Oleh : Luqman Hakim Gayo
ALHAMDULILLAH, betapa syukur saya kepada Allah swt. Kali ini saya benar-benar akan terbang ke Eropah. Tepatnya Jerman. Saya akan urus sendiri perlengkapan dan keperluan surat-surat. Pertama-tama, setelah membeli tiket lalu mengambil visa. Untuk memperoleh visa memang harus melampirkan tiket, membuktikan kita benar-benar berangkat ke negara itu.
Ketika itu, 1992, mengambil visa ke Jerman masih di belakang Wisma Nusantara. Saya mengisi formulir sendiri dan mengabaikan seseorang yang mencoba membantu. Saya tahu, ujung-ujungnya ia akan minta uang. Tidak repot-repot. Hanya beberapa menit, ke loket dan bayar beberapa dolar. Ia berjanji akan selesai esok hari, setelah melihat tanggal pemberangkatan saya.
Sekitar pukul 8.00 waktu Frankfurt saya tiba di pelabuhan udara tersibuk di dunia, lebih dari 1000 penerbangan setiap hari. Bukan hanya pesawatnya orang Jerman, tetapi pesawat asing juga hilir mudik di bandara ini. Sebagian besar para penumpang transit, dari Frankfurt meneruskan ke kota lain. Saya sendiri kemudian beberapa kali meneruskan perjalanan. Seperti ke Zagreb, ibu kota Croasia yang cantik dan menawan, serta ke Stockholm ibukota Swedia.
Suatu waktu saya tiba di Frankfurt pukul dua siang. Saya butuh waktu istirahat di kota ini. Alhamdulillah, ternyata membeli tiket hotel di bandara lebih murah dari pada membayar di
hotelnya sendiri. Saya beli tiket hotel Cristall untuk dua malam 180 DM. Hotel kecil milik imigran Turki ini tidak jauh dari pusat stasiun KA-nya Jerman atau Frankfurter Hauptbahnhof.
Ketika sampai di hotel Cristall, saya mau booking untuk dua malam, seorang pegawainya berkebangsaan Jepang Muslim mengatakan 200 DM. Ternyata, lebih mahal di hotelnya sendiri dibanding di bandara. Begitu saya tunjukkan tiket, ”Oh, beli di bandara, ya. Sama saja, silahkan”, katanya ramah. Dia langsung memberi kunci dan menunjukkan arah kamar saya.
Yang menarik, di hotel ini hanya seorang petugas hotel. Dia merangkap recepsinois, room boy, manager dan semuanya, yaitu si Jepang Muslim itu. Kilat jidatnya semakin jelas, kaca mata tergantung di atas hidung. Agak sedikit membungkuk dia tersenyum dan dengan faseh mengeja nama saya. ”L………”, katanya melagukan ejaan nama saya seperti anak-anak SD menghafal puisi. Saya tertawa dan menjabat tangannya mesra. Hampir setiap pagi menemani saya sarapan di minibarnya itu.
Keliling Frankfurt
Beruntung, pada sore harinya selusin remaja Jepang ngantri di resepsionis. Berhasil juga kampanye si Jepang Muslim itu mengundang bangsanya, untuk berwisata liburan ke Frankfurt. Rata-rata pelajar SLTA dari Tokyo, pemuda dan pemudi. Pagi-paginya kami saling bertegur sapa karena sama-sama dari Asia. Bahkan si Bapak resepsionis itu yang duluan menyebut nama saya, lalu bersalaman dengan remaja-remaja Jepang itu. Akhirnya, alhamdulillah, saya ikut rombongan mereka.
Keluar dari hotel Cristall kami menembus stasiun besar. Melihat-lihat sepanjang plaza, jajaran loket dan banyak pengumuman yang harus dipelajari. Kemudian menelusuri Jalan Muenchen, jajaran sexshop dan sejumlah bioskop porno, sampai memutar ke depan hotel Frankfurt. Berfoto ria di beberapa persimpangan jalan, di bawah patung dan di taman-taman kota bersama remaja-remaja nipon.
Menelusuri Sungai Rhyne adalah kenyamanan tersendiri. Dengan perahu mesin sepanjang batas tertentu di atas sungai yang airnya bening dan berwarna biru. Tidak kalah menariknya dengan ketika menelusuri sungai Efrat di Baghdad. Bedanya, disini hanya perahu mesin yang benar-benar berwisata. Bukan untuk pesta pernikahan. Hanya melihat bagian-bagian dari kota Frankfurt dari belakang.
Kemudian kami meneruskan perjalanan mengunjungi sejumlah gedung bersejarah. Gedung-gedung tua di kota ini sangat anggun, berkesan dan antik yang penuh sejarah. Seperti juga Museum Franktfurt, perpustakaan, dan sejumlah bangunan kuno. Yang menarik, di Fraankfurt ada apa yang disebut dengan Fair Ground. Dalam bahasa Jerman disebut dengan Frankfurt Messe, atau ruang pameran .
