Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya dinyatakan bahwa yang disebut pemerintah daerah adalah lembaga eksekutif dan lembaga legislatif daerah, yaitu gubernur dan DPR provinsi dan bupati/walikota dan DPR kabupaten/kota. Ini artinya undang-undang ini menganut paham dualisme pemerintah di daerah, tujuan apa? Untuk melancarkan pembangunan di daerah? Jawabnya belum tentu; karena bisa jadi sebaliknya.
Akibat konsep yang tidak jelas logikanya ini, di berbagai daerah di Indonesia kerap terjadi konflik kepentingan antara dua lembaga yang berbagi kekuasaan secara fifty-fifty dan saling ketergantungan ini.
Kalau di tingkat pusat, konsep trias politika jelas bentuknya; bahwa yang disebut parlemen adalah lembaga legislatif yang tugasnya membentuk undang-undang; mengawasi pelaksanaan undang-undang, dan menetapkan anggaran belanja negara. Sedangkan yang disebut dengan pemerintah adalah presiden sebagai lembaga eksekutif pelaksana pemerintahan. Kemudian jika terjadi pelanggaran atas aturan main yang telah dibuat bersama maka lembaga yudikatif atau peradilan-lah yang akan bertindak.
Anehnya, di tingkat daerah dibentuk lagi lembaga legislatif yang ditempatkan di bawah lembaga pemerintah (eksekutif) pusat. Semua pemerintah daerah, yang terdiri dari eksekutif dan legislatif daerah adalah āanak buahā dari presiden. Jadi, legislatif daerah bukan sub-ordinat (bawahan) dari legislatif pusat. Pertanyaan kita, apakah sistem pemerintahan daerah gambaran trias politika atau bukan, jika bukan mengapa fungsinya sama dengan lembaga legislatif di pusat?
Kenyataan bahwa undang-undang pemerintahan daerah memberikan fungsi dan kewenangan yang sama untuk parlemen daerah dalam ketiga fungsi parlemen pusat: legislasi, anggaran, dan pengawasan, tetapi di level daerah masing-masing. Yang mengganggu pikiran penulis, mengapa kewenangan memerintah di daerah harus dipecah kepada eksekutif dan legislatif di daerah? Untuk apa ada lembaga legislatif di daerah?
Bukti empiris kekacauan akibat kesalahan konsep pemerintahan daerah ini adalah apa yang tersaji di depan kita publik Aceh selama dua bulan belakangan ini; kisruh masalah calon independen dan pelaksanaan putaran pilkada. Dalam masalah calon independen, legislatif Aceh menyatakan bahwa calon independen tidak berhak maju dalam pilkadda karena UUPA menyatakan hanya untuk sekali pemilu tahun 2007 yang lalu. Isi UUPA memang demikian, tapi berhubung setelah pilkada Aceh yang sukses memenangkan calon independen, maka daerah lain melakukan Judicial Review UU Pemerintahan Daerah kepada Mahkamah Konstitusi, meminta agar calon perseorangan bukan hanya di Aceh tetapi dibolehkan untuk seluruh Indonesia. Oleh MK yang melihat calon perseorangan sangat demokratis dan prospektif, permohonan dikabulkan dan tidak dibatasi sama sekali untuk satu kali pemilu.
Sebagian komponen masyarakat Aceh yang merasa bahwa konsep calon perseorangan lahir di Aceh lantas melakukan JR ke MK, meminta agar Aceh disamakan juga dengan provinsi yang lain, dalam arti calon perseorangan tidak dibatasi hanya tahun 2007 lalu. MK juga mengabulkan karena tidak ada alasan untuk tidak membedakan Aceh dengan provinsi yang lain. Namun, keputusan MK bukannya diterima dengan sukacita, tetapi oleh parlemen Aceh ditolak dan tidak mau mengakui putusan MK itu. Alasan penolakan hanya berkutat pada isi UUPA, mereka menganggap isi UUPA yang bersifat final dan mengikat, bukan putusan MK.
