Balar Medan Kembali Temukan Kerangka Prasejarah Gayo

TELEPON berdering di saku celanaku. Saat itu pukul 14.45.Rabu (21/3/2012). Getaran telepon yang menjadi bagian kebutuhan komunikasi abad millennium ini, aku sedang berbincang dengan seorang wartawan di Takengon.

Saat kulihat, dari Pak Ketut. Aku agak kaget juga. Tak biasanya Pak Ketut telpon, kecuali ada hal penting yang menyangkut bidang keahliannya sebagai seorang peneliti dan arkeolog. Dulu, saat aktip menjadi jurnalis, aku kerap bertemu dan berhubungan dengannya. Menyangkut temuan para arkeolog Balar Medan yang mengungkap adanya kehidupan prasejarah di kawasan Mendale.

Aku menjauh dari teman wartawan tadi yang sedang mengejar deadline dan target berita sebanyak-banyaknya agar mendapat gaji dari berita-berita yang dikirimnya dengan nilai perberita Rp.15 ribu.

“Win, ada temuan dua kerangka baru di Loyang Mendale”, kata Ketut. Ketut adalah Drs. Ketut Wiradnyana ,M.Sc. Jebolan Universitas Udayana Bali. Para wartawan di Takengon yang akrab dengannya biasa menyapa Ketut dengan sapaan Pak Ketut.

Pak Ketut menceriterakan temuan tersebut diduga dari jaman prasejarah. Dengan letak kerangka biasanya mengarah pada Timur dan Barat. Kepala di bagian Timur dan kaki mengarah ke Barat dengan bagian kaki yang ditekuk.

“Tapi yang menarik, salah satu kerangka tersebut ditutupi batu dibagian atas serta samping kiri kanannya”, kata Ketut. Aku sedang bekerja sebagai pelayan di sebuah kantin saat Pak Ketut telpon. Aku alih profesi sebagai pelayan kantin karena gaji sebagai jurnalis tak cukup dan aku tak mungkin bertahan lebih lama mengingat kebutuhan hidup yang terus meningkat.

Aku kemudian permisi untuk melihat temuan para arkeolog dan peneliti Balar ke Loyang Mendale. Tak sampai 15 menit, sekitar pukul 15 lebih aku tiba di Loyang Mendale. Lokasi penemuan kerangka manusia yang diduga dari jaman prasejarah ini, persis berbatasan langsung dengan sawah.

Lokasi penemuan tersebut adalah sebuah gua kecil yang dalam bahasa gayo disebut Loyang. Atau dalam bahasa ilmiah lebih sering disebut Shelter Loyang Mendale (Francis : Abris Sous Roches Ujung Karang).

Ketut bersama kepala Balar Medan tampak serius mengawasi para peneliti Balar yang dibantu Tenlok (Tenaga Lokal) yang melakukan penggalian. Beberapa warga setempat dan anak-anak tampak duduk berjejer melihat proses penggalian tanpa berucap.

Pesta Siahaan, pegawai Balar tampak focus pada kerangka kepala di bagian Barat galian yang kira-kira berukuran 5 x 5 meter lebih dengan kedalaman yang bervariasi. Pesta, spesialis bagian kerangka, perlahan menggunakan kuas membersihkan tengkorak kepala yang sebagian sudah pecah.

Sementara Taufiqurrahman Setyawan, arkeolog tamatan UGM yang juga Fotographer, khusus menangani sebuah kerangka yang masih ditimbuni batuan dan hanya terlihat bagian dengkul kaki. Tak ada yang bersuara.

Kecuali lagu yang keluar dari hpnya Taufik yang didendangkan AR Moese, seniman gayo yang menyimpan banyak makna filosofi dalam lirik-lirik lagunya yang fenomenal dan kemudian dijadikan lagu wajib daerah, “Tawar Sedenge”.

Salah seorang Tenlok yang ikut bekerja bersama rombongan Balar adalah Zul MD. Aktipis olah raga dari Kempo yang kerap kecewa dengan kebijakan dinas yang mengelola olah raga serta Koni Aceh Tengah yang vakum akibat dipolitisir kepentingan pemangku kebijakan.

