Catatan: Muhammad Syukri*
INDONESIA, salah satu negeri yang paling majemuk di dunia, baik dari keragaman budaya, bahasa sampai kepada tradisi. Kearifan lokal merupakan salah bentuk atau wujud kemajemukan yang sudah menjadi tradisi turun temurun. Nenek moyang dan para pendahulu kita sengaja mewariskan kearifan lokal kepada keturunannya dengan harapan supaya kita tetap bisa bertahan hidup.
Salah satu kearifan lokal yang masih terus digunakan masyarakat di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah dikenal dengan nama Peger Keben. Apabila diartikan secara harfiah, Peger Keben adalah pagar lumbung. Peger Keben merupakan sebuah konsep kearifan lokal dalam bidang ketahanan pangan yang terus dituturkan kepada setiap pasangan suami istri yang akan pindah rumah (jawe).
Konsep Peger Keben berangkat dari keterbatasan lahan pangan yang terdapat di wilayah Aceh Tengah. Topografi wilayah Aceh Tengah terdiri dari kawasan perbukitan dan pegunungan, sehingga untuk potensi areal tanaman pangan (sawah) sangat terbatas. Oleh karena itu, mayoritas (80,18%) penduduk Kabupaten Aceh Tengah bekerja disektor perkebunan.
Dengan kondisi alam yang demikian, sangat kecil peluang untuk membudidayakan tanaman pangan. Hasil panen padi dari areal sawah yang ada tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat sampai tiba masa panen berikutnya. Akibat kesulitan itu, lahirlah konsep Peger Keben (pagar lumbung) yang secara adat mewajibkan setiap kepala keluarga menanami halamannya dengan singkong, ketela, bentul, labu kuning, jagung, sayuran dan tanaman buah.
Indikasi konsep Peger Keben sudah lama berlangsung dapat dilihat dalam tulisan C. Snouck Hurgronje dalam buku Het Gajoland ez Zijne Bewoners (1903). Snouck mengungkapkan: “Sesudah lepas panen, sawah dibiarkan kosong sampai tiba waktu bertanam berikutnya. Sayuran, buah-buahan, dan sebagainya yang dibutuhkan untuk lauk, ditanam dikebun-kebun kecil di muka pekarangan rumah atau di ladang-ladang yang letaknya tidak jauh dari rumah.”
Dengan adanya tanaman yang masuk kategori Peger Keben tadi, maka penggunaan beras untuk konsumsi sehari-hari dapat diselingi dengan singkong, ketela, jagung, labu kuning atau bentul. Pada gilirannya, ketersediaan padi dalam lumbung dapat dihemat sampai tiba masa panen berikutnya. Bahkan karena adanya Peger Keben, mereka bisa menyisakan padi sebagai stok pangan mereka.
Apabila kita melihat rumah penduduk di pedesaan Aceh Tengah masih banyak yang konsisten menggunakan konsep kearifan lokal Peger Keben. Selain tanaman bunga dan tanaman buah, disekitar rumah mereka juga ditanami dengan bahan pangan sebagai upaya menghadapi terjadinya krisis pangan. Namun akhir-akhir ini banyak juga yang sudah melupakan atau meninggalkan kearifan lokal tersebut, terutama karena keterbatasan lahan di perkotaan dan makin mudah mendapatkan bahan pangan beras di pasaran.
Kita sepakat dengan penekankan Presiden SBY tentang pentingnya kolaborasi semua pihak baik pemerintah, swasta, peneliti, petani maupun pelaku industri pangan dalam memperkuat ketahanan pangan nasional (Kompas, 8/2). Namun lebih sepakat lagi jika pemerintah mewajibkan konsep kearifan lokal, misalnya semacam konsep Peger Keben tadi kepada seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, kita yang berada di negeri paling subur ini tidak pernah khawatir lagi terhadap krisis pangan dunia yang bakal terjadi.
*Penulis tetap di Lintas Gayo Online, tinggal di Takengon
.