Idealisme bagi Pendidik di Indonesia

(Solo: 22 Juni 2012, Joni MN*)

 

GURU bukanlah seorang Body Guide, mandor yang pekerjaannya hanya mengawal dan menciptakan rasa takut kepada setiap orang yang ada di sekeliling mereka,  dan perkerjaan seorang guru bukanlah pekerjaan  ”sambilan”, tetapi guru adalah seorang yang memiliki intelektualitas yang dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan persoalan yang mereka dihadapi. Apabila pendidikan di Indonesia ini ingin maju dan berhasil, maka para guru, yang menjadi ujung tombaknya harus sungguh profesional, baik dalam bidang keahliannya (kompetensi), dalam bidang pendampingan, dan dalam kehidupannya yang dapat dicontoh oleh sisiwa (Paul Suparno,2004:vii). Pernyataan yang telah diutarakan oleh Paul, sebaiknya dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dikarenakan maju atau mundurnya suatu Negara apabila dunia pendidikan tetap diperhatikan secara maksimal, dan mereka ini merupakan ujung tombak dari dunia pendidikan yang langsung berhadapan dengan si subject pelakunya. Namun apabila sebaliknya, maka bukan hanya dunia pendidikan saja yang akan hancur tetapi juga norma dan nilai dari peserta didiknya juga akan menjadi bobrok, seperti yang terlihat saat ini, banyak siswa SMP dan SMA dan juga mahasiswa mengadakan tawuran dengan membawa benda – benda ata senjata tajam, demo dengan anargis dan juga merugikan aset-aset Negara dan membuat video – video mesum kemudian menayangkannya di internet dan di hp, dan masih banyak kegiatan atau aktivitas yang negatif lainnya.

Hal ini telah membuktikan bahwa profesi guru atau dunia pendidikan itu hanya dijadikan sebagai sasaran tumpangan saja dan guru yang ada di Indonesia hanya berfungsi sebagai pentransfer ilmu saja dan sebagai mediator yang kemudian melepaskan kewajibannya dari penerapan dan penanaman nilai moral serta etika siswa, selanjutnya para stakeholder pendidikan juga menyerahkan wewenang kepada guru seprtinya penangan dan pertanggung-jawabanya setengah-setengah buktinya ketika ada seorang guru memarahi, mencubit atau menampar yang masih pada batasan-batasan koridor kependidikan, dalam hal ini pemerintah memberi peluang kepada orang tua yang notabene “mencari kesempatan untuk mengambil keuntungan” apabila hal tersebut terjadi maka mereka berhak menuntut pendidik tersebut yaitu dengan menggunakan alat UU HAM anak dengan tujuan mendenda para guru yang melakukannya. Bersangkutan dengan UU ini, diharapkan Pemerintah dapat meninjau kembali mengenai keberadaan UU HAM tersebut, apakah UU itu benar-benar produk atau pemikiran dari orang-orang dan keinginan masyarakat Indonesia?  atau tidakkah itu hanya merupakan suatu rancangan untuk pengkaburan identitas dan pengkroposan pemertahan (proteksi) diri bagi bangsa Indonesia yang mungkin berasal dari Negara tertentu yang ingin memecah belah dan menanamkan kebencian diantara kita untuk maksud tertentu? Mungkin ini menjadi PR  buat kita bersama dan terutama bagi penentu kebijakan pendidikan di Indonesia,  agar hal tersebut tidak menjadi hambatan atau halangan bagi guru – guru yang memang ingin menjadi seorang pendidik yang sebenarnya pendidik (tulus, ikhlas), seperti yang diharapkan oleh tujuan dari pendidikan itu sendiri dan UU pendidikan itu senidiri.

