dari desa, karena sulitnya mencari kerja yang layak. Bagi yang punya modal, mereka membuka restoran. Bagi yang tidak bermodal, mereka menjadi pengusaha kayu bakar, bahkan mencari ikan dan menjualnya ke restoran-restoran itu.
Kami mencoba menikmatinya. Lalu masuk ke sebuah restoran dan memesan ikan bakar. Harus dibayar tunai. Kalau memakai nasi, maka dipesan ke pemilik nasi, juga dibayar tunai. Lalu duduk menunggu ikan bakar itu matang dan disajikan sampai ke meja. Kami menikmatinya dengan lahap. Ikan bakar, sambal khas dan nasi putih. Cukup mengenyangkan. Usai makan, kami segera keluar. Ketika itulah kami dikejar seseorang. “Saya belum dibayar, pak. Saya pemilik kayu bakar. Saya juga belum, saya tukang kipas, pak”, kata mereka berdua. Masya Allah, begitu rupanya.
Itulah kenangan terakhir saya di Bahgdad. Selepas itu, kami bersiap-siap kembali ke Tanah Air. Seperti kedatangan kami, kali ini juga dengan bis malam menempuh 800 km gurun pasir yang yang dingin oleh angin gurun. Tetapi kali ini kami dijamu lebih ramah oleh petugas imigrasi Irak di tengah gurun itu. Selain teh hangat, juga beberapa cindera mata. Bahkan barang yang dijual, untuk kami dengan harga yang sangat rendah. Saya mengambil sebuah jas wool asli Irak untuk kenang-kenangan.
Setibanya di Amman, kami tidak terus pulang ke Jakarta. Rekan-rekan dari PPI sudah menyiapkan nasi asli Indonesia di asrama. Bahkan dengan sambil dan sayuran khas. Tidak disangka sama sekali, begitu besar penghormatan kami. Puas rasanya menikmat makan gaya Indonesia itu di asrama PPI. Saya dengan rekan dari Antara, masih menyempatkan diri melihat Balad alias downtown, berkeliling sekedarnya.
Malam harinya, sejumlah teman PPI dan staf dari KBRI mengantar kami ke Queen Alya Airport dan terbang ke Indonesia. Selamat Tinggal Amman, Selamat Tinggal rekan-rekan PPI. Entah kapan berjumpa kembali. Asyik juga jadi wartawan, ya…
—-
*Wartawan asal Gayo, tinggal di Jakarta