SIMPUL kekerasan semakin erat, benih-benih ego tumbuh walau tak pernah ditanam, budaya tarik menarik kekuasaan bebas tanpa batas. Bahkan ada yang mengatakan, “semuanya pakai duit, kalau sudah dibayar segala urusan jadi lancar”, inilah potret buram keberadaan bangsa dengan mahkota demokrasi yang semakin retak yang pada akhirnya berujung kepada kehancuran. Derasnya alir kekerasan seakan menjadi momok yang menakutkan akibat nilai keadilan dan kekerasan menjadi barang langka yang sulit ditemukan. Meminjam ungkapan Amien Rais dalam bukunya Selamatkan Indonesiaku, menjelaskan “kita bangsa Indonesia sudah lebih dari 60 tahun merasakan kemerdekaan, akan tetapi kata kemerdekaan itu saya beri tanda kutip, bahwa kita bangsa Indonesia belum merasakan kemerdekaan seutuhnya”.
Jika di cermati dari kaca mata logika, secara sadar manusia akan menolak tindakan yang tidak memberi kebaikan baginya, akan tetapi terkadang manusia dipaksa untuk menerima harapan yang tidak pantas baginya, harapan inilah yang membuat rakyat tidak bisa merasakan kemerdekaan yang masih mengawan. Secara tidak langsung kehancuran bangsa ini merupakan kesalahan dalam berdemokrasi yang terkontaminasi dengan proses politik yang dimobilisasi oleh kapital dan uang, secara explisit dampaknya menghasilkan ketimpangan multidimensi ( moral,sosial, hukum, ekonomi dan politik) .
Arus Ekonomi dan Kemiskinan
Indonesia mempunyai cermin sejarah sebagai bangsa besar dengan keberadaan agama, suku dan potensi kekayaan alam yang belum tentu dimiliki oleh bangsa lain. Jika esensi keagamaan, budaya, suku dan kekayaan alam dilingkari oleh kebijakan yang salah maka keberadaan dan potensi Indonesia akan hilang dengan rentetan probematika yang tak kunjung usai. Subtansi dasar demokrasi dengan ruh kebebasan, persamaan dan persaudaraan seharunya tidak bertentangan dengan hukum logika manusia dan bisa diterima oleh nalar dan hati nurani, akan tetapi apa yang diterima publik selama ini sugguh sangat bertolak belakang dengan nalar dan hati nuraninya.
Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia dalam tiga tahun terakhir jumlah jumlah orang miskin di indonesia meningkat tajam dari 40,4 juta tahun 2008 menjadi 43,1 juta. Tahun 2010, meningkat sekitar 2,7 juta orang. Ironisnya disaat bersamaan juga terjadi peningkatan pendapatan perkapita dari Rp 23,1 juta tahun 2009 menjadi Rp 27 juta tahun 2010 (Kompas, 29/11/11). Inilah bentuk demokrasi yang pahit yang semestinya tidak diterima rakyat, disaat pendapatan dan peningkatan diterima bangsa disaat itu juga kemiskian tidak teratasi.
Situasi perekonomian indoesia masih tetap memprihatinkan, kesenjangan antara sikaya dan simskin semakin tak terbendung, putaran uang hanya berpihak kepada secuil orang-orang tertentu, akan tetapi rakyat tidak menerimanya dan menjadi hamba uang sepanjang masa, kesulitan pengusaha kecil bersaing dengan pemilik modal yang besar, kesulitan bersaing dengan produk asing yang semakin menggurita ditubuh bangsa, perguruan tinggi diminta untuk berwira usaha, akan tetapi slogan kewirausawan sering kali dianggap menjadi topeng ketidak mampuan pemerintah untuk memberikan lapangan pekerjaan. Lembaran baru pada tahun ini dihadapkan dengan dualisme permasalahan baru dan lama, hal ini menjadi tantangan dan tidak menindak lanjuti dengan kerangka berpikir yang lama. Keberanian dalam memberikan solusi demi sebuah misi perubahan tanpa di tamengi peta politik adalah langkah menuju pembaharuan, Lembaran lama menjadi pelajaran dengan segala kebijakan yang miskin subtansi.
Mengembalikan Demokrasi
Lembaran lama adalah tahun penuh petaka dibalik warna kekerasan dan kemiskinan yang merajalela, kondisi rakyat layaknya seperti seorang anak tanpa rumah dan kedua orang tua, pada akhirnya rakyat mencari kebenaran dengan jalannya sendiri, dampaknya Papua, Mesuji, Bima dan Aceh adalah kebenaran dan keadilan yang dicari rakyat dengan sendirinya. Bangsa merupakan rumah bagi rakyat pemerintah merupakan kedua orang tua bagi rakyat dualisme ini seharusnya menjadi acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agar masyarakat tidak menjadi tamu dirumahnya sendiri. Menurut Cendikiawan Muslim Emha Ainun Najib bahwa demokrasi “Laroiba Fiih” (baca tidak diragukan di dalamnya), artinya sistem pemerintahan demokrasi tidak diragukan jika dijalankan sesuai dengan kesadaran dan hati nurani oleh pemimpin bangsa.
Demokrasi yang selama ini dicari-cari harus dikembalikan, artinya kegalauan rakyat terhadap demokrasi harus dihentikan, maka dari itu simpul kekerasan dan kemiskinan harus menjadi tugas besar dengan ambisi yang besar. Menurut penulis untaian sederhana yang selalu diminta rakyat kepada pemimpin dan pemerintah adalah membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah, agar keadilan dan kesejateraan dapat tumbuh dan dirasakan. Moralitas pejabat yang selama ini hilang di tubuh pemerintah harus bangun kembali, dalam artian janji-janji politik yang telah mereka lontarkan harus ditepati, agar tidak menjadi hutang yang terus menumbuhkan berbagai kesenjangan dan konflik berkepanjangan.***
Penulis Adalah Mahasiswa Perbangkan Syariah FAI-UMJ.