Murum-Murum Mubangun Gayo

Wilayah Gayo yang  secara teritorial mencakup lima Kabupaten (Aceh Tengah, Kutacane, Gayo Lues dan Bener Meriah di tambah dengan Serbe Jadi dan Kalul), ke empat Kabupaten yang disebutkan pada awalnya bergabung. Luasnya wilayah merupakan kendala dalam pembangunan, karena pertimbangan percepatan pembangunan maka secara administrasi Gayo di pecah sampai sekarang ini menjadi empat. Daerah Serbe Jadi di Aceh Timur dan sebagiannya masuk ke Tamiang, sampai sekarang masih merasakan lambannya pembangunan. Pernah pada tahun 2009 bertemu dengan tokoh masyarakat  Serbe Jadi di Langsa,  mereka mengatakan kami ini “serbe jadi (artinya asal jadi)” artinya sama dengan orang asing tinggal di negeri orang.

Mereka yakin satu saat mereka akan berpisah dari Aceh Timur, hanya saja kapan waktunya mereka belum tahu. Ini menggambarkan kepada kita, bahwa perhatian pembangunan kepada masyarakat segaris keturunan dengan kita belum merata. Mereka tidak sanggup berteriak sendiri, karena mereka sedikit dan tempat tinggal mereka sangat jauh untuk dijangkau, segala aspek kehidupan masih tertinggal. Lalu apa yang bisa kita kerjakan untuk wilayah semua Gayo, tidak hanya Serbe Jadi ?

Irmawan, S.Sos., seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) asal Gayo Lues, melalui media Aceh TV dalam acara KEBERNI GAYO yang tayang setiap hari Jum’at pukul 20.00 sampai dengan 21.00 WIB,  menjelaskan secara menyeluruh permasalahan yang dihadapi Gayo selama ini, sehingga tidak ada jalan lain untuk membangun Gayo selain dari kebersamaan.

Gayo yang meliputi teritorial, penduduk, bahasa dan budaya adalah jati diri. Karena itu sebagai orang Gayo kita tidak mungkin menghindar apalagi keluar dari identitas tersebut, saya merasa tidak tersinggung ketika orang lain menghina saya sebagai individu, tapi saya akan sangat marah dan tersinggung ketika orang lain mengatakan Gayo dalam pemahaman negatif. Di sisi lain identitas sebagai orang Gayo adalah pengakuan dari orang lain, kemanapun kita pergi dan dimanapun kita berada orang lain akan katakan bahwa kita adalah orang Gayo, kendati sebagian orang merasa malu dikatakan sebagai orang Gayo.

Pemisahan wilayah secara administrasi bukan berarti kita disuruh untuk bertanding, untuk selalu mencari kelemahan yang lain. Karena ada sebagian orang yang berprinsip selalu mengurus ibadah orang, selalu mencari perbedaan. Dari itu kita harus ingat “Tuhan tidak merubah nasib seseorang kecuali orang itu sendiri yang merubahnya”.

Jadi menurut beliau tidak seluruhnya benar jika kita katakan bahwa kemunduran, keterisoliran, kelambanan pembangunan Gayo disebabkan oleh kebijakan politik orang lain yang bukan Gayo. Tetapi lebih disebabkan oleh kita-kita juga. Sebagai contoh bisa kita ambil bagaimana pemahaman masyarakat Gayo ketika pemilihan anggota legislatif, kita tidak bersatu dan tidak mau untuk sepakat sehingga yang mengambil keuntungan adalah orang lain, dan akibat dari situ apa yang kita dapatkan sekarang.

Seorang penelpon yang tidak menyebutkan identitasnya mempertanyakan tentang pelestarian budaya, menurut beliau pelestarian didong jalu memberi efek sangat negatif terhadap kebersamaan dan persatuan. Untuk hal itu nara sumber menjelaskan bahwa perintah pelestarian budaya sebenarnya tidak diperlukan, karena budaya itu sudah menjadi bagian dari diri orang Gayo, artinya kalaupun tidak diperintahkan pelestarian budaya, budaya itu pasti lestari. Sedangkan makna didong jalu jangan dipahami dengan makna yang yang tidak baik, sebab dalan media itulah orang akan mengasah kemampuan secara spontan dalam menjawab pertanyaan orang lain. Semua orang (group) berusaha menang dan berusaha mendapat pengakuan dari orang lain, disamping juga pendengar akan merasa tertarik dengan adanya kompetisi, kalau tidak ada kompetisi pasti tidak ada orang yang mau mendengarkan.

Contoh lain bisa kita lihat sumber daya manusia (SDM) orang Gayo, jumlah profesor orang Gayo kalau kita hitung tidak habis jari sebelah tangan, demikian juga dengan jumlah doctor tidak habis jumlah jari dua tangan. Untuk ini siapa yang kita salahkan, sedangkan pemerintah tidak pernah memberi batasan jumlah orang mengikuti pendidikan.

Memang ada ketidakadilan yang kita rasakan, seperti ketika menentukan dapil untuk pemilihan legislatif, kenapa harus memisahkan antara Aceh Tengah, Bener Meriah dengan Kutacane dan Gayo Lues. Menggabung Aceh Tengah, Bener Meriah dengan Bireuen, menggabung Kutacane, Gayo Lues dengan Singkil dan Subulussalam. Sebenarnya Kalau Gayo di gabung akan lebih memudahkan menyepakati arah pembangunan ke depan.

Problema yang juga dihadapi sekarang, adalah tidak adanya wadah yang dapat menyatukan kita. Kemana permasalahan yang dihadapi akan dilaporkan, siapa yang bisa membawa aspirasi Gayo secara menyeluruh. Karena itu sangat diperlukan pembentukan wadah, apakah nama Poros Loser, atau Percepatan Pembangunan Wilayah Pedalaman, atau nama lain yang nanti kita sepakati.

Hidup ini sama dengan sapu lidi, kalau satu lidi purih namanya kalau banyak baru sapu lidi. Kalau satu lidi tidak ada manfaatnya, paling digunakan untuk korekan gigi dan sangat mudah dipatahkan, tapi kalau menjadi sapu tidak ada yang dapat mematahkan dan kalau dijual bernilai.

Momen penting akan datang yaitu Pemilukada, baik Gub/Wagub atau Walkot/Wawalkot dan Bup/Wabup. Kita harus menentukan pilihan dan kita harus tunjukkan bahwa kita satu, kegunaannya adalah untuk menunjukkan bahwa kita punya bargaining. Karena juga untuk Kota Banda Aceh menurut catatan statistic jumlah orang Gayo ada sekitar 20 %, ini harus kita manfaatkan demi kemajuan Gayo pada masa mendatang. (Drs. Jamhuri, MA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.