Penane

Oleh Marah Halim*

Di Gayo, ketika seorang bebujang melamar seorang beberu untuk menjadi pendamping hidupnya, pihak keluarga si beberu akan menanyakan berbagai hal kepada pihak si bebujang, salah satunya dan ini yang saya pikir paling penting adalah pertanyaan ā€œhana kin penane ni calon aman mayakni?ā€. Terjemahan bebasnya kira-kira ā€œcalon pengantin pria ini bisanya apa?ā€

Penane berasal dari kata ā€œpaneā€ yang artinya pandai. Kata penane sudah dimasuki semacam sisipan (elemen) seperti dalam bahasa Indonesia sehingga berubah makna menjadi kata benda, yaitu kepandaian. Namun penane lebih kepada kepandaian dalam arti skill atau keterampilan kerja, bukan sekedar kepandaian dari segi wawasan, sebab banyak juga orang yang wawasannya luas dan jika berbicara sangat meyakinkan tapi giliran diserahi satu masalah untuk diselesaikan ia tidak bisa. Skill atau keterampilan adalah buah nyata dari suatu wawasan.

Mengapa pertanyaan seputar penane sangat penting? Hal ini tidak lain sebagai upaya preventif, mencegah kemudharatan, mencegah agar si anak beru tidak jatuh ke pelukan bujang yang penanenya tidak jelas. Jika penanenya cuma tukang sabung ayam, tukang main domino, atau run ranun maka alamat sengsaralah istri dan anak-anaknya. Informasi seputar penane si bebujang sangat penting karena akan Ā menjadi amal tidur nipi jege pihak keluarga si beberu, menerima lamaran atau menolak.

Dalam istilah administrasi pemerintahan sekarang, penane sepadan maknanya dengan kompetensi. Orang yang punya penane disebut dengan orang yang berkompeten. Ketika tes PNS dibuka dan yang menjadi syarat utama adalah ijazah tidak lain karena ijazah itulah yang menunjukkan penane si calon. Jika ijazahnya ijazah sarjana pendidikan, maka sudah pasti penane-nya menjadi guru. Ketika dites maka panitia hendaknya meminta si calon untuk mendemonstrasikan penanenya mengajar bidang ajarnya.

Di musim pilkada ini, banyak orang yang berambisi menjadi gubernur/wagub, bupati/wabup atau walikota/wawalkot; ini karena orang yang bisa menduduki jabatan itu akan menjadi orang penting (important person). Kalau mau menjadi orang penting (important) hendaklah disiapkan penane (competence). Orang important (penting) yang tidak berkompeten sama saja dengan orang impotent (tidak berfungsi). Jadi, mau important siapkanlah competence kalau tidak anda akan dituduh impotent.

Tentunya hak asasi setiap orang untuk menjadi orang penting. Namun, jika kita sebagai masyarakat berada pada posisi seperti posisi keluarga pihak si beberu yang menerima lamaran, maka pertanyaan pertama yang kita ajukan adalah ā€Hana kin penane ni kam sehinge maju atan pilkada ni?ā€ Ini untuk mencegah penilaian minus di masa yang akan datang. Jangan sampai ada kerabat yang berkata ā€aman ipak oya apam pe gere te balekeā€. Dalam kehidupan sehari-hari bukan sedikit orang yang seperti itu. Pun juga banyak bupati/wabup dan anggota dewan yang menjabat sekarang seperti kerakap di atas batu, hidup segan mundur tak mau.

Penane calon bupati/wabup sangat penting karena zaman sudah berubah. Dulu, di masa orde baru, yang dikirim oleh rezim Soeharto menjadi bupati/wabup di Aceh Tengah (waktu itu belum ada Bener Meriah) adalah jema bep (orang kuat), disebut demikian karena mereka rata-rata berlatar belakang militer atau polisi. Beberapa nama yang penulis ingat seperti M. Isa Amin (Samin), Nurdin Sufi, Beni Bantacut, M. Jamil, dan T.M. Yoesoef Zainoel. Mereka kuat karena di belakangnya ada pasukan meski secara penane biasa-biasa saja. Untuk masa itu orang seperti merekalah yang tepat untuk menjadi bupati di Aceh Tengah karena rezim yang mendukung dan masyarakat yang masih rabun politik. Bagi masyarakat waktu itu yang penting aman.

Masyarakat Gayo sekarang adalah masyarakat yang telah berpendidikan menengah sampai perguruan tinggi. Tidak salah jika ekspektasi mereka pada figur bupati yang memiliki penane yang bisa diandalkan menjadi sangat penting. Bep (kuat) dalam konteks sekarang bukan lagi pada latar belakang militer atau polisi-kah dia, tetapi bep dalam rasional, emosional, dan spritual. Bep rasional artinya wawasan pembangunannya yang luas; bep emosional artinya bisa berkomunikasi dan bekerjasama dengan semua stakeholders pembangunan; dan bep spiritual artinya sanggup mengamalkan ajaran agamanya dan tau makna kepemimpinannya.

Penulis teringat salah satu album gayo tahun 80-an, Singkite. Dalam salah satu lagunya yang bercerita tentang perubahan pola pikir masyarakat Gayo. Liriknya ā€œBesilo nume ne doa kin ukurni jema kati maju; ilmu atan ulu imen i dede simunentun kite murip wan denieā€. Alam pikiran dulu memang memberi tempat pada orang-orang kuat seperti jema mudoa (orang sakti) untuk menjadi pemimpin. Semasa kecil di Kelupak Mata, geucik kami adalah jema mudoa yang dikenal kebal dan sakti. Profesi sampingannya selain geucik adalah murajah (mendukun). Penane di bidang ini juga memberi kharisma tersendiri bagi geucik di mata warganya. Tapi itu dulu, tahun 80-an.

Sekarang kita berada di era yang bahkan bukan lagi era modern, tetapi post-modern. Alangkah naifnya kita jika masih menominasikan jema bep seperti gambaran tahun 80-an di atas. Singkite telah jauh-jauh hari mengingatkan kita agar memilih orang yang memiliki penane (kompetensi), iptek dan imtaq.

Menutup tulisan ini penulis ingin berguyon, jangan sampai penane si calon aman mayak hanya dalam hal menghasilkan dan menambah keturunan. Kata orang Sunda, ā€kalau itu mah saya juga bisa atuh!ā€.

*Pemerhati Pemerintahan, tinggal di Banda Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.