Sambil menunggu ketegasan dari pemerintah tentang UU HAM tersebut, di dalam mencegah hal-hal yang berdampak negatif tersebut di atas guru perlu melakukan beberapa usaha untuk membangun kompetensi: Pertama, guru harus memiliki rasa tidak puas dengan keadaan atau dengan apa yang telah diperoleh, terutama sekali dalam bidang usaha mengajar. Kedua, guru harus dapat memahami anak sebagai pribadi yang unik, yang satu sama lain memiliki kekuatan dan kecerdasannya masing-masing. Ketiga, sebagai guru dituntut untuk menjadi pribadi yang fleksibel dan terbuka. Fleksibel menghadapi situasi yang selalu maju dalam dunia pendidikan. Keempat, guru harus merasa terpanggil untuk menekuni profesinya sebagai guru (bukan gegurun), dan bukan pekerjaan ”sambilan”.

Rasa terpanggil dengan profesi guru, David Hansen dalam bukunya The Call to Teach (1995),  berpendapat kepada profesi guru adalah panggilan hidup, namun saya sangat yakin bahwa di dalam konsep pendidikan Islam jauh lebih baik dan komplit dari konsep ini. Menurut David Hansen ini walaupun tidak sekomplit konsep pendidikan yang ada di Islam, ada dua segi dalam panggilan, yaitu : Pekerjaan itu membantu mengembangkan orang lain (ada unsur sosial), dan pekerjaan itu juga mengembangkan dan memenuhi diri kita sebagai pribadi (Paul Suparno,2004:9). Jelas di sini, bahwa pekerjaan guru terlibat dengan suatu pekerjaan yang mempunyai arti dan nilai sosial, yaitu berguna bagi perkembangan orang lain dalam menuju kepada kehidupan yang lebih bermakna. Pekerjaan guru itu bukanlah hanya memarah-marahi dalam artian menaruh kebencian kepada murid-muridnya, bukan hanya menghafalkan teoritis dan formulasi saja, menyoroti kesalahan orang lain, bukan hanya mampu menilai bahwa siswa itu kurang berminat saja, namun di balik itu guru harus mampu memberi solusi yang bersifat komprehensif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi tersebut yang timbul khususnya menyangkut dunia kependidikan itu sendiri, bukan hanya menyoroti saja bahwa itu salah dan disana benar, ini masih kurang, itu salah, itu hanya teori, jangan hanya bisa berteori dan yang lainya (jangan mengkaburkan keikhlasan dan ketulusan para pendidik lainnya).

Dari keadaan riil ini guru dihadapkan kepada target pencapaian tertentu dan bahkan diharapkan  memiliki keprofesionalismeannya di dalam menghadapi dan menjalankan proses-proses tersebut.  Misalnya, dalam hal meningkatkan keinginan siswa untuk belajar guru harus sedapat mungkin membangkitkan motivasi siswa tersebut bukan mematahkan atau membunuh karakter siswa, satu contoh kasus, ada siswa yang membuat tulisan untuk menyalurkan bakatnya atau mengembangkan minatnya dan kemudian melengketkannya (mempublikasikan) di Mading sekolah, kemudian di baca oleh seorang guru, langsung guru itu memfonis bahwa tulisan itu tidak benar atau salah dengan menanyakan, siapa yang buat tulisan ini, salah ini, kok bodoh sekali yang menulis ini?, ah..yang menulis ini kan hanya bisa berteori, kalau ini kan anak-anak juga bisa. Ini yang merupakan salah satu tindakan yang mengarah kepada pembunuhan karekter peserta didik yang bukan memotivasi dan tidak membangun (orang/guru atau siapapun dia yang seperti ini tidak lebih baik dari orang yang di evaluasinya), seharusnya bagi seorang guru yang professional atau keritikus yang lainya, kalau memang hal itu salah, dipanggil si penulisnya atau si pelakunya (berdiskusi yang baik) tunjukan kesalahannya kemudian beritahu yang sebenarnya itu bagaimana, dan kenapa hal itu benar dan kenapa ini dikatakan salah. Bukan hanya bisa menghilangkan citra para peserta didik, dan sebenarnya masih banyak cara-cara atau pendekatan-pendekatan lain yang dapat ditempuh tanpa harus memerah mukakan orang lain. Simpulannya yang baik bagi pendidik atau kritikus dan yang lainnya adalah ‘jangan lakukan sesuatu kepada orang lain yang jika kita tidak suka orang lain melakukannya kepada diri kita’.   

