From Gayo Coffee to Java Coffee (habis)

Catatan Perjalanan: Win Ruhdi Bathin

HARI kedua di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, tanggal 20 Oktober 2012, Asisten Deputi Iptek Masyarakat, Sedyatmo mengajak saya untuk mengunjungi PTP.Nusantara XII (Persero), kebun Kalisat/Jampit. Melihat bekas perkebunan Belanda yang dikenal dengan ‘Java Coffee’ yang kini dikelola PTP.

Lagi-lagi sebuah tawaran menarik. Selain Asdep (Asisten Deputi) yang gaul dan sederhana ini, rombongan juga ditemani dua orang dari Universitas Negeri Jember, yakni seorang dekan, Ilham dan dosen, Soni.

Selain itu, ada juga dari PPKKI Jember, Staf Perkebunan, ketua kelompok tani perkebunan rakyat non PTP, Heru dan sejumlah anggota rombongan lainnya. Heru, mewakili petani kopi di Kecamatan Sempol Bondowoso, berkisah banyak.

Menurut Heru, petani kopi arabika di Bondowoso, baru merasakan ‘manisnya’ harga Arabika sejak dua tahun belakangan. Sebelumnya harga Arabika yang dihasilkan petani disana lebih rendah dari kopi Robusta, atau minimal harga Arabika disamakan pembeli dengan Robusta.

“Bagaimana bisa?, bukankah PTP disini sudah memproduksi Arabika sejak Belanda kemudian diteruskan PTP dan menjadi brand terkenal Java Coffee yang kesohor”, tanyaku tak percaya. Tapi Heru tak menjawab tuntas, seraya berkata, “Begitulah”, katanya singkat menyimpan berjuta rahasia yang tak mau diungkapnya. Meski baru dihargai sejak dua tahun belakangan, produksi kopi petani Arabika Bondowoso melesat naik. Eksport kopi Java ini menunjukkan kenaikan grafiknya dengan drastis.

Jumlah petani Arabika, terus naik. Dari kelompok terbatas hingga berjumlah puluhan kelompok dengan anggota ratusan orang. Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Bondowoso juga memberi dukungan kuat.

Setiap kelompok diberi pelatihan dan peralatan mesin paska panen. Seperti mesin giling, mesin pembersih fermentasi, para-para jemur, mesin roasting,dan grinder. Bantuan dari hulu ke hilir yang membuat petani kopi arabika disana berkembang pesat.

“Tanah petani kopi disini adalah tanah perhutani. Pohon-pohon kayu milik perhutani, disela-selanya ditanami kopi.  Petani memberikan sepertiga dari hasil kopinya kepada perhutani (disebut Cukai). Setiap petani memiliki lahan tanam sekitar setengah hektar”, papar Heru.

Mulainya berkembang lahan perkebunan arabika rakyat atau kelompok tani kopi di Bondowoso, atau seputaran Kecamatan Sempol, terbilang sulit. Menurut Heru, ada cerita petani yang menanam kopi arabika yang dulunya harus berhadapan dengan petugas hukum dan pihak lain.

Si petani penanam arabika dituduh mencuri bibit kopi arabika dan sejumlah alasan lain dimana petani atau rakyat yang menanam kopi, seperti menaman tanaman “Larangan”,kecuali pihak tertentu. Dan itu terjadi bukan di zaman Belanda.Ruar biasa. Jiwa kolonialis, begitu bathinku menolak keadaan ini.

Karena adanya perbedaan harga yang mencolok antara Robusta dan Arabika, jumlah petani penggarap arabika terus meningkat sifnifikan. Lahan-lahan perhutani yang tersebar luas, selain PTP, terus dibuka warga dengan sistim pembayaran cukai sepertiga hasil kepada Perhutani. Tentu saja Perhutani disana menangguk pemasukan setiap tahunnya dari petani kopi.

Aku menceritakan keadaan sebaliknya kepada Heru. Di Dataran Tinggi Gayo, kopi adalah tanaman rakyat. Siapapun boleh tanam kopi semampunya dengan membuka hutan yang bukan hutan lindung atau kawasan konservasi lainnya.

Kawasan perkebunan rakyat ini ini kemudian menjadi perkampungan dan Kecamatan.Dengan nama-nama Dusun atau Desa dari asal sang penggarap lahan baru tersebut. Kontradiksi dengan yang berlaku di Jawa.

