Rasa Ke-Gayo-an dalam Dunia Akademik

Oleh Drs. Jamhuri, MA*

Sering orang Lain selain dari orang Gayo mengatakan, bahwa orang Gayo ketika bertemu sesama mereka langsung berbahasa Gayo dengan tidak memperdulikan orang lain. Terkadang anggapan ini salah, karena sebagian dari orang Gayo sagat risih ketika bahasa Gayo bercampur dengan bahasa lain. Namun juga terkadang ungkapan ini menjadi benar, karena rasa pertemanan dan persaudaraan terasa hambar ketika sesama orang Gayo tidak berbahasa Gayo.

Sebuah pengalaman kami turunkan dalam tulisan ini dengan menggunakan bahasa Indonesia, karena ada juga yang mengatakan bahwa membaca tulisan berbahasa Gayo bagi Gayo juga melelahkan apalagi oleh mereka yang bukan berbahasa Gayo.

Keseharian dalam pergaulan selalu menggunakan bahasa Gayo, terkadang juga dalam diskusi yang tidak formal. Sekali pada hari Jum’at pagi (19/11/11) mengikuti kuliah dengan Prof. Dr. Al Yasa Abubakar, MA Direktur Pascasarjana IAIN Ar-Raniry yang juga orang Gayo, kami mahasiswa yang ikut kuliah seharusnya tiga orang, namun salah seorangnya sedang menunaikan ibadah haji, seorang lagi tidak ada berita dan tidak diketahui apa alasan sehingga ia tidak hadir, akhirnya yang hadir saya sendiri. Dalam benak saya langsung terpikir apakah bapak pengasuh bidang studi “Fiqh al-Qanuni” masuk atau tidak, atau juga sebaiknya saya katakan tidak usah masuk, karena kawan-kawan tidak hadir.

Tepat pada jam 8.30 WIB beliau keluar dari ruangan kantornya dan langsung menuju ruang kuliah, sambil mengucapkan salam, lalu saya jawab salamnya dan saya menyambung dengan kata-kata kawan-kawan belum hadir. Sudah menjadi kebiasaan begitu kami bertemu, kami langsung berbahasa Gayo, karena memang kami berdua ketika bertemu tidak pandai berbahasa Indonesia kecuali ada orang lain (yang bukan orang Gayo).

Tidak lama setelah menunggu kawan yang tidak ada informasi kehadirannya kami memulai kuliah, saya terpikir lagi bahasa apa yang digunakan dalam kuliah ini. Ternyata betul Bapak Al Yasa tidak bisa berbahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan saya, demikian juga sebaliknya saya dengan beliau, kami berdiskusi selama 2,5 jam (150 menit) dengan pembahasan otonomi khusus dalam Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, sambil melihat bentuk pelaksanaannya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Dari kuliah berbahasa Gayo inilah saya tahu, bagaimana logisnya sistematikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, dan bagaimana kami tidak bisa mengetahui urutan logika sistematikan dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Mungkin saja apabila penyusunan Undang-Undang yang disusun dengan menggunakan prosedur legal drafting akan dapat dipertanggung jawabkan runtut logikanya, dan Undang-Undang yang tidak melalui prosedur akan sulit menemukan runtut logikanya, paling kurang bagi orang-orang yang tidak ikut membuatnya.

Diskusi kami selama dua jam setengah tersebut tidak hanya berbicara tentang sistematika dari UUPA, tetapi juga kewenangan pembuatan Qanun Syari’at Islam di Aceh. Karena selama ini di kalangan akademisi dan  birokrasi selalu berucap bahwa dalam rangka pembuatan Qanun di Aceh bisa bebas karena keistimewaannya. Sedangkan dalam ilmu hukum Indonesia disebutkan bahwa undang-undang atau peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi, kecuali diatur pengecualiannya oleh Undang-Undang keistimewaan.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang  Pemerintahan Daerah Pasal 10 ayat (3) disebutkan : urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  meliputi :

  1. politik luar negeri;
  2. pertahanan;
  3. keamanan;
  4. tustisi;
  5. moneter dan fiscal nasional, dan
  6. agama

Dalam undang-undang ini disebutkan selain dari enam hal tersebut menjadi wewenang Pemerintah Daerah dan itulah yang disebut dengan otonomi daerah, lalu kewenangan yang enam ini juga bisa menjadi kewenangan Pemerintah Daerah yaitu dengan Undang-Undang Otonomi Khusus, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 untuk Aceh.

Lalu melalui diskusi ini juga kami menemukan bahwa Hakim Mahkamah Syar’iyah dalam menetapkan hukum bisa berijtihad dengan tidak perlu berpegang kepada undang-undang, seperti disebutkan dalam UUPA Pasal  128 ayat (3) Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam.

Di pasal 235 ayat (3) dan ayat (4) disebutkan bahwa : (3) Qanun dapat diuji oleh Mahkamah Agung sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dan (4) Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengatur tentang pelaksanaan syari’at Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh Mahkamah Agung.

Sedangkan untuk qanun-qanun yang lain disebutkan pada ayat (2) nya : Pemerintah dapat membatalkan qanun yang bertentangan dengan :

a. kepentingan umum;

b. antarqanun; dan

c. peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kecuali diatur lain dalam Undang-Undang ini.

Artinya untuk Qanun-Qanun selain Syari’at Islam pemerintah dapat membatalkan dengan tiga pertimbangan seperti yang telah disebutkan, sedangkan untuk qanun Syari’at Islam tidak boleh.

Itulah sebagian dari hasil diskusi kami dalam ruang kuliah dengan menggunakan bahasa Gayo.



[*] Mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Fiqh Modern IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.