Sehingga seperti yang kita ketahui (umat Islam) bahwa peran guru yang benar-benar bersifat mendidik dapat disimpulkan sebagai berikut;

  1. Tidak mengutamakan materi, dan mengajar karena mencari keridhaan ALLAH semata. Berkaitan dengan inilah maka kewajiban negara untuk memberikan penghidupan yang layak bagi para guru dengan seluruh fasilitas kehidupan yang memadai. Karena hal mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tanggung jawab Negara yang diperankan oleh para pendidik-pendidik yang ada di Negara ini dan juga menjadi tanggung jawab bersama.
  2. Kebersihan guru harus senantiasa dijaga. Artinya seorang guru harus bersih tubuhnya, jauh dari perbuatan maksiat atau mesum dan yang berdosa, serta kesalahan yang bersifat fatal. Bersih jiwanya, terhindar dari dosa besar, sifat riya’, dengki, iri, permusuhan, mencari perselisihan, menilai orang lain bodoh dan sifat-sifat lain yang tercela. “Seorang alim yang durjana dan seorang shaleh yang jahil, orang yang paling baik adalah ulama yang baik dan orang yang paling jahat adalah orang-orang yang bodoh”.
  3. Ikhlas dalam pekerjaan. Keikhlasan dan kejujuran merupakan kunci bagi keberhasilan seorang guru dalam menjalankan tugasnya (mendidik). Ikhlas artinya sesuai antara perkataan dan perbuatan, melakukan apa yang ia katakan dan tidak malu untuk menyatakan ketidaktahuan. Seorang alim adalah orang yang selalu merasa harus menambah ilmunya dan menempatkan dirinya sebagai pelajar untuk mencari hakikat, di samping itu ia ikhlas terhadap murid dan menjaga waktunya. Tidak ada halangan seorang guru belajar dari muridnya, karena seorang guru dalam pendidikan Islam adalah seorang yang rendah hati, bijaksana, tegas dalam kata dan perbuatan, lemah lembut tanpa memperlihatkan kelemahan, keras tanpa memperlihatkan kekasaran.
  4. Pemaaf. Ia sanggup untuk menahan kemarahan, menahan diri, lapang hati, sabar, dan tidak pemarah.
  5. Seorang guru merupakan bapak/ibu, saudara, dan sahabat sebelum ia menjadi guru
  6. Seorang guru harus mengetahui tabiat murid
  7. Menguasai materi pelajarannya dan metode mengembangkanya sesuai kebutuhan riil.
  8. Kreatif dalam memberikan pengajaran kepada siswanya, sehingga siswa mudah dalam menerima transfer pemikiran yang diberikan.
  9. Harus menaruh kasih sayang terhadap murid dan memperhatikan mereka seperti terhadap anak sendiri.
  10. Memberikan nasihat kepada murid dalam setiap kesempatan.
  11. Mencegah murid dari akhlak yang tidak baik dengan jalan sindiran, terus terang, halus dengan tidak mencela.
  12. Guru harus memperhatikan tingkat kecerdasan muridnya dan berbicara dengan mereka dengan kadar akalnya, termasuk di dalamnya berbicara dengan bahasa mereka.
  13. Tidak menimbulkan kebencian pada murid terhadap suatu cabang ilmu yang lain.
  14. Guru harus mengamalkan ilmu dan selarasnya kata dengan perilaku.

Dalam Islam, kedudukan seorang guru sangatlah mulia. Dan oleh karena itu pula sudah selayaknya seorang guru juga menjaga kemuliaan dirinya. beberapa sifat yang harapannya bisa menjadi sifat bagi semua guru di Indonesia seperti yang sebahagian sudah tercantum dan disebutkan di atas. Dan, apabila mengerjakan sesuatu itu sesuai dengan kapasitas yang dimiliki akan dapat membuat hasil yang maksimal.

*pengajar di STAI Gajah Putih Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.