Rakyat berkuasa atas kebun kopi dan berhak mensertipikatkannya. Tidak ada perkebunan Negara atau perusahaan swasta yang mengelola ratusan atau ribuan hektar kopi. Seperti dilakukan penjajah Belanda.

Bahkan tanah bekas perkebunan kopi Belanda dulu, dibagikan kepada warga setempat.Peran petani jauh lebih kuat dan mandiri. Dan setiap kilogram kopi arabika gayo milik rakyat yang dibawa keluar daerah, diberikan rakyat retribusinya kepada Pemda sebesar Rp.250,-. Dan ini merupakan pendapatan terbesar Pemda, PAD terbesar dari kopi rakyat yang mencapai belasan milyar setiap tahunnya.

Bahkan produksi perkebunan milik Pemda Aceh Tengah yang dikelola Dinas Perkebunan, penghasilannya kalah banyak dengan produksi petani. Kebun daerah yang berjumlah diatas 50 hektar ini hanya mampu menyumbang Rp.13 juta/tahun untuk PAD. Sementara produksi petani dari luasan satu hektar saja mampu menghasilkan Rp.20-200 juta/tahun.

Contoh paling menarik dari perkebunan kopi seputaran Ijen ini adalah petani kopi di Dusun Pedati yang berketinggian sekitar 1400 dpl. Dilokasi ini, warga setempat mendapat bantuan berlimpah dari Pemda setempat kepada kelompok tani.

Seperti penyuluhan hingga penanganan paska panen. Kelompok tani bisa menjual kopinya berupa bubuk kopi dengan bantuan tersebut.Hebat, lagi-lagi berbanding terbalik dengan gayo soal mekanisasi pertanian ini.

Selama perjalanan di pusat kopi Jawa ini, menurut peneliti dari PPKKI, Jember, kopi terlihat “merana’ karena sudah enam bulan terakhir hujan tidak mengguyur. Tanah di perkebunan PTP Nusantara XII, tampak mengering.

“Tapi begitu hujan tiba, kopi langsung menghijau”, kata peneliti ini.Kopi tampak terawat dengan pemangkasan dan tanaman pelindung yang rapi dan juga terlihat dipangkas sehingga cahaya matahari bisa menyentuh daun, batang serta tanah tempat kopi tumbuh.

Hasil kopi disini, antara 1.5-2 ton/hektar/tahun. Menurut Joko, peneliti Jember lainnya, kopi di lokasi ini, diolah dengan cara olahan kering. Kopi gabah dijemur hingga kering sebelum menjadi green beans berstandar SNI.Kemudian dijual ke eksportir atau penyangrai.

Banyak perbandingan yang bisa diambil dari kunjungan ini. Salah satunya yang sangat kentara adalah perbedaan fisik kopi Jawa dan Gayo. Kopi Gayo tumbuh ditanah subur Andosol dengan curahan hujan yang cukup serta iklim mendukung. Daun kopi gayo lebih lebar dan tebal serta tampak hijau segar meski tidak dipupuk.

Sementara kopi di Jawa mengalami masa kemarau yang panjang dan membuat kopi tampak kekurangan air. Daunnya lebih kecil dan tipis. Kopi Gayo dikenal dengan “Kopi Organik” dengan multi varietas beraroma dan rasa yang khas.

Hanya saja, produksi kopi di Jawa khususnya lebih tinggi dengan sistim naungan yang rapi dan terawat. Demikian halnya pemangkasan.Kopi gayo masih menyimpan kekuatan ekonomi yang besar dan sumber kesejahteraan bagi petani dan daerah yang mengutip PAD. Caranya adalah peningkatan jumlah produksi/hektar/tahun. Karena soal kualitas, kopi gayo tidak diragukan lagi. Apalagi kopi gayo memiliki banyak sertifikat dunia yang membuat harganya lebih baik.

Cara lainnya adalah mengubah pola jual dari green bean (beras kopi) menjadi minimal kopi Gongseng (Roasting) hingga kopi bubuk. Minimal seperti Timor-Timor, negara pecahan Indonesia yang mengharamkan kopinya dijual atau dibawa dalam bentuk kopi beras. Tapi minimal harus dalam bentuk Kopi Gongseng sehingga harganya lebih tinggi.

Karena kopi adalah kekuatan rakyat, maka perlu pemahaman lebih tinggi daripada hanya menjadi petani kopi tradisional.  Caranya dengan penyuluhan intensif, brosur, pelatihan, hingga studi banding serta mekanisasi pertanian, hingga petani bisa menjadi tuan bagi tanahnya. Bukan sebaliknya, menjadi buruh ditanah sendiri. Atau istilah gayonya, “Berempas, nume berempus”.

