Oleh Johansyah*
Di lembaga pendidikan (terutama pendidikan formal) guru memiliki peran strategis dalam mengembangkan potensi anak didik dan membentuk karakter mereka. Guru sering dipandang sebagai orang tua kedua setelah ibu/bapak anak didik di rumah. Tidak salah lantas kemudian kita menganggap sama antara keduanya dalam hal mendidik.
Dengan tugas dan perannya yang begitu penting maka figur guru yang kita dambakan idealnya adalah sosok yang memiliki kharismatik, yakni guru yang memiliki sifat-sifat baik yang pantas ditiru dan digugu oleh anak didiknya, tulus dalam membimbing dalam membina mereka serta tampil menjadi sosok berwibawa yang disegani.
Berwibawa dan disegani bukan berarti hemat bicara atau identik dengan sifat kejam guru sehingga anak didik takut. Akan tetapi kewibawaan pada hakikatnya merupakan kesatuan antara teori dan aksi atau perkataan dan perbuatan. Ketika guru mengajarkan anak didik untuk disiplin, maka guru tersebutlah yang tanpa terpaksa telah menerapkannya terlebih dahulu. Ketika guru mampu membangun konsistensi teori dan aksi ini maka dengan sendirinya kewibawaan itu akan muncul secara alami.
Sekiranya kita bertanya, manakah model guru yang pantas ditauladani?, maka jawabannya adalah guru yang selalu konsisten menyesuaikan perkataan dan perbuatannya. Sebab ketauladanan mustahil muncul dari sosok guru yang tidak konsisten antara lisan dan perbuatannya.
Setidaknya ada dua perspektif yang kita lihat untuk mengetahui figur guru kharismatik yakni dari perspektif agama secara umum dan profesionalisme secara khusus. dari perspektif agama, sosok guru kharismatik biasanya memiliki beberapa karakter; pertama, motivasi dan orientasi mengajarnya tidak semata-mata demi bayaran dan tunjangan materi serta jaminan kesejahteraan hidup. Lebih dari itu dia memiliki niat ibadah dan pengabdian yang begitu tulus untuk mendidik, membimbing dan membina anak didiknya.
Saat ini, banyak di antara guru yang lebih termotivasi oleh tunjangan matari sementara tidak pernah berpikir serius untuk menjadikan anak didik cerdas dan menjunjung tinggi moralitas. Orientasi materi tentu saja lumrah karena guru juga manusia. Namun sejatinya orientasi materi tersebut tidak membuat kabur misi utama pendidikan yakni membentuk karakter anak didik. Dengan kata lain niat guru menjadi pendukung kuat untuk menjadikan dirinya guru kharismatik.
Kedua, guru yang berpenampilan sederhana dan bersahaja. Makna sederhana dan bersahaja dalam hal ini bukan berarti berpenampilan serba terbatas, minsalnya memakai pakaian yang itu saja, berjalan selalu menunduk dan menjaga jarak dengan lawan jenis. Makna sederhana dalam hal ini adalah tampilan yang tidak berlebihan dan berpotensi menimbulkan penilai negatif dari kolega dan anak didiknya.
Guru yang berpenampilan berlebihan biasanya tidak memiliki itikad yang serius dalam mengembangkan potensi anak didiknya. Kita dapat lihat contohnya di sekolah tempat mengajar, di mana sebagian guru ada yang mengutamakan penampilan mewah dan tidak terlalu pusing dengan perkembangan anak didiknya. Guru model ini tentunya tidak dapat dijadikan tauladan oleh anak didiknya.
Ketiga, guru kharismatik adalah guru yang santun, tidak pernah berbicara dan berperilaku kasar terhadap anak didiknya walapun dalam kondisi marah. Kemarahan tersebut dia kendalikan dengan penuh kesabaran. Di sisi lain dia selalu berusaha memberikan pencerahan kepada anak didik agar tidak berkata dan berbuat bertentengan dengan aturan agama dan budaya. Dia mampu tampil menjadi sosok pembimbing, motivator, partner anak didiknya sehingga mereka merasa dihargai sebagai anak didik.
Berapa banyak di antara guru yang hanya mampu menjalankan tugas mengajar namun tidak mampu mendidik. Hal ini pula yang menjadi salah satu permasalahan serius dalam dunia pendidikan saat ini, yakni guru lebih dominan dalam mengajarkan aspek kognetif semata dan melupakan substansi pendidikan yakni aspek afektifnya.
Karakteristik berbasis agama di atas belumlah cukup bagi figur guru kharismatik. Secara teknis hal ini juga harus didukung oleh perspektif profesionalisme guru. Ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh guru yaitu; pertama, menguasai konsentrasi keilmuan yang mendalam sehingga tidak pernah merasa tidak siap saat mengadakan proses belajar mengajar. Salah satu sebab yang menjatuhkan harga diri guru adalah kedangkalan materi pelajaran yang dikuasainya sehingga membuat anak-anak menganggap remeh.
Kedua, guru selayaknya disiplin waktu sehingga menjadikan anak juga untuk disiplin. Jangan sampai anak-anak menunggu guru karena sering terlambat. Tentunya suasana kelas model ini biasanya akan menimbulkan keributan atau kegaduhan yang membuat kelas lain terganggu.
Ketiga, seorang guru juga harus menguasai multimetode sehingga lues dalam mengajar. Cerita-cerita atau dongeng juga harus diperkaya untuk mengisi sela-sela waktu yang membosankan sebab kadang-kadang ada materi sulit yang membuat banyak anak tidak betah dan merasa jemu.
Keempat, demokratis dalam proses belajar mengajar. Artinya, guru selalu menghargai dan mendengarkan pendapat anak didiknya dan mau untuk diingatkan oleh anak didiknya jika keliru. Selain itu dia selalu berusaha semaksimal mungkin dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari anak didik mereka.
Sebenarnya masih banyak kriteria yang dapat dijadikan sebagai standar untuk mengetahui figur guru kharismatik. Namun penulis melihat bahwa yang paling utama dari beberapa kriteria di atas adalah niat. Niat merupakan landasan pokok yang harus dimiliki oleh guru dalam menngajarkan anak didiknya. Kegiatan proses belajar dianggapnya sebagai ibadah.
Niat baik merupakan manifestasi dari kondisi iman seseorang yang sebenarnya dan sulit direkayasa. Dia akan muncul secara alami dan memancar dalam bentuk amal seseorang sehingga hal tersebut akan mewarnai segala aktifitasnya dalam proses belajar mengajar.
Sadarilah bahwa sosok guru merupakan pusat perhatian, mulai dari gaya bicara, berpakaian serta kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya semua akan terekam dan kadang ditiru oleh anak didiknya. Tentunya kita menginginkan yang direkam tersebut adalah hal-hal positif yang dapat membangun karakter anak didik. Penulis yakin, itu semua akan mereka dapatkan dari figur guru kharismatik yakni guru yang konsisten antara ucapan dan perbuatannya dengan landasan religius yang kuat serta profesional dalam mengajar.
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
Kalau kita melihat kebelakang tentang guru, pada dasarnya guru secara ekonomi lebih baik dari masyarakat dimana mereka tinggal. Alasan inilah yang dijadikan kenapa orang Gayo dahulu memasukkan anakya ke sekolah kejuruan. Dari segi sikap Guru pasti lebih baik. Jadi dalam pandangan saya sebaiknya jangat lagi kita polakan behwa Guru adalah orang yang hidup sederhana, dan kalaupun kita polakan sederhana maka apa arti sederhana. Ini penting karena sejarah Gayo seperti itu.