Gayo dan Potret Buram Tradisi Menulis

Oleh Johansyah*

 

Tulisan ini mencoba mengakui kekurangan diri sebagai orang Gayo yang tidak begitu gemar menulis. Memang secara umum orang Gayo lebih dominan dengan tradisi lisan atau bercerita. Hal ini juga yang menjadi salah satu penyebab kesulitan kita melacak secara historis tentang Gayo. Referensi yang kita temukan bahkan banyak ditulis oleh orang luar seperti Snouck Hurgronje.

Kenyataan ini setidaknya menjadi tusukan mental bagi kita warga Gayo yang pada hakikatnya sama dengan komunitas lain, tidak bodoh dan tidak lebih rendah dari mereka. Yang membedakan kita dengan komunitas yang lebih eksis dalam bidang tradisi menulis sebenarnya adalah spiritnya.

Tradisi ‘katanya’ atau kene jema jemen (kata orang dulu) masih terus menjadi referensi dan rujukan kita dalam mendaur ulang masa lalu Gayo yang tingkat kebenarannya tentu masih diragukan. Untuk kalangan awam barangkali hal semacam ini bukan menjadi masalah serius akan tetapi ketika dihadapkan pada dunia ilmiah semuanya jelas membutuhkan pembuktian untuk mendapatkan pengakuan.

Tradisi menulis dalam pergulatan sejarah Gayo hingga kini dapat dikatakan sebagai sejarah kelam yang memprihatinkan. Mungkin dari jumlah populasi masyarakat gayo yang ada saat ini hanya satu persen saja yang masuk dalam kelompok tradisi menulis dan hal ini pun mungkin didominasi oleh kalangan akademisi atau mereka yang memperoleh pendidikan sarjana.

Awal tahun 2010, penulis dengan beberapa teman di STAI Gajah Putih Takengon pernah melakukan sebuah penelitian tentang ulama-ulama Gayo dan hasilnya direncanakan sebagai sebuah buku ensiklopedi ulama Gayo. Nah, ketika penelitian berjalan, salah satu kendala besarnya adalah referensi tentang tokoh tersebut yang sangat minim bahkan banyak yang tidak ada sehingga terpaksa hanya mengadalkan data lapangan yang diperoleh dari rekan, keluarga maupun murid ulama yang bersangkutan. Di sini juga ada kesulitannya yakni di antara rekan, keluarga maupun murid ulama tersebut sudah sulit untuk dilacak. Akhirnya hingga saat ini penelitian tersebut belum juga rampung karena kesulitan sebagaimana penulis sebutkan.

Dalam skala nasional, barangkali tokoh-tokoh Gayo yang tercatat menjadi penulis masih dapat dihitung dengan jari. Katakanlah Prof. Daud Ali (bidang hukum), Prof. Baihaqi AK (pendidikan), Prof. M.J. Melalatoa (antropologi), Prof. Al Yasa’ Abubakar (hukum) dan beberapa tokoh lainnya. Ada juga beberapa tokoh di tingkat daerah yang begitu serius menulis seperti A.R Hakim Aman Pinan (sejarah Gayo), Drs. H. Mahmud Ibrahim (Syari’at dan adat Gayo). Penulis menganggap jumlah tersebut masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah orang Gayo terutama yang memperoleh pendidikan tinggi.

Gambaran yang penulis ulas di atas merupakan bukti betapa lemahnya tradisi menulis orang Gayo pada masa lalu hingga kini. Sulit sekali bagi kita untuk melacak informasi-informasi penting mengenai hal-hal yang ingin kita tulis. Untuk itulah, sejarah kelam ini tentunya tidak lagi kita warisi dan wariskan lagi. Sebagai orang Gayo (terutama yang memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada tingkat perguruan tinggi) sejatinya kita memikirkan masalah ini bersama sebagai upaya baru untuk memulai sebuah tradisi menulis sehingga catatan-catatan kita akan di baca oleh generasi Gayo berikutnya.