Frunkfurt Messe terdiri dari 8 Hall, untuk berbagai jenis pameran. Sudah terjadwal masing-masing kegiatan. Mulai dari pameran budaya sampai kepada otomotif. Itu sebabnya Frankfurt juga disebut dengan kota pameran. Dan, ini pula yang menarik sejumlah pengunjung dari berbagai penjuru dunia. Ketika itu lagi pameran buku internasional, sejumlah penerbit besar dari Indonesia ambil bagian dalam pameran ini.
Beli lauk-pauk
Ada yang baru saya temukan ketika suatu malam saya kesasar ke lantai bawah staiun pusat kereta api itu. Rupanya, disinilah pusat lauk pauk yang sudah matang. Mulai dari sayuran, ikan, daging bahkan jenis olah telor. Saya tertarik, begitu juga dengan remaja-remaja Jepang itu. Lalu kami saling berebut membeli sesuai dengan selera. Ah, serasa beli nasi Padang di Jakarta.
Sekali waktu saya dibuat gemetar. Dari lantai bawah stasiun ada jalan mendaki ke halaman plaza belakang. Di samping tangga itu, dua orang preman sedang menyandera anak-anak. Di suruh menghadap tembok dengan tangan ke atas. Lalu semua kantongnya di geledah, dompetnya di kuras habis oleh preman-preman itu. Kedua preman itu, satu menggeledah dan satunya memegang HT, yang selalu berhubungan dengan temannya di ujung jalan. Ada polisi atau tidak. Tetapi saya benar-benar gemetaran dibuatnya. Kapok jalan ke plaza belakang dari lantai bawah.
Mengambil visa ke negara lain, lebih gampang dari luar negeri. Saya menelpon perwakilan Swedia di Frankfurt, untuk mengetahui cara-cara pengurusan visa. Dengan penuh kelembutan ia menjawab, silahkan datang ambil formulir di kantornya. Saya datang dan mengambil formulir. Mengisinya lengkap dan membawa formulir itu ke Bonn. Kota dimana bercokol kedutaan besar negara-negara di dunia.
Pagi-pagi saya sudah di stasiun kereta api, beli tiket ke Bonn. Sekalian jalan-jalan. Bepergian antar kota dengan kereta api, ternyata harus dengan tiket PP. Kalau kita beli tiket oneway saja, harganya lebih mahal. Jarang sekali orang membeli untuk sekali jalan, kecuali saya. Kurang dari satu jam, saya sudah tiba di stasiun Bonn. Kereta melintasi bagian kota dan sejumlah pabrik alat berat, termasuk industri otomotif.
Semula ada niat untuk mencari KBRI, tetapi saya batalkan. Karena saya mengurus visa ke Swedia. Setelah bertanya kepada polisi, dengan sebuah taksi saya meluncur ke Kedutaan Swedia. Seorang wanita cantik pegawai Kedutaan itu terkejut melihat pasport saya ada stempel dari Zagreb. ”Bukankah disana sedang perang”, katanya.
”Tidak. Saya aman-aman saja,” kata saya sambil memandanginya di loket. Seorang rekannya tampak memberi penjelasan, bahwa Bosnia itu negara lain. Bukan Zagreb ibu kotanya, tetapi Sarajevo. Dan itu jauh dari Zageb. Lalu ia menatap saya, ”betul kan?”, katanya. Saya mengangguk membenarkan.
Dari Born kembali ke Frankfurt. Saya beres-beres, karena pagi-pagi saya harus ke bandara Frankfurt. Para remaja-remaji negeri Sakura sudah melihat gelagat. ”Mau pulang ke Indonesia, ya?” kata seorang remaji berbahasa Inggris dengan aksen Jepang yang lucu kedengarannya. ”Ya,” kata saya. ”Foto dulu, dong”, katanya. Sambil memangil teman-teman-temannya kami berfoto ria.
Pagi-pagi sebelum mereka bangun, saya sudah berangkat ke airport. Ada kenangan lain di bandara ini. Suatu siang, sejumlah calon penumpang hilir mudik di depan jajaran loket di lantai dua. Rupanya mereka beragama Islam sedang mencari mushalla. Dimana ada mushalla di bandara negeri Barat semacam ini. Tidak mungkin tersedia.
Akhirnya mereka menggelar koran di depan loket-loket itu. Dari ujung satu sampai ke ujung lain, membentuk jamaah shalat. Semua mata calon penumpang lain tertuju kepada mereka yang sedang shalat berjamaah itu. Ada kesan terkagum-kagum dengan gerakan rukuk dan sujud yang teratur dibawah satu komando. Sebagian terpaku di tempat berdirinya. Mungkin dalam hati berfikir, bahwa Islam itu bagus. Lalu saya mencari tempat wudhu dan ikut salat berjamaah dengan mereka.
Kali ini saya akan terbang ke Swedia. Ah, asyik juga jadi wartawan.
*Wartawan asal Gayo, tinggal di Jakarta