Karena selama ini pola studi banding malah digalakkan kalangan anggota DPRK setempat sebagai alasan lain plesiran dengan biaya negara tapi manfaatnya tidak berdampak bagi masyarakat.

Jika Pemda mampu menaikkan produksi petani dari 600-700 kilogram/hektar/tahun, bukan tidak mungkin, kopi menjadi kekuatan ekonomi tak terbatas yang mensejahterakan banyak pihak. Selain itu, cita-cita kalangan muda gayo untuk menjadikan Aceh Tengah sebagai “Kabupaten Kopi” dapat segera terwujud.

Bukan itu saja, pembuatan tugu kopi sebagai proklamirnya Kabupaten Kopi, harus direspon dan didukung, terutama Pemda dan DPRK. Bukan tidak mungkin, gayo kedepan akan menjadi kiblat kopi Indonesia. Dengan dibangunnya Pusat Penelitian kopi, plasma nutfah dan sejumlah topik berbasis kopi rakyat. Tidak ada yang mudah memang, tapi tidak juga sulit jika arah pembangunan ekonomi kopi dibangun dengan visi dan misi yang jelas.Terukur dan terarah. Tidak berhenti jika satu periode bupati berakhir, tapi terus berkelanjutan. Seperti Presiden Soeharto membangun basis ekonomi Indonesia dengan Pelita, Repelita yang demikian populer dan diketahui rakyat banyak.

Apalagi, bagi rakyat Gayo, kopi sudah merupakan darah dan daging. Seperti yang ditulis Fikar W . Eda, kopi sudah ada sebelum Belanda tiba tahun 1904. Kala itu disebut Kawa. Dijadikan pagar, tumbuh menjulang.

Kita lambat soal kopi. Belanda, jauh lebih frofesional dengan memetakan ketinggian tempat dengan varietas yang sesuai sehingga berproduksi maksimal. Tapi jika semua pihak sudah sepaham soal kopi, kita juga bisa melakukan ‘Revolusi Kopi Gayo”. Tampaknya kekuatan itu ada ditangan rakyat Gayo. Bismillah.

Mengakhiri kunjungan di Kalisat Bondowoso rombongan Asisten Deputi Iptek Masyarakat, berencana mengunjungi kawasan Ijen. Gunung berapi yang menghasilkan belerang dan diekplorasi oleh rakyat yang mencapai 300 orang lebih.

Namun karena sudah sore, kunjungan ini urung dilakukan. Sambil rehat di dekat lokasi Ijen, tampak seorang pekerja yang mengambil belerang melintas. Namanya Yanto, berusia 47 tahun. Asalnya dari Blitar.

Yanto memanggul tak kurang dari 80 kilogram belerang dipundaknya.Menurut Yanto, setiap hari dia memanggul belerang sejauh 4 kilometer melintasi kawasan terjal Ijen guna mengambil serta membawa belerang ini ke lokasi penjualan.

“Satu kilo belerang dijual Rp.900,-“, kata Yanto. Bahu Yanto tampak membuntal dan mengeras menahan beban berat. Yanto mengaku sudah puluhan tahun mengandalkan belerang sebagai sumber ekonominya.

Yanto tak sendiri, ada 300 orang lebih yang bekerja sepertinya.Namun ajaibnya belerang kawah Ijen tak pernah habis. ‘Malah berbahaya kalau tidak diambil”, kata Yanto. Diceriterakan Yanto, belerang keluar dari kawah Ijen berupa cairan.

Hanya beberapa menit kemudian cairan ini kemudian membeku dan berwarna kuning. Inilah yang diambil setiap hari. Kegiatan Yanto dan kawan-kawannya di kawah Ijen menjadi tontonan menarik bagi banyak wisatawan lokal dan mancanegara.

Hingga setiap hari wisatawan mengabadikan Yanto dan yang lainnya. Namun Yanto tampak sudah biasa menghadapi lensa kamera. Yanto terus bekerja dan seolah menjadikan pekerjaan mengambil belerang Ijen, sebagai seni dan ritual yang khusuk.(Jember 19-20/10/2012.Tulisan ini sekaligus laporan saya kepada masyarakat banyak atas penggunaan uang negara yang dipakai selama kunjungan dua hari. Semoga bermanfaat dan berpahala)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.