Ijazah dan Profesi

SERING terdengar ungkapan dari orang-orang yang tidak serius mengikuti kuliah atau sekolah, mereka berucap jurusan yang dipilih dan dimasuki salah, sehingga mereka harus menghentikan pendidikannya  di tengah jalan. Mereka memilih tidak sekolah atau tidak kuliah, mereka menjadi toke, menjadi montir, bertani, berdagang dan lain-lain.

Para alumni merasa gagal dalam pendidikan ketika tamat kuliah tidak mendapat pekerjaan, karena dalam benak kebanyakan mereka yang namanya pekerjaan adalah menjadi pegawai, dan para alumni juga selalu menunggu peluang yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan ijazah yang ia dapatkan.

Untuk membahas masalah ini, Aceh TV dalam siaran mingguan “Keberni Gayo” pada hari jum’at (10/02) pukul 20.00 s/d 21.00 WIB mengambil tema “Ijazah dan Profesi” dengan narasumber Sofyan, SH., MM (Pegawai Bank Bukopin Banda Aceh).

Narasumber memulai dialog dengan memaparkan arti dari ijazah dengan bukti yang didapat setelah mengikuti pendidikan formal atau tidak formal, sedang profesi adalah berkaitan dengan mata pencarian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam hubungan antara ijzah dan profesi ini narasumber memberi perumpamaan pada dirinya, yang merupakan alumni fakultas hukum Unsyiah dan kini bekerja di Bank. Kenyataannya beliau tidak merasa kesukaran dalam bekerja kendati latar belakang pendidikan yang didapat tidak bersesuaian dengan job yang ditekuni, memang pada awalnya ia ditempatkan dibagian legal dan kontrak, tapi untuk selanjutnya dia dapat melakukan hal-hal yang berhubungan dengan bidang lain yang tidak berhubungan dengan keahlian yang didapat di bangku kuliah.

Perlu diketahui bahwa satu perusahaan besar seperti halnya Bank,  memerlukan nasabah dari semua lapisan masyarakat dan punya profesi yang beragam, dan untuk mengait semua masyarakat ini diperlukan orang yang paham tentang profesi yang ada di masyarakat tersebut, demikian juga dengan perusaan besar lainnya, perusahaan tersebut memiliki pegawai dengan latar belakang pendidikan yang beragam, yang terkadang menurut kita tidak logis.

Narasumber mengatakan sebenarnya semua sarjana (dari semua bidang ilmu) adalah bahan baku, yang selanjutnya digodok (learning by doing atau learning by job) oleh perusahaan untuk mencari nasabah atau menjual produk perusahaan kepada masyarakat dengan berbagai ragam dan lapisan pendidikan. Sehingga tidak selalu benar bila dikatakan bahwa orang yang bekerja di Bank adalah orang alumni Fakultas Ekonomi atau perbankan. Kecuali mereka ini adalah untuk operator.

Seperti alumni Fakultas Pertanian, setelah diadakan pembekalan (penggodokan) dan pendampingan untuk beberapa bulan biasa mereka akan mencari nasabah yang berprofesi sebagai petani atau peternak, demikian jiga dengan mereka yang berasal dari Fakultas Dakwah, mereka akan mendekati kelompok-kelompok pengajian, karena mereka tahu kapan orang mengadakan pengajian serta dia juga paham bagaimana memberi penjelasan kepada mereka yang ikut dalam pengajian tersebut. Demikian juga dengan mereka yang merasal dari perguruan tinggi lain (mereka akan kembali ke habitatnya). Sebenarnya yang diperlukan dari semua orang itu sebenarnya bukan keilmuannya, tapi lebih kepada intelegensinya, seperti ketelitian, kejujuran dan ketahanan.

Hal lain yang merupakan kunci sukses adalah network atau silaturrahmi atau juga jaringan, ini perlu karena perusahaan mencari nasabah dan menjual produk. Jadi bagi mereka yang tidak mempunyai jaringan atau hubungan dengan orang lain atau ia tidak dikenal, maka untuk orang seperti ini sangat sulit mendapatkan pekerjaan terlebih pada perusahaan yang selalu berhubungan dengan orang lain.

Potensi berhubungan dengan orang lain secara budaya orang Gayo sudah terlati sejak kecil, kita masih ingat ketika di bawa oleh orang tua kita berkunjung ke rumah-rumah saudara, sesampai di situ kita diperkenalkan kepada semua saudara, demikian juga dengan semua saudara diberi tahu kepada kita, baik posisi dalam keluarga atau juga profesi yang dilakukan dalam kesehariannya. Namun potensi ini biasanya jarang dibina dan diarahkan sehingga tidak banyak memberi manfaat bagi orang Gayo itu sendiri. Terlebih lagi ada prinsip dalam masyarakat Gayo, sangat kuat memegang ideologi, artinya orang Gayo selalu menganggap dirinya sangat sulit bergaul dengan orang lain, ketika orang lain salah mengucapkan kata-kata Gayo, mereka sudah menganggap itu adalah ejekan dan memunculkan ketidak senangan dalam waktu lama. Sehingga ada kesan Orang Gayo tidak punya bakat berbisnis.  (Drs, Jamhuri, MA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.