Jakarta | Lintas Gayo : Dirjen Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar mengatakan, pariwisata tidak bertentangan dengan budaya dan agama, hanya saja tinggal bagaimana mengemasnya sesuai dengan konteks daerah masing-masing.
Dirjen Pemasaran menyampaikan hal ini dalam Seminar bertema “Pemantapan Jaringan Promosi Pariwisata Daerah untuk Membangun Pariwisata Indonesia” digelar Kadin Padang dengan PHRI Sumbar, di Padang, Kamis (16/6)
Menurut Sapta, budaya dan agama jangan dijadikan hambatan dalam pengembangan sektor pariwisata, karena sudah ada regulasi yang mengatur pariwisata tidak bertentangan dengan agama dan budaya.
Malahan, keunikan budaya dan tradisi-tradisi keagamaan yang dimiliki suatu daerah destinasi pariwisata harus dikembangkan menjadi daya tarik atau ikon untuk mengundang wisatawan.
Sapta mengatakan, sektor pariwisata Sumbar hanya tinggal mengemasnya karena potensi wisatanya tak diragukan lagi, dan banyak dikagumi kalangan wisatawan.
Jadi, destinasi sudah ada tinggal bagaimana melakukan pembenahan infrastruktur sambil jalan, sarana dasar pendukung seperti toilet-toilet harus diperbaiki.
Permasalahan toilet ini masih menjadi suatu kendala dan masih jauh dari pemenuhan standar, bila dibandingkan dengan pariwisata di sejumlah negara lain, misalnya di Perancis perilaku masyarakatnya mau membersihkan sendiri.
Namun, kalau di sejumlah daerah destinasi di Indonesia belum mencirikan kebersihan, artinya “kebersihan sebagian dari iman belum tergambar pada toilet yang ada”.
Justru itu, menurut dia, dalam pengembangan dan pengemasan pariwisata sarana-sarana dasar ini harus menjadi titik perhatian.
Selain itu, patut diperhitungkan pemberdayaan masyarakat di lingkungan kawasan obyek wisata, agar terbangun kesadaran terhadap pengembangan pariwisata.
“Masalah transportasi juga tak kalah penting, karena merupakan akses untuk memperlancar ke lokasi-lokasi pariwisata,” katanya.
Dalam pengembangan sektor pariwisatanya, Sumbar tidak mesti mengadopsi strategi daerah lain, karena Sumbar memiliki keunikan tersendiri. Apa yang ada di Sumbar belum tentu terdapat di daerah lain. Seperti halnya dengan Bali, tak akan ditemukan rumah bagontong atau kuliner seperti tunjang.
Menurutnya, Sumbar punya segmen pasar luas jika dilihat dari data kunjungan wismannya, dari Timteng, Australia, Malaysia dan Singapura.
Menyinggung masalah keamanan dan kenyamanan wisma di Sumbar, Sapta menilai, sudah mulai menunjukan perbaikan karena sudah tersedianya penginapan-penginapan yang representatif.
Dulu hanya beberapa hotel berbintang yang ada di Sumbar, tapi pascagempa justru tumbuh cukup banyak, di antaranya Basko, Pangeran, Inna Muara dan yang lainnya menyusul.
“Kini yang diperlukan ke depan adalah peningkatan pengemasan, promosi dan komunikasi antara pemerintah daerah dengan berbagai elemen pelaku pariwisata serta pihak berkepentingan lainnya,” katanya. (*)