Dalam suasana dunia yang terus berkembang, rasanya untuk penguatan eksistensi Gayo sekarang dan masa yang akan datang, sebagai orang Gayo kita harus menggiring diri untuk hijrah dari tradisi lisan menuju tradisi tulisan. Sebuah tradisi yang berusaha menumbuhkan semangat baru untuk menulis dan terus menulis apa saja yang kita alami, dari hal-hal yang dianggap kecil dan sepele sampai nanti kepada hal-hal yang sangat urgen seperti sejarah Gayo dan sebagainya.

Menulis memang pekerjaan yang terkadang membosankan, berbeda dengan budaya lisan yang tidak membutuhkan gramatika bahasa dan terstruktur serta sistematis sehingga lebih mudah dilakukan. Semua orang mengalami bahwa ketika bercerita mungkin dia dapat melakukannya berjam-jam, namun ketika diminta untuk menulis baru di baris pertama sudah mulai merasa bingung. Mengapa sampai demikian?, karena memang tidak terbiasa dengan menulis.

Pada hakikatnya, seperti yang banyak dikatakan orang bahwa sesuatu yang dianggap kecil tetapi karena ditulis dan terdokumentasi dengan baik maka ia menjadi besar. Sebalik banyak sesuatu yang besar tetapi karena tidak ditulis menjadi kecil. Barangkali jika merujuk kepada sejarah Gayo, kita masuk kepada kelompok yang kedua. Cobalah kita lihat bagaimana kakek atau orang tua mengatakan bahwa orang Gayo adalah penduduk asli Aceh, suku tertua di Aceh. Namun karena semua itu tidak dicatat maka orang lain bisa saja mematahkan argumen tersebut dan bisa saja mengaburkannya.

Banyak yang perlu kita tulis jika memang serius ingin menulis tentang diri dan identitas kita sebagai orang Gayo. Minsalnya dari segi bahasa Gayo, pemetaan suku yang ada di Gayo, pergeseran budaya, karakteristik orang Gayo dan aspek-aspek lainnya yang sebenarnya masih sangat minim ditulis dan terdokumentasi.

Memulai menulis

Seperti yang disinggung sebelumnya, membiasakan untuk menulis adalah sesuatu yang masih sulit bagi kebanyakan orang dan mungkin bagi penulis sendiri. Seperti kata pepatah ‘semua permulaan itu sulit’. Maka ketika kita memulai dan dapat melaluinya, dengan sendirinya kita akan lepas dari kesulitan tersebut. Lambat laun kita akan terbiasa dengan pekerjaan tersebut dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang harus dihindari.

Pengalaman yang pernah penulis alami ketika sulit mengembangkan ide yang sudah ada lalu semuanya buntu. Lalu akhirnya penulis berinisiatif untuk menulis otobiografi yakni tentang riwayat hidup hidup penulis. Ternyata tidak terasa dalam waktu sekejap penulis dapat menghasilkan tulisan beberapa lembar karena memang tidak membutuhkan pemikiran mendalam dan analisis panjang sebab yang ditulis adalah tentang perjalanan hidup diri sendiri.

Barangkali inilah yang mejadi salah satu jalan mudah seseorang untuk memulai menulis yaitu dengan menulis riwayat hidup sendiri apa adanya. Dengan demikian secara berlahan kita mulai menapak satu dua tangga untuk menjadikan aktifitas menulis sebagai sebuah tradisi yang melekat dalam hidup kita.

Sebagai catatan akhir tulisan ini perlu kita renungkan bersama bahwa urang Gayo adalah komunitas minoritas. Umumnya kaum minoritas biasanya akan termarjinal oleh mayoritas dalam berbagai aspek kehidupan kecuali ketika mereka kuat secara inteletual dan diperhitungkan dalam percaturan dinamika pengetahuan seperti halnya Israel yang jumlahnya sedikit tapi dapat mengendalikan politik internasional. Artinya jika Gayo tidak ingin dianggap sampah maka harus dibuktikan dengan kemampuan kita untuk dapat bersaing dan disegani. Ketahuilah bahwa salah satu caranya adalah dengan menjadikan menulis sebagai tradisi. Ingatlah kata petuah para orang tua kita ‘tikik tapi mersik gere lemik’.

 

*Penulis adalah Ketua Jurusan STAI Gajah Putih Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.