Saat melintasi sebuah kawasan hutan di wilayah Bintang, Aceh Tengah, belum lama ini, saya melihat 6 orang pemburu. Mereka menenteng senapan angin, memburu hewan hewan liar yang dilindungi.
Saya sempat berdialog dengan mereka. Para pemburu liar ini mengakui fokus memburu burung yang dilindugi. Berbagai jenis burung besar yang harganya mahal di pasar gelap, telah menggiurkan mereka . Salah satu buruan yang paling mereka cari adalah sejenis burung dengan paruh besar, masyarakat Gayo menyebutnya reje bujang.
Mendengar nama reje bujang, mungkin bagi masyarakat luar Gayo agak terasa asing. Tetapi begitu melihat performance burung itu. Masyarakat Indonesia mengenal jenis burung ini dengan nama burung rangkong atau enggang yang dalam bahasa latin dinamakan bucheros.
Di Indonesia ada sekitar 57 spesies burung langka ini. Satwa yang dilindungi ini sebenarnya paling banyak terdapat di pulau Kalimantan, tapi bebarapa spesies juga terdapat di hampir semua pulau di Indonesia, termasuk pulu Sumatera.
Di Takengen sendiri, habitat burung reje terdapat di kawasan ekosistem gunung Leuser, yang meliputi beberapa kabupaten di bagian tengah provinsi Aceh. Jenis burung besar ini biasanya membuat sarang di pucuk pohon-pohon tinggi yang jarang dijamah manusia. Hanya sesekali saja burung ini bertengger di dahan-dahan rendah yaitu pada saat mencari makan.
Lalu mengapa eje bujang diburu? Mungkin itulah pertanyaan yang muncul. Untuk menangkap burung ini hidup-hidup sangatlah sulit. Karena, selain bersarang di pohon yang tinggi, burung ini juga memiliki habitat di kawasan hutan yang jauh dari pemukiman masyarakat.
Oleh karena itu para pemburu liar membidik burung ini dengan senapan angin, dengan caliber peluru yang besar, ada yang mempergunakanya 5 mili. Mereka mengincar paruh burung ini. Konon harga paruh dari satwa langka ini isa mencapai ratusan juta rupiah, itulah salah satu penyebab satwa itu terus diburu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka mengejar keuntungan pribadi tanpa peduli dengan kelastarian satwa yang dilindungi itu.
Usaha preventif dengan mengadakan penyuluhan dan sosialisasi untuk tidak menangkap atau memburu satwa ini belum terdengar dilakukan oleh phak-pihak terkait seperti Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Tengah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli lingkungan lainnya.
Akibat tidak adanya peyuluhan ini perburuan satwa ini terus berlangsung. Pemburu-pemburu liar yang hanya mengejar keuntungan pribadi terus “bergerilya” di hutan-hutan untuk mendapatkan reje bujang.
Populasi burung langka ini semakin menurun dan kalau fenomena ini tidak segera dicarikan solusi, bukan tidak mungkin suatu saat anak cucu kita hanya dapat mendengar cerita tentang burung dengan paruh besar ini.
kelestarian burung-burung langka dan satwa yang dilindungi harus terus dijaga. Pemburu-pemburu liar itu harus terus “diburu” untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka yang telah melanggar undang-undang lingkungan hidup.
Reje Bujang harus diselamatkan dari tangan-tangan jahil. Tindakan tegas bagi para perusak lingkungan itu harus diterapkan agar dapat memberi efek jera. Tentu saja untuk menyelamatkan reje bujang tidak cukup dengan menangkap dan memenjarakan para pemburu liar itu, mata rantai perdagangan satwa liar juga harus diputuskan.
Semua pihak yang terlibat dalam mafia perdagangan satwa liar ini harus ‘dibasmi” habis, karena sesungguhnya merekalah yang punya andil besar punahnya satwa-satwa liar yang menjadi kekayaan alam negeri kita. Sementara pemburu itu tidak lebih dari para “pekerja” untuk mendapatkan “upah” berapa dengan harga yang menggiurkan. Sementara keuntungan yang sangat besar sebenarnya lebih dinikmati oleh mafia perdagangan satwa liar.
Tapi tindakan tegas kepada para penjahat lingkungan itu tidak akan berarti tanpa dukungan dan aprsiasi dari masyarakat. Perlu ada kesadaran masyarakat yang memiliki hobby mengoleksi satwa langka, maupun mengoleksi perhiasan dari bagian tubuh satwa-satwa yang di lindungi itu.
Tidak dapat dipungkiri, munculnya pasar gelap satwa langka ini tidak terlepas dari ego para kalangan berduit. Mereka mengoleksi perhiasan yang berasal dari bagian tubuh satwa liar seperti gading gajah, kuku dan taring harimau, kalung dan cincin dari paruh burung enggang alias reje bujang.
Sikap hedonis dari kalangan berduit itu juga bagian tak terpisahan dari kepunahan satwa-satwa itu. Perlu kesadaran bahwa tindakan dan prilaku mereka itu juga melanggar undang-undang. Jika tindakan preventif tidak mempan bagi mereka, maka tindakan hukum tentu jadi pilihan terbaik.
Reje Bujang, salah satu burung kebanggaan negeri ini dan juga satwa liar lain yang dilindungi perlu terus dijaga kelestariannya. Upaya penyelamatan satwa ini juga harus melibatkan seluruh elemen masyarakat. Harus ada kesadaran bahwa alam dan lingkungannya termasuk satwa-satwa yang ada didalamnya bukanlah warisan buat kita tapi titipan dari anak cucu kita.
Memang tidak ada data pasti tentang populasi reje bujang alias rangkong ini, tapi semakin jarang kita melihat jenis satwa “cantik” ini membuktikan bahwa populasi jenis urung ini terus berkurang. Harus ada tindakan terpadu dan berkelanjutan untuk menyelamatkan reje bujang, sebelum burung ini benar-benar “musnah”.
Sebuah kerugian besar jika satu persatu kekayaan alam kita “lenyap” dari permukaan bumi ini. Karena hakikatnya keberadaan satwa-satwa itu adalah bagian dari keseimbangan alam yang kalau tidak dijaga dan dipertahankan, akan dapat menimbulkan bencana bagi kita semua.
Tidak ada kata lain selain, kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau tidak kita, siapa lagi yang akan menyelamatkan kekayaan alam anugrah Ilahi yang luar biasa ini. (Kayu Kul)