Melacak Jejak “Koro Jamu” Di Gayo

Oleh: Yusra Habib Abdul Gani*

ASBABUN nuzul munculnya istilah “Koro Jamu” (Kerbau Tamu) dalam masyarakat Gayo, sesungguhnya diangkat dari riwayat pengalaman penggembala kerbau yang; jika seekor kerbau pendatang baru (asing), hidup sekandang (“sara wer”) dengan kumpulan kerbau lama (baca: asli); ianya berpotensi mengundang masalah, seperti: praduga tidak bersalah, kecurigaan, irihati, bisik-bisik dan rasa dengki merebak di kalangan Kerbau asli. Apalagi kalau “koro jamu” menjadi kandidat “ulu Tawar” (pemimpin) dalam “wer” tersebut, maka stabilitas keamanan terganggu, sebab kerbau asli menganggap; mereka lebih dan paling berhak jadi ulu tawar dalam wer itu. “Koro jamu” selain merasa terasing juga “icangkili orom-orom”.

Sebenarnya, luapan rasa emosional dari kawanan hewan ini hal yang normal–bukan  saja normal–bahkan terbaik bagi mereka demi menjaga identitas dan marwah empuni tempat. Secara alamiah, fenomena sosial hewan tadi; juga terjadi dalam kandang Ayam, Itik dan Kambing; hanya saja bagi orang yang kurang komunikasi dan merapatkan emosional dengan hewan peliharaan, perkara ini kurang diperhatian.

Pada gilirannya, penggembala Kerbau menceritakan pengalaman sehari-harinya kepada kawan-kawan, bahwa: ‘Kerbau pendatang yang baru dibelinya selalu “dicangkil” dan tidak boleh merapat dengan kumpulan Kerbau asli.  Dia dianggap “Koro Jamu” yang tidak boleh macam-macam, apalagi diangkat sebagai penghulu (ulu tawar”) dalam kandang.’ Kisah ini kemudian diadopsi oleh orang Gayo ke ranah politik dalam arena pertarungan perebutan jabatan strategis dalam struktur pemerintahan, mulai dari:  pemilihan Geuchik, Sekretaris Kampung, Anggota Sarat Opat; imem, Mukim. Seterusnya merambah ke peringkat pemilihan Camat, Kepala Dinas dan Bupati; yang kononnya; pendatang yang bukan etnis Gayo disifatkan sebagai “koro jamu”, tidak boleh diangkat sebagai pemimpin (ulu tawar) yang menentukan masa depan orang Gayo, sebab –setidak-tidaknya– ‘self of belonging’ dan ‘self responsibility’-nya dipertanyakan dan diragukan.

Adalah hak orang Gayo melontarkan suara: “ko koro jamu isien” (kamu pendatang asing di sini) dan sejauh ianya dimaksud  untuk menjaga, mempertahankan harga diri, kwalitas dan kemurnian aqidah ke-gayo-an masih dianggap relevan dan bisa diterima. Masalahnya ialah: ketika isltilah “koro jamu” berhadapan dengan masyarakat majemuk (plural) sarat nilai-nilai sosial yang terus berubah, bergerak, bersaing, saling mempengaruhi dan bertarung memperebutkan status sosial dalam suatu unit pemerintahan –lebih tepat– saat pembicaraan memasuki ranah politik/kekuasaan, maka istilah  “koro jamu gere nguk kin ulu tawar”, mesti dievalasi kembali –setidak-tidaknya– ‘apakah ianya masih relevan dipakai sebagai barometer untuk mengukur harga diri, identitas dan kwalitas dalam masyarakat yang rencam dengan kepelbagaian corak budaya dan kepentingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?’

Pola pikir “koro jamu” ini sudah saatnya dikaji, oleh karena dalam perjalanan sejarah Gayo, terbukti bahwa Merah Johansyah (Sultan Aceh Darussalam pertama), Merah Silu (Cucu Datuk Mersa, diangkat sebagai Sultan Pasé pertama), Merah Item dan Merah Putih (Kedua adik-beradik asal Gayo ini diangkat sebagai Raja di Meureudu), Abdul Malik (diangkat sebagai Raja di Kerajaan Jeumpa); bukankah “koro jamu-koro jamu“ asal Gayo yang dipercayai  menjadi pemimpin dalam masyarakat Aceh Pesisir (non Gayo)? Jadi, orang Gayo tidak boleh bersikap ‘double standard’. Rahasia keberhasilan mereka ialah: kwalitas benih unggul Gayo itu melebihi faras dari tingkat kwalitas rata-rata masyarakat Aceh pesisir, hingga dinilai layak pakai sebagai figur pemimpin untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat di masing-masing tempat.