Meski bukan arkeolog, Zul MD, saat penetian dilakukan Balar sejak dua tahun belakangan, Zul kerap datang sekedar melihat dan memberi dukungan moril pada para peneliti Balar. Karena Zul MD menganggap penelitian ini penting sebagai bagian dari pengungkapan  identitas diri dan sejarah gayo.

Setelah meminta ijin, aku mencoba mengambil beberapa sudut foto. Menurut Pak Ketut, penemuan-penemuan di Loyang Mendale semakin menarik secara arkeolog karena banyaknya kerangka yang ditemukan di Loyang Mendale.

Sehari sebelum penemuan dua kerangka yang diduga dari jaman prasejarah itu, Pak Ketut tampak kurang semangat dan kelihatan tidak segar saat datang minum kopi ke kantin tempatku bekerja.”Sepertinya kurang bergairah pak Ketut”, ujarku menyapa lelaki sedikit gemuk berkulit hitam dan berperawakan sedang ini.

“Iya ni, mungkin karena beban pikiran. Belum ada temuan yang menarik di Loyang Mendale”, balas Pak Ketut sambil membolak-balikkan  tumpukan buku-buku di kantin. Dari temuan itu, Pak Ketut mulai menduga-duga dan membangun hipotesa.

“Loyang Ujung Karang ini, erat kaitannya dengan danau. Sebagai sumber kehidupan. Mungkin dahulu Loyang Mendale didepannya langsung Danau yang kini menjadi sawah penduduk”, ulas Ketut. Untuk itu, Pak Ketut berharap di penelitian lain menghadirkan seorang ahli geologi.

Selain itu, Ketut menduga, di lokasi penemuan beberapa kerangka Loyang Mendale yang berada pada bagian timur eksavasi adalah bagian dari komplek perkuburan. Sementara di bagian Barat Loyang Mendale, mungkin adalah lokasi hunian manusia prasejarah.

Ketut menduga, jika ada gua seputaran Mendale, Ujung KArang dan lokasi lainnya didaerah ini, diduga juga jadi daerah hunian. Taufik, peneliti Balar tampak membungkus sebuah batu dalam plastic yang diberi tanda .

Beberapa bagian batu di sudut yang lebih tajam tersebut, tampak pecah. Taufik meminta Pesta Siahaan untuk menggambar batu tersebut. “Sepertinya batu ini dipakai sebagai cangkul di masa lalu”, ujar Taufik seraya mengamati batu keras tersebut samba mempraktekkan cara memukulkan batu ke tanah.

Loyang Ujung Karang dan juga Mendale dan mungkin Loyang-loyang lainnya seputaran Kecamatan Kebayakan, masih menyimpan misteri dan juga fakta-fakta yang mulai tersingkap sejarah ilmiah tentang adanya sebuah kehidupan prasejarah yang umurnya terus naik seiring lamanya waktu hidup.

3500 tahun silam 4700 tahun silam dan bisa jadi terus bertambah. Masih banyak kisah dan sejarah masa silam yang harus diungkap di gayo. Dongeng (Kekeberen) mungkin bisa dijadikan pesan tersembunyi tentang rahasia sebuah daerah atau masa lalu. Penelitian ilmiah menjadi pemungkasnya karena bisa diterima akal berpikir yang dibangun berdasarkan sisa peradaban lalu yang menjadi pesan tentang apa dan bagaimana mereka hidup.

Disana ada kerangka, lapisan budaya, cangkang kerang, potongan tanah liat yang dibakar, gerabah dengan berbagai bentuk dan ukirnya. Batu kapak persegi, rotan yang dijalin dan masih banyak lagi yang harus digali dengan atau tanpa dukungan semua pihak. Ilmu berpihak pada fakta dan kebenaran, politik menyimpangkannya untuk sejengkal perut dan menafikan identitas.

Meski mungkin pernah kecewa karena hinanya kepentingan sesaat demi gengsi dan keakuan sebuah pemikiran dari wajah seseorang yang diberi nama, Pak Ketut dan para peneliti lainnya akan tetap konsisten terus menggali. Mengabdikan dan mendedikasikan dirinya atas pilihan demi masa depan sebuah peradaban manusia.

Entah apa lagi yang akan terungkap dengan atau tanpa kesertaan kita. Semoga kita tidak kehilangan keramahan yang merupakan Sunatullah manusia yang hidup di atas Gunung, Negeri Antara (Win Ruhdi Bathin)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.