Oleh. Drs. Jamhuri, MA*
IJTIHAD adalah upaya seseorang yang mempunyai otoritas untuk memahami al-Qurâan dalam rangka mengeluarkan hukum tentang amal perbuatan manusia. Hukum yang dikeluarkan dari Al-Qurâan tersebut ada dua, pertama hukum taklifi dan kedua hukum wadhâi. Hukum taklifi mencakup wajib, sunat, mubah, makruh dan haram, sedang hukum wadhâi meliputi sebab, syarat, maniâ, azimah, rukhshah, shah dan bathil.
Pertanyaan yang selalu muncul dari pembahasan tentang ijtihad adalah siapa yang mempunyai otoritas untuk berijtihad, apakah hanya ulama secara individu, kelompok atau juga lembaga Negara ?
Kalau kita melihat pertanggungjawaban manusia di sisi Tuhan di akhirat kelak, maka kita harus katakan bahwa setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban amal perbuatannya secara individu diakhirat kelak, pada saat itu tidak ada yang namanya pertolongan, baik dari keluarga terdekat apalagi dari keluarga jauh, setiap orang hanya memetika buah amal yang ia tanam di dunia.  Ada Sebagian orang yang berpendapat bahwa kabaikan Allah melalui rahmat-Nya dan kesetiaan Nabi Muhammad melalui syafaâatnya akan diberikan ketika seseorang menghadapi timbangan amal (mizan) di hari kiamat kelak. Namun ungkapan seperti ini menurut sebagian ulama akan sebenarnya akan menjadikan seseorang tidak maksimal dalam berbuat di dunia ini, karena mereka selalu berharap pada rahmat  dan syafaat yang lebih banyak disbanding dengan amal yang mereka kerjakan.
Di samping kewajiban individu dalam melakukan ijtihad sebagai pertanggungjawaban di akhirat kelak, otoritas ijtihad juga berada pada kelompok atau organisasi tertentu. Otoritas kelompok atau organisasi ini merupakan tuntutan kemajuan dan perkembangan zaman, di mana pada masa permulaan Islam bentuk amal dan perbuatan manusia sangat ditentukan oleh kesalehan individu masing-masing. Hal seperti ini berlangsung  sampai terbentuknya negara-negara di dunia dan semua orang tidak bisa lagi hidup tanpa adanya negara.
Kebutuhan masyarakat terhadap hasil ijtihad pada masa awal masih bisa dijawab oleh mujtahid secara individual, dan pada masa ini kita masih mendengar bahwa seorang mujtahid adalah orang yang mempunyai kemampuan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebagai contoh bisa kita lihat bahwa kitab-kitab yang ditulis oleh ulama (fuqaha) mencakup segala aktivitas manusia, mulai dari hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan hubungan manusia dengan manusia lainnya serta hubungan manusia dengan alam lingkungannya.
Fuqaha dalam kitab-kitabnya membahas tentang usia seseorang yang boleh melangsungkan pernikahan, membahas tentang batasan minimal dan maksimal masa seorang wanita berada dalam keadaan suci dan tidak suci, berapa lama anak dalam kandungan orang tuanya. Mereka juga membahas tentang ilmu astronomi, botani, zoology dan berbagai ilmu lainnya.
Pada masa sekarang ini banyak orang beranggapan bahwa tidak ada lagi ulama yang mempunyai caliber seperti ulama terdahulu, tidak ada lagi orang yang serba bisa dan mampu memjawab semua persolan yang muncul. Anggapan seperti ini tidaklah benar, karena tuntutan zaman dan kebutuhan masa, maka tidak lagi memadai dengan jawaban yang beradasarkan  kemampuan yang menyeluruh tetapi tidak mendalam (spesifik).
Untuk itu tidak memadai lagi kemampuan indivudu untuk menjawab segala permasalahan yang ada, dan memerlukan kemampuan beberapa orang untuk menguasai satu displin ilmu, serta semakin banyak orang yang dibutuhkan untuk menguasai berbagai bidang dan disiplin ilmu, ditambah lagi dengan komplitnya permasalahan yang muncul pada saat sekarang ini. Karena itu solusi ijtihad kelompok dan organisasi sangat dibutuhkan guna menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Ketika mujtahid kelompok atau organisasi merupakan keniscayaan, dikalangan pemikir muslim modern masih menyisakan pertanyaan yang memerlukan jawaban. Yaitu tantang kelompok dan organisasi mana yang mempunyai otoritas berijtihad dan apakah hasil dari ijtihad mereka mengikat semua pihak. Untuk ini beberapa pemikir muslim modern, seperti Muhammad Syahrur dan Abou el Fadl berkecendrungan bahwa kelompok dan organisasi yang dimaksudkan adalah lembaga Negara. Lebih jauh lagi dengan menyebut lembaga legislatif atau hakim yang mempunyai otoritas melahirkan Perundang-undangan dalam sebuah Negara.
Namun ketika legislative dan hakim berkedudukan sebagai mujtahid dalam sebuah Negara, maka mereka harus berupaya untuk melahirkan satu kebenaran perundangan-undangan yang mengikat semua orang. Tetapi secara teoritis hal demikian sangat sulit diwujudkan, karena mereka yang duduk di lembaga legislative berasal dari berbagai golongan dan aliran sehingga sangat sangat tidak mungki melahirkan satu kebenaran yang disepakati.
Pengalaman ini terbukti ketika pembuatan Undang-Undang atau juga Peraturan Daerah, apabila diserahkan kepada sekelompok orang secara beramai-ramai, maka pekerjaan itu tidak pernah selesai. Karena itu harus ada satu orang ulama/pakar/ahli hukum yang menyusunnya, dan selanjutnya pendapat dan hasil kodipikasi tersebut disosialisakan dan didiskusikan kepada orang banyak, dengan harapan semua orang dapat mengetahui dan memahaminya.
Dari bahasan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa yang mempunyai otoritas berijtihad adalah setiap orang secara individu sesuai dengan kemampuan, selanjutnya kelompok atau organisasi yang memiliki anggota dari berbagai displin ilmu, kemudian karena lembaga legislative dan hakim adalah lembaga Negara  pembuat Undang-undang maka kerena fungsinya tersebut diakui sebagai mujtahid.