Sekarang, orang Gayo harus introspeksi diri dan mengaku jujur: ‘apakah figur yang ada sekarang kwalitasnya sebatas “timon gedok penengkép ni aré”, atau punya kwalitas sebagai benih unggul yang layak tawar untuk dijual dalam pentas politik berskala lokal an nasional? Realitas politik yang nampak bahwa politisi asal Gayo, baik dalam Parnas maupun Parlok, kwalitasnya setingkat “penemah ni tas atau penesahni seruel katok.” Artinya: “ kaliberni urang gayo si ara besilo, i acèh atau i Jakartapè muhayak, gere tertipaki, jadi kin sana daléh urang gayo iguneni.”  Faktor kwalitas dan kemampuan loby diantara punca penyebab langkanya orang gayo duduk di jajaran legislatif dan eksekutif di tingkat provinsi dan pusat.

Orang Gayo belum siap beradaptasi dan menerima suatu kenyataan bahwa: dalam masyarakat plural yang kompleks, nilai-nilai sosial budaya, type dan standard kepemimpinan telah jauh melangkah mengalami perubahan, yang apabila tidak cerdas dan peka, tidak mustahil orang gayo menjadi “barang antik” dan terisolir, karena merasa rendah diri ( ‘inpriority-complex’) saat berhadapan dengan orang lain. Dunia sekarang dan masa mendatang diprediksi bahwa: orang akan cendrung simpatik dan memilih figur politisi bertype ‘common-sense’ (hati yang tulus/suci), yang sifatnya universal dan dapat diterima oleh semua pihak. ‘Common-sense’ inilah nantinya akan menggeser orang gayo menempati posisi penting dalam jajaran pemerintahan di tanah gayo, karena “koro jamu” ternyata lebih berkwalitas, cerdas dan tangkas, ketimbang “koro nume jamu”.

Type ‘Common-sense’ inilah yang mengantar Franzt Fanon, seorang filosuf, penulis dan pemikir revolusi berkulit hitam asal Perancis; yang mengikut budaya gayo sebagai “koro jamu” itu, akhirnya dipercaya oleh rakyat Aljazair menjabat Menteri Dalam Negeri tahun 1962, demi membalas jasa pemikiran yang dia dituangkan dalam buku: Wretched of Earth dan Dying of Colonialism (kedua buku ini dilarang diperjual-belikan di Asia Tenggara); telah mampu mendongkrak semangat bangsa Aljazair melawan kolonial Perancis, yang dirakit dari khazanah nilai-nilai falsafah dan budaya bangsa Aljazair. Terlepas dari membayar harga hidupnya dengan kematian mengenaskan yang dibunuh oleh agen militer Perancis. Type ‘common-sense’ ini pula yang mengantar Barack Obama, sosok politisi berkulit hitam asal Uganda, Afrika, yang dalam pandangan orang gayo sebagai “koro jamu” di Amerika Serikat, nyatanya berjaya memenangkan kursi Presiden USA ke-44, priode 2009-2012.

Dalam perjalanan sejarah politik dan kekuasaan, orang Gayo sebenarnya pernah menerima kehadiran “koro jamu-koro jamu” menjadi “ulu tawar”, sebagai Bupati definitif atau Pjs. Bupati Aceh Tengah, seperti: M. Sahim Hasimi (1955-1958), Nyak Abas (1969-1970), M. Jamil (1985-1990), Drs. T.M. Yoesoef Zainoel (1991-1992) dan Mohd. Tanwier, alias Baong, (2012-2013). Kinerja mereka masing-masing punya ‘track record’ beragam. Sebilangan mereka ‘ending’-nya menyenangkan dan sebagian lagi menyakitkan. Hal ini menyamai ‘track record’ yang dialami oleh “koro-koro nume jamu”, rata-rata di akhir masa jabatan berakhir tragis, membawa ‘aib dan “di tepung tawari” dengan aksi coret-coret di jalan raya, WC, dinding pertokoan, perkantoran, jembatan, dll, disuarakan dengan nada mencaci, menghina dan melecehkan kinerja mereka masing-masing. Inilah stereotype politik masyarakat Gayo paling buruk yang diwarisi turun-temurun.

Gaya ini, bukan karakterisktik asli, sebab orang Gayo sesungguhnya punya ‘rule of the game’ menyuarakan keberanian. (baca: “Kode Etik Pelolo Dalam Budaya Gayo” di LG). Fenomena sosial seperti ini merupakan refleksi kelainan jiwa dari suatu masyarakat premitif dalam berpolitik, yang tidak mau mengaku punya kelemahan, tapi ‘udel’ bertarung dalam gelanggang politik. Keluar segera dari lingkaran syaithan ini, jika tidak hendak  ingin terkurung buat selamanya.(yusrahabib21@hotmail.com)

*Director Institute for Ethnics Civilization Research

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.