Alih-alih menerima putusan MK, parlemen Aceh (DPRA) justru membuat Qanun Pilkada yang menghapuskan keikutsertaan calon independen. Begitu qanun selesai disahkan, draft yang akan ditandatangani Gubernur Aceh dikirimkan. Karena Gubernur Aceh pro pada calon independen dan menentang upaya penghapuasannya dari qanun pilkada yang baru, maka ia menolak menandatangani qanun tersebut. Dalam ketentuan, qanun yang telah disahkan harus mendapat persetujuan bersama antara legislatif dan eksekutif. Akhirnya masing-masing memegang kartu truf-nya. Ibarat dua gajah yang berkelahi yang mati adalah kancil di tengahnya. Singkat cerita, qanun tinggal qanun yang belum bisa digunakan sebagai landasan hukum, namun proses pilkada harus terus bergulir dengan berpegang pada putusan MK.
Namun, kisruh ternyata belum juga usai. Hari ini, 15 Juli 2011 pihak legislatif yang terdiri dari parlok dan parnas menyusun draft permohonan penundaan pilkada di Aceh untuk waktu yang belum ditentukan. Rencananya mereka meminta Presiden menerbitkan perpres atau perpu khusus untuk penyelenggaraan pilkada di Aceh.
Tidak mau kalah dengan langkah kalangan legislatif, Gubernur juga menggalang dukungan muspida plus dan sebagian anggota perlemen yang pro calon independen untuk membuat pernyataan penolakan terhadap upaya penundaan pilkada. Draft himbauannya telah pun kita baca malam ini (16 Juli 2011) di website lovegayo ini. Apa yang akan terjadi selanjutnya kita tunggu saja besok lusa. Jika kedua āgajahā terus bersitegang maka alamat kacau-lah Aceh ini kembali.
Kembali ke topik awal, inilah akibat kesalahan konsep pemerintah daerah yang ada dalam undang-undang pemerintahan daerah. Terjadi dualisme pemerintah daerah yang masing-masing merasa memiliki hak yang sama dalam proses pengambilan keputusan. Bukan hanya dalam masalah pilkada ini saja antara parlemen dan gubernur Aceh ribut tetapi juga dalam hal penetapan qanun rancangan anggaran belanja, setiap tahun terjadi keterlambatan yang disebabkan alotnya tarik-menarik kepentingan antara kedua lembaga āterhormatā itu. Padahal, semakin mereka ribut semakin susah masyarakat dibuatnya.
Ke depan, sepertinya yang harus dihilangkan dari struktur pemerintahan di daerah adalah parlemen daerah. Ini perlu agar lembaga eksekutif tidak terhalang rencana dan kebijakan apa saja yang akan dia buat untuk mempercepat pembangunan daerah. Penulis yakin akan jauh lebih banyak keuntungannya menghilangkan lembaga yang satu ini. Kalau hanya alasan pengawasan, serahkan saja pengawasan pembangunan di daerah pada BPKP atau BPK, dan jika ada pelanggaran kan ada Kepolisian dan Kejakasaan serta Peradilan. Kalau hanya untuk keperluan legislasi, eksekutif juga bisa melakukannya karena qanun-qanun yang ada juga hasil kerja eksekutif, hanya beberapa yang merupakan inisiatif legislatif Aceh. Kalau alasan hanya karena fungsi anggaran, serahkan saja pada Bappeda untuk menyusun anggaran pembangunan. Jadi, jelas sudah memang legislatif/parlemen di daerah, baik di provinsi dan kabupaten memang sama sekali tidak penting. Mari sama-sama kita suarakan agar undang-undang pemerintahan daerah direvisi. Semoga memberi inspirasi.
*Pengkaji Tata Negara dan Tata Pemerintahan, tinggal di Banda Aceh.