Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]
Keberagamaan adalah suatu realita bagaimana masyarakat mengamalkan keyakinannya dalam kehidupan sehari-hari, belum tentu keyakinan yang benar akan melahirkan keberagamaan yang benar apalagi keyakinan yang salah. Pemahaman seperti ini penting diketahui oleh semua orang terlebih bagi mereka yang ingin merubah prilaku diri dan prilaku masyarakat di sekitar mereka.
Prilaku keberagamaan yang ada dalam masyarakat untuk sebagian orang sudah dianggap sebagai kebenaran yang tidak bisa berubah, ini diantaranya disebabkan oleh karena ketidak mampuan mereka yang menjadi pemandu agama dalam masyarakat untuk membedakan antara yang dikatakan dengan agama yang berasal dari tuntunan Tuhan dan prilaku yang berasal dari masyarakat yang sebenarnya bersalahan dengan tuntunan agama tersebut, namun hal seperti ini sering dicarikan soslusi pembenaran. Di sisi lain juga pemandu agama sangat ketat membuat batasan antara agama dan budaya, seolah keduanya tidak bisa padu dalam diri seorang manusia.
Masih sempat atau masih ada waktu, itu adalah ucapan yang sering terucap dari diri kita sebagai individu untuk melegalkan kesalahan yang kita buat, karena keyakinan hari esok atau hari selanjutnya sebagai hari kehidupan yang sebenarnya, maka tidak jarang terjadinya pembiaran untuk orang orang disekitar kita untuk melakukan kesalahan dan kejahatan. Alasan lain yang sering kita anut sebagai pembenaran adalah kata “manusia”, dimana setiap manusia pasti punya kesalahan, setiap manusia pasti khilaf, padahal kesalahan yang dilakukan dengan penuh pengetahuan dan kesadaran yang jauh dari kreteria khilaf.
Dalam masyarakat kebanyakan memaknai hari esok sebagai masa tua, masa ini disebut juga sebagai masa pertaubatan, sedangkan hari ini adalah hari dimana manusia bebas berbuat, bebas mencari dan bebas beraktifitas. Namun manusia tidak tahu bahwa sebenarnya hari ini adalah hari melahirkan keterbiasaan untuk hari esok, mereka yang terbiasa berbuat salah pada hari ini dan hari sebelumnya maka sangat sulit untuk merubah diri dan demikian juga dengan mereka yang terbiasa dengan berbuat baik, maka hari esoknya akan terbiasa dengan kebaikan. Tuhan memberi fasiltas kepada mereka yang benar-benar khilaf dalam melakukan untuk bertaubat, dengan penuh kesadaran mengakui kesalahan yang pernah dilakukan dan berjanji pada diri dan kepada Tuhan untuk tidak melakukannya lagi.
Kalau memang manusia harus membuat batasan bahwa hari esok adalah hari untuk berbuat baik, sebenarnya Islam juga telah membuatnya dengan sebutan baligh untuk semua orang. Pada batasan hari sebelum esok menurut Islam dimana pada hari itu semua prilaku itu tidak dinilai, karena pelakuknya dinggap tidak mampu melakukan secara benar apa yang dierintahkan. Namun ketika tanda hari esok sudah ada ada, maka tidak ada lagi untuk menunda perbiatan baik, karena kejahatan akan dinilai sebagai kejahatan dan kebaikan akan dinilai juga sebagai kebaikan dan keduanya tidak lagi dapat disatukan. Makna batasan esok yang ditetapkan oleh Islam inilah yang dapat kita jadikan sebagai panduan kalau memang kita harus membuat kata masih ada hari esok atau masih ada waktu.
Prilaku keberagamaan yang dianggap benar oleh masyarakat padahal bersalahan, diantaranya adalah mereka yang melakukan perbuatan zinah dan selanjutnya dinikahkan kemudian mereka dinyatakan bebas dari semua hukuman. Tradisi ini seolah merupakan perintah agama, sehingga mereka yang melakukannya menganggap diri terbebas dari hukuman agama dan merasa tidak pernah bersalah. Tidak ada aturan adat yang menyatakan praktek ini salah dan tidak ada juga keputusan ahli agama yang membicarakannya hal tersebut. Praktek yang dipahami sebagai praktek keberagamaan seperti ini yang menjadikan sebab tidak berkurangnya kejahatan zinah di dalam masyarakat kita.
Masyarakat harus tau bahwa perbuatan zinah dan nikah bukanlah merupakan rangkaian sebuah perbuatan, keduanya berbeda dan tidak ada kaitan. Zinah adalah kejahatan yang dihukum dengan hukuman yang pasti, anak yang dilahirkan dari perbuatan tersebut menurut pemahaman ulama tidak mempunyai wali sebagaimana orang yang lahir dalam perkawinan yang sah, anak tersebut tidak mempunyai hubungan nasab dan tidak boleh memanggil panggilan ayah (dalam makna hukum) kepada orang yang menghamili ibunya. Kasus orang hamil lalu dinikahkan banyak terjadi dalam masyarakat, namun mereka yang tidak mempunyai nasab tidak dapat diketahui, ini disebabkan sebuah anggapan salah bahwa antara zinah dan nikah adalah serangkaian perbuatan yang tidak dapat dipisahkan.
Tidak banyak yang tau aturan yang ada di dalam Islam, bagaimana prilaku perceraian antara suami isteri, kapan waktu perceraian harus dilakukan atau diucapkan. Karena ketidak tahuan maka seorang suami atau isteri secara bebas mengatakan kata cerai tersebut kapan saja, sedang agama sudah mengatur bahwa kata cerai hanya boleh dilakukan atau diucapkan ketika isteri dalam keadaan suci (thalak sunni) dan apabila kata tersebut dilakukan atau diucapkan dalam keadaan tidak suci maka hukumnya haram (thalak bid’i), kendati akibat keduanya terjadi yaitu cerai.
Inilah diantara sebabnya sehingga kasus perceraian yang tercatat di Mahkamah Syar’iyyah melebihi jumlah hari dalam setahun, lain lagi perceraian yang tidak tercatat yang disebabkan oleh perkawinan yang juga tidak tercatat di Kantor Urusan Agama.
Masih banyak prilaku keberagamaan yang ada dalam masyarakat disebabkan dari pemahaman masih ada hari esok atau masih sempat untuk berbuat baik, karena itu harus kita ingat bahwa kata khilaf bukanlah sebuah perilaku yang lakukan dengan pengetahuan dan kesadaran.