Oleh. Drs. Jamhuri, MA*
Satu pertanyaan saya ajukan kepada mahasiswa yang sedang mengikuti mata kuliah Syari’at Islam di Aceh pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry. Apakah kalian takut tidak mendapat nilai bagus ? mereka menjawab ya, lalu saya tambahkan satu pertanyaan lagi, kenapa kalian takut tidak mendapat nilai bagus ? mereka kembali menjawab, takut tidak dapat kerja setelah tamat kuliah.
Pertanyaan yang sangat sederhana bagi seorang dosen dan jawabannya juga sangat mudah bagi seorang mahasiswa, karena keduanya (antara dosen dan mahasiswa) tahu bahwa nilai rendah yang didapat ketika dibangku kuliah berakibat pada tidak mempunyai kesempatan ikut test di kantor-kantor baik negeri ataupun swasta.
Terlepas dari tepat atau tidaknya pertanyaannya itu dan benar salahnya jawaban tersebut, di sini kita ingin melihat latar belakang dan akibat lebih jauh dari munculnya pertanyaan, karena seakan-akan jawaban dari pertanyaan tersebut harus itu. Tentu semua orang sudah maklum bahwa zaman sekarang ini yang dijadikan standar keberhasilan atau kegagalan adalah nilai, mereka yang mendapat nilai bagus berarti sudah mendapat hasil dari usaha kerasnya, dan yang tidak mempunyai nilai bagus berarti telah gagal dalam proses mencari nilai. Kantor-kantor membuat standar bahwa mereka yang boleh ikut test adalah yang memiliki nilai sebagaimana standar minimal yang telah dibuat (umpamanya IPK 3.00), sebaliknya juga mereka yang ingin mengikuti test harus berusaha mencari dan mendapat nilai minimal sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Akhirnya mereka semua berupaya mengejar dan berupaya untuk mencari guna memenuhi persyaratan test, berupaya mendapatkan nilai dengan cara bagaimanapun sepanjang itu dianggap baik dalam persepsi pencari nilai, walaupun bertentangan dengan standar agama dan kesepakatan umum. Si pemberi nilai juga berpikiran sama, bahkan merasa kasihan apabila nanti anak didik mereka tidak dapat ikut test, bahkan sampai berpikir biarlah diberikan nilai bagus, yang penting bisa ikut test.
Akibat dari berpikir salah secara sistematis seperti ini, transfer ilmu sebagaimana mestinya tidak pernah terjadi secara baik. Mereka yang seharusnya mendapatkan ilmu dari lembaga pendidikan, nyatanya hanya mendapatkan nilai, dan nilai yang didapatkan juga tidak sesuai dengan kaedah penilaian yang benar yaitu “adanya nilai yang baik dan adanya nilai yang buruk”, karena nilai yang didapatkan adalah baik semua.
Akibat lain adalah tidak berjalannya seleksi perguruan tinggi atau sekolah yang harus dimasuki, mereka menganggap semua sekolah atau perguruan tinggi itu sama, baik negeri ataupun swasta, sekolah atau kuliah di luar daerah atau di daerah sendiri, bahkan ada anggapan bahwa fasilitas pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium, dan tenaga pengaja tidak dijadikan standar baiknya kwalitas Perguruan Tinggi.
Kembali kepada hakekat dari munculnya pertanyaan dan jawaban di atas, secara teologi masyarakat telah terpola dengan teologi yang salah, mereka berpikir bagaimana agar bisa tamat dari sekolah dan selesai kuliah kemudian bisa test, kabanyakan dari mereka tidak lagi berpikir bagaimana supaya lulus ketika diadakan test. Karena sebenarnya test bukanlah merupakan akhir dari sebuah proses pendidikan, tapi akhir dari proses pembelajaran adalah mengaplikasikan ilmu untuk kepentingan hidup di dunia dan kehidupan kembali setelah dimatikan.
Makna teologi yang sejalan dengan pola pemikiran di atas adalah bagaimana ketika kita memaknai kata “taqwa” dengan “takut”, dimana semata-mata manusia itu takut kepada Allah, mereka takut dengan siksaan dan azab dari Allah, mereka hanya berharap kebaikan dan pembalasan yang baik. Makna yang seharusnya dan dapat dijadikan solusi agar kita keluar dan meluruskan kembali kesalahan teologi kita selama ini adalah pemaknaan kata “takwa” dengan “melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan”. Artinya sebagai manusia yang berkeyakinan benar adalah mereka yang tidak lagi berpikir tentang nilai, tetapi yang dipikirkan adalah bagaimana berbuat baik sebanyak-banyaknya, apakah perbuatan baik itu mendapatkan nilai atau tidak, dan tidak lagi melakukan perbuatan yang tidak baik walaupun itu tidak dibenci.
Seorang pencari ilmu terus berupaya mencari ilmu kendati ilmu yang diperoleh tidak mendapat nilai baik atau tidak dinilai sekalipun, dan juga tidak pernah merasa cukup dan berhenti mencari ilmu kendati telah mendapat nilai yang baik sekalipun. Demikian juga dengan yang memberi nilai, bahwa rasa sayang yang diberikan dalam wujud nilai yang semua baik adalah sebuah langkah kesalahan pembelajaran teologi, tetapi pemberian nilai yang sesuai dengan standar penilaian itulah pembelajaran teologi yang baik.
Pemahaman hanya dapat mengikuti testing setelah tamat belajar adalah keyakinan yang tidak tepat, tetapi pengaplikasian ilmu yang didapat dalam kehidupan di dunia dan kehidupan setelah kematian itu yang sesuai dengan kehendak yang Maha ‘Alim (Tuhan yang Maha mengetahui).