(Bagian Kedua)
Oleh: Johansyah*
TULISAN ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya dengan tema mengonsep pendidikan Gayo yang telah mengupas sekitar permasalahan struktural pendidikan di Gayo. Pada bagian ini tulisan akan fokus pada pemetaan beberapa permasalahan kultural pendidikan yang meliputi beberapa hal; pertama adalah lemahnya trasformasi budaya Gayo dalam lingkungan keluarga dan lemahnya penerapan adat istiadat dalam lingkungan masyarakat. Kedua adalah kesalahpahaman sebagian besar masyarakat dalam memaknai kesuksesan seseorang dalam pendidikan.
Ketiga adalah masyarakat Gayo kurang peka terhadap perubahan sosial dan minimnya partisipasi mereka dalam menunjang perkembangan dan kemajuan pendidikan. Adapun yang keempat adalah bahwa masyarakat Gayo kurang tertantang untuk lebih agresif dalam mengembangkan diri, di mana hemat penulis salah satu penyebabnya karena faktor geografis dan sumber daya alam yang memadai. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan dalam pembahasan berikut ini.
Permasalahan pertama terkait dengan lemahnya transformasi budaya dalam keluarga dan masyarakat Gayo, di mana etnisitas dan identitas semakin kabur. Salah satu buktinya adalah bahwa banyak di antara generasi muda yang tidak mengenal tutur dalam berkomunikasi. Selain itu banyak di antara generasi muda yang tidak memahami makna sumang dalam adat Gayo. Masalah lainnya adalah bahwa keberadaan bahasa Gayo tampaknya semakin terpinggirkan karena bahasa komunikasi yang digunakan dalam keluarga saat ini kebanyakan menggunakan bahasa Indonesia. Pada hakikatnya kurikulum pokok dalam pendidikan informal, terutama keluarga tidak lain adalah budaya lokal yang ditransformasikan dan diinternalisasikan melalui berbagai aktifitas dan kegiatan keluarga maupun masyarakat.
Barangkali kita belum merasakan bagaimana peran penting budaya dalam melestarikan etnisitas dan identitas, serta dalam membentuk nilai-nilai etika generasi muda dan memelihara identitas sosial masyarakat Gayo. Namun begitulah, sesuatu itu terkadang baru terasa bermakna dan sangat kita rindukan ketika dia telah sirna dari hadapan kita. Saat ini mungkin kita belum merasakan pentingnya budaya Gayo, akan tetapi ketika dia tidak lagi mewarnai kehidupan masyarakan dan budaya baru bermunculan, maka di sanalah masyarakat kita baru sadar bahwa ada yang hilang dari mereka. Penulis khawatir, jangan-jangan ketika budaya Gayo mulai terkikis, kita sama sekali merasa terusik atau merasa kehilangan.
Permasahan kedua terkait dengan kekeliruan dalam menetapkan indikator keberhasilan pendidikan. Pada umumnya masyarakat Gayo menganggap bahwa pendidikan itu berhasil apabila anaknya telah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kendatipun anaknya bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji besar, namun tetap saja orang tuanya merasa belum puas sebelum anaknya tersebut lulus jadi PNS, walaupun dengan pangkat dan golongan yang rendah.
Jadi, mindset kesuksesan (mujadi jema) dalam masyarakat Gayo sangat identik dengan PNS. Alasannya sangat polos, karena kalau di PNS sudah ada jaminan masa depan, kalau sakit gaji tetap jalan. Pola pikir ini pula yang menurut penulis banyak memengaruhi para orang tua untuk lebih mengarahkan anak rawan (anak laki-laki) untuk menjadi polisi atau tentara, alasannya biar cepat dapat gaji dan menjadi kebanggaan keluarga. Sementara anak-anak banan (perempuan) banyak yang diarahkan untuk masuk sekolah atau kuliah keperawatan, maupun kedokteran karena bidang ini dianggap dengan cepat memperoleh pendapatan material.
Di satu sisi, keinginan untuk memperoleh materi adalah wajar karena itu adalah kecenderungan alamiah manusia. Namun harus dicatat, bahwa pola pikir semacam ini secara tidak sadar banyak menyeret masyarakat untuk berpikir pragmatis-materialis-individualis. Bayangkan saja, banyak orang tua menjual kebun atau sawahnya yang diperuntukkan bagi kelulusan anaknya saat masuk anggota polisi atau TNI. Berapa pun yang diminta calo agar anaknya lulus, orang tua menyanggupi karena dia percaya bahwa setelah anaknya lulus menjadi polisi, langsung dapat memperoleh gaji. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan orang yang mengikuti kuliah, setelah menjadi sarjana, lapangan pekerjaan sangat sulit untuk diperoleh, apalagi menjadi PNS pada zaman sekarang.
Masalah ketiga adalah menyangkut dengan ketidakpekaan masyarakat dalam menyikapi perubahan dan perkembangan pendidikan. Walaupun masyarakat Gayo dikenal sebagai komunitas yang mudah menerima perubahan, tetapi sebenarnya sangat pasif dalam menyikapi perubahan itu sendiri. Makna kemudahan dalam menerima perubahan cenderung kepada hal-hal yang berbau dan terkesan modern tanpa pemaknaan yang mendalam dan filter yang baik terhadap substansi perubahan itu sendiri. Minsalnya dalam urusan gaya pakaian dan tiruan gaya bahasa luar terasa sangat dominan pada generasi muda kita dalam masyarakat Gayo. Di sisi lain respon terhadap perkembangan pengetahuan sepertinya sangat lamban. Penulis pernah bercerita tentang kehidupan mahasiswa cost di Takengon yang kuliah di beberapa perguruan Tinggi Aceh Tengah. Para mahasiswa/i ini sukanya hanya cerita masalah pacaran, dan jarang bercerita tentang perkuliahan mereka.
Permasalahan keempat adalah masyarakat Gayo kurang agresif untuk meningkatkan kondisi kehidupannya ke arah yang lebih mapan, di mana salah satu penyebabnya adalah karena faktor geografis yang sangat baik. Memang kondisi alam di Gayo dikenal sangat subur dan sangat mudah untuk diolah untuk menghasilkan aneka kebutuhan hidup. Hal inilah yang membuat masyarakat Gayo tidak banyak yang berinisiatif untuk bertolak dari tempatnya mencari tempat lain, atau pergi merantau karena sudah merasa nyaman dan segala kebutuhan pangan, sandang, dan papan sudah terpenuhi.
Lepas dari keuntungan faktor alam ini, kerugiannya adalah bahwa masyarakat tidak memiliki motivasi kuat untuk lebih berkembang dan tidak memiliki semangat dan daya saing yang tinggi. Biasanya, orang baru berpikir dan merenung adalah ketika dihadapkan kepada sistusi pelik, permasalahan, atau kesulitan yang terus menghimpit. Dalam kondisi inilah mereka dengan sendirinya memutar otak untuk dapat keluar dari permasalahan yang membelitnya. Kondisi inilah yang belum banyak dialami atau dihadapi masyarakat Gayo sehingga daya saingnya rendah.
Siatuasi sosial masyarakat Gayo dengan daya saing yang rendah ini tentu memengaruhi tingkat kreatifitas, semangat, dan motivasi anak-anak karena mereka dibesarkan dalam budaya dengan daya yang daya saingnya rendah dan miskin tantangan. Inilah beberapa persoalan kultural pendidikan di Gayo yang menurut penulis perlu untuk didalami lagi sekiranya kita ingin mengonsep ulang pendidikan Gayo. Untuk tawaran solusi dari persoalan pendidikan di Gayo akan dipaparkan pada begian berikutnya. (johansyahmude[at]yahoo.co.id)
*Pemerhati Pendidikan Aceh